News

Tanpa PDIP, 8 Parpol Parlemen Kembali Dorong Proporsional Terbuka

Delapan parpol parlemen yakni Golkar, Gerindra, NasDem, PAN, PPP, PKS, PKB, dan Demokrat kembali mendorong Mahkamah Konstitusi (MK) agar menerapkan sistem proporsional terbuka.

“Sistem terbuka itu sudah berlalu sejak lama dan kemudian kalau itu mau dirubah itu sekarang proses pemilu sudah berjalan. Kita sudah menyampaikan DCS (Daftar calon sementara) kepada KPU,” kata Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Kahar Muzakir saat memimpin konferensi pers sikap delapan parpol di Kompleks Parlemen, Selasa (30/5/2023).

Menurutnya, perubahan sistem pemilu akan berpengaruh terhadap caleg yang saat ini sudah didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Setidaknya ada sekitar 300.000 caleg yang nantinya akan terdampak dengan perubahan sistem pemilu oleh MK nanti.

Sebab jika MK memutuskan sistem proporsional tertutup, maka para caleg ini akan kehilangan hak konstitusionalnya. Bahkan para caleg ini akan mengalami kerugian materiil dan menuntut ganti rugi atas hal tersebut.

“Kepada siapa ganti ruginya yang mereka minta? Ya bagi yang memutuskan sistem tertutup. Bayangkan kalau 300 ribu orang itu minta ganti rugi dan dia berbondong-bondong datang ke MK agak gawat juga MK itu,” lanjutnya.

Perihal pilihan ke delapan parpol yang berbeda dengan PDIP sebagai satu-satunya partai yang menginginkan sistem proporsional tertutup, Kahar menyebut bahwa perbedaan adalah hal yang biasa saja.

“Soal di DPR ini beda-beda itu biasa, politik kan begitu. Tidak selalu, hari ini berteman, besok berteman sampai mati berteman, itu kalau orang nikah. Jadi tidak ada musuh-musuhan kita, berbeda pendapat itu dijamin oleh konstitusi,” jelasnya.

Tak hanya itu, ia juga menegaskan bahwa domain Undang-Undang (UU) Pemilu adalah pada pembuat UU, yakni DPR. “Normanya adalah DPR itu dipilih oleh rakyat, tidak dipilih oleh partai. Jadi sebetulnya domain UU pemilu itu bukan di MK, pembuat UU, karena dia bukan norma,” imbuh dia.

“Dia adalah sistem bisa berubah tergantung kesepakatan pemerintah dengan DPR selaku pembuat UU,” pungkas Kahar.

Back to top button