News

Gara-gara ‘Mulut Pedas’ Tjitjik, Menteri Nadiem Dicecar Komisi X DPR


Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Gerindra Nuroji sempat mencecar Mendikbudristek Nadiem Makarim, perihal pernyataan anak buahnya yang sempat viral, menyebut pendidikan tinggi sebagai sebuah kebutuhan tersier.

“Saya sampaikan sangat tidak setuju bahwa pendidikan tinggi itu dianggap urusan tersier, apalagi yang menyampaikan adalah pejabat dari kementerian Dikti. Ini saya kira sangat kurang mendidik bagi masyarakat,” kata Nuroji saat rapat dengan Kemendikbudristek di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (21/5/2024).

Pernyataan anak buah Nadiem dinilai sangat ngawur, menyiratkan pemerintah seakan tak peduli dengan pendidikan tinggi. Nuroji pun heran, kenapa si pembuat ulah malah tidak hadir dalam rapat hari ini, untuk memberikan klarifikasi.

“Seolah-olah kuliah itu tidak penting, bagaimana bisa ini disampaikan kepada masyarakat, sampai dipublikasikan, ini saya rasa perlu dikoreksi saya melihat yang menyatakan tidak hadir ini, kenapa ini?,” ujarnya tegas.

Ia mengingatkan, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah memberi amanat bahwa negara wajib memberi pendidikan yang layak sehingga diberikan mandatory spending sebesar 20 persen. “Nah ini sebetulnya kita perjuangkan supaya SDM kita, masyarakat kita lebih banyak lagi yang bisa dibiayai oleh negara untuk perguruan tingginya,” ucap dia.

Nuroji juga menyinggung, Angka Partisipasi Kasar (APK) saat ini masih tak bergerak, pada angka 30-35 persen. Ia menyebut peran swasta lebih dominan ketimbang pemerintah. “Itu pun masih ditopang peran swasta yang cukup besar 70 persen. Artinya kalau ada pemikiran bahwa ini tidak penting, sangat tidak mendorong untuk bisa menambah lagi alokasi anggaran pendidikan kita dalam postur anggaran fungsi pendidikan,” tutur dia.

Diketahui, Tjitjik Sri Tjahjandarie viral setelah pernyataannya soal perguruan tinggi atau kuliah tidak wajib melainkan tersier. Tjitjik menyebutkan bahwa biaya kuliah harus dipenuhi oleh mahasiswa agar penyelenggaraan pendidikan itu memenuhi standar mutu.

“Dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar. Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan,” ucapnya dilansir dari video yang tengah ramai di media sosial X, Jumat (17/5/2024).

Statement tersebut langsung menarik perhatian masyarakat yang mempedulikan pendidikan putra-putrinya. Kalangan akademisi juga tak ketinggalan bersuara. Pengamat Semiotika Bahasa dari ITB, Acep Iwan Saidi menyebut pernyataan itu merupakan ekspresi semiotis dari birokrat yang sama sekali tidak memahami dunia pendidikan. “Analoginya, seperti karyawan toko buku, yang hanya tahu buku itu barang dagangan, barang kelontongan,” kata Acep kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Minggu (19/5/2024).

Sementara, Psikolog Irma Gustiana menegaskan, pernyataan tersebut dapat membuat anak-anak dan keluarga miskin merasa terpinggirkan dan tidak percaya diri untuk bersaing dalam dunia akademis maupun profesional. “Rasa putus asa bisa mengurangi jumlah siswa yang berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan mereka,” ucap Irma kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Minggu (19/5/2024).

Back to top button