Ototekno

Dunia Lebih Panas, Lebih Kering, dan Lebih Banyak Penyakit


Manusia telah membuat planet kita menjadi lebih hangat, lebih tercemar, dan semakin tidak ramah terhadap banyak spesies. Perubahan-perubahan ini pada akhirnya mendorong penyebaran penyakit menular di berbagai belahan dunia.

Iklim yang lebih hangat dan basah dapat memperluas jangkauan spesies vektor seperti nyamuk, sementara hilangnya habitat dapat mendorong hewan pembawa penyakit untuk melakukan kontak lebih dekat dengan manusia. Penelitian baru mengungkapkan betapa kompleksnya dampak yang ditimbulkan, terhadap iklim dan bumi meningkatkan beberapa penyakit dan mengubah pola penularan penyakit lainnya.

Mulai tahun 2030, para ahli memperkirakan bahwa empat dari ancaman tersebut – malnutrisi, malaria, diare, dan tekanan panas – akan meningkatkan jumlah kematian global sebesar 250.000 per tahun, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), mengutip Reuters. Wabah baru-baru ini juga jauh lebih mematikan, dengan tingkat kematian kini berada pada tingkat tertinggi yang pernah tercatat dalam lebih dari satu dekade, kata WHO.

Pada tahun 2022, 44 negara melaporkan kasus kolera, meningkat 25 persen dibandingkan tahun 2021, menurut WHO, yang mencatat peran angin topan, banjir, dan kekeringan dalam memutus akses terhadap air bersih dan membantu bakteri berkembang biak.

Sementara mengutip AFP, hilangnya keanekaragaman hayati tampaknya memainkan peran yang sangat besar dalam meningkatkan penyakit menular, menurut penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nature minggu ini. Penelitian ini menganalisis hampir 3.000 kumpulan data dari penelitian yang ada untuk melihat bagaimana hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim, polusi kimia, hilangnya atau perubahan habitat, dan masuknya spesies mempengaruhi penyakit menular pada manusia, hewan, dan tumbuhan.

Ditemukan bahwa hilangnya keanekaragaman hayati merupakan penyebab terbesar, diikuti oleh perubahan iklim dan masuknya spesies baru. Parasit menargetkan spesies yang lebih melimpah dan menawarkan lebih banyak inang potensial, jelas penulis senior Jason Rohr, seorang profesor ilmu biologi di Universitas Notre Dame.

“Dan spesies dengan populasi besar lebih cenderung berinvestasi dalam pertumbuhan, reproduksi dan penyebaran, dengan mengorbankan pertahanan terhadap parasite,” katanya kepada AFP.

Namun spesies yang lebih langka dan memiliki ketahanan yang lebih besar akan rentan terhadap hilangnya keanekaragaman hayati, sehingga memiliki “inang yang lebih banyak dan mampu menjadi parasit”.

Cuaca hangat akibat perubahan iklim menawarkan habitat baru bagi vektor penyakit, serta musim reproduksi yang lebih panjang. “Jika semakin banyak generasi parasit atau vektor, maka akan semakin banyak pula penyakit,” kata Rohr.

Pergeseran Transmisi

Namun, tidak semua adaptasi manusia terhadap planet ini meningkatkan penyakit menular. Hilangnya atau perubahan habitat dikaitkan dengan penurunan penyakit menular, sebagian besar disebabkan oleh perbaikan sanitasi yang disebabkan oleh urbanisasi, seperti sistem air bersih dan pembuangan limbah.

Dampak perubahan iklim terhadap penyakit juga tidak seragam di seluruh dunia. Di daerah beriklim tropis, cuaca yang lebih hangat dan basah mendorong terjadinya ledakan demam berdarah. Namun kondisi yang lebih kering di Afrika mungkin akan menyusutkan wilayah penularan malaria dalam beberapa dekade mendatang.

Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Science minggu ini memodelkan interaksi antara perubahan iklim, curah hujan dan proses hidrologi seperti penguapan dan seberapa cepat air tenggelam ke dalam tanah. Laporan ini memperkirakan penurunan yang lebih besar pada wilayah yang cocok untuk penularan penyakit dibandingkan perkiraan berdasarkan curah hujan saja, dengan penurunan yang dimulai pada tahun 2025.

Laporan ini juga menemukan bahwa musim malaria di beberapa bagian Afrika mungkin empat bulan lebih pendek dari perkiraan sebelumnya. Temuan ini belum tentu merupakan kabar baik, kata penulis utama Mark Smith, seorang profesor penelitian air di Universitas Leeds. “Lokasi daerah yang cocok untuk malaria akan bergeser,” katanya kepada AFP, dan dataran tinggi Ethiopia merupakan salah satu wilayah yang kemungkinan besar akan terkena dampak baru.

Masyarakat di wilayah tersebut mungkin lebih rentan karena mereka belum terpapar. Dan populasi diperkirakan akan tumbuh pesat di wilayah di mana malaria masih ada atau menular, sehingga kejadian penyakit ini secara keseluruhan dapat meningkat.

Prediksi dan Persiapan

Smith memperingatkan bahwa kondisi yang terlalu buruk untuk malaria mungkin juga terlalu buruk bagi manusia. Perubahan ketersediaan air untuk minum atau pertanian memang bisa menjadi hal yang sangat serius. Kaitan antara iklim dan penyakit menular berarti pemodelan iklim dapat membantu memprediksi wabah.

Prakiraan suhu dan curah hujan setempat sudah digunakan untuk memprediksi peningkatan demam berdarah, namun perkiraan tersebut memberikan waktu yang singkat dan tidak dapat diandalkan. Salah satu alternatif yang bisa dilakukan adalah Indian Ocean Basin-Wide Index (IOBW), yang mengukur rata-rata anomali suhu permukaan laut di Samudera Hindia.

Penelitian yang juga dipublikasikan di Science minggu ini mengamati data demam berdarah dari 46 negara selama tiga dekade dan menemukan korelasi erat antara fluktuasi IOBW dan wabah di belahan bumi utara dan selatan. Penelitian ini bersifat retrospektif, sehingga kekuatan prediksi IOBW belum teruji.

Namun pemantauan terhadap hal ini dapat membantu para pejabat untuk lebih mempersiapkan diri menghadapi wabah penyakit yang merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama. Namun pada akhirnya, mengatasi peningkatan penyakit menular berarti mengatasi perubahan iklim, kata Rohr.

Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan penyakit sebagai respons terhadap perubahan iklim akan terjadi secara konsisten dan meluas. Ini pada akhirnya akan semakin menekankan perlunya pengurangan emisi gas rumah kaca.

Back to top button