News

Surat Suara Mulai Dicetak 12 November, Awasi Agar Tidak Dikorupsi

Hiruk-pikuk dinamika politik terkini, menyita perhatian. Mata publik seakan terarah seperi kacamata kuda, dipaksa menikmati tontonan perseteruan antarkubu pengusung capres-cawapres. Padahal ada hal lain yang tidak kalah penting untuk publik awasi, yakni penggunaan anggaran pemilu.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI akan memulai pencetakan surat suara untuk pemilihan legislatif pada 12 November dan surat suara untuk presiden dan wakil presiden pada 15 November 2023 mendatang.

Ketua Divisi Perencanaan, Keuangan, Umum, Rumah Tangga dan Logistik KPU RI Yulianto Sudrajat mengatakan pihaknya mulai akan melakukan kontrak e-purchasing pada Sabtu (11/11/2023) pekan depan.

“Untuk cetak surat suara anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota itu insyaAllah tanggal 11 November kontrak e-purchasing, mulai produksi tanggal 12 November. Untuk Surat Suara Presiden dan wakil presiden itu dilakukan setelah penetapan nomor urut pada 14 November. Jadi mulai produksi itu tanggal 15 November,” kata Yulianto saat dikonfirmasi Inilah.com, Kamis (2/11/2023).

Adapun jumlah surat suara akan dicetak sebanyak 208.903.366 lembar, jumlah ini melebihi dari banyaknya pemilih yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024, yakni 204.807.222 jiwa pemilih. Selisih tersebut merupakan surat suara cadangan.

“Jumlah Surat Suara yang akan dicetak sesuai DPT ditambah 2 persen Surat Suara cadangan per TPS,” ujar Yulianto menambahkan.

Sayangnya Yulianto tidak menjabarkan secara detail siapa saja vendor yang akan mengerjakan proyek ini. Ia hanya menegaskan bahwa vendor yang akan bekerja sama dengan KPU dalam mengadakan logistik telah ditetapkan lewat katalog nasional Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP).

“Data pemenang akan fix setelah 5 hari sanggah. Jadi perkiraan itu fix di tanggal 5 dan 6 November 2023. Untuk lelang sendiri kami itu melalui konsolidasi e-katalog nasional,” tutur Yulianto.

Terkait biaya yang diperlukan proyek ini, pernah disampaikan oleh Ketua KPU Hasyim Asy’ari. Hitung-hitungan yang dibeberkan adalah khusus pemilihan legislatif (pileg). Menurutnya, untuk pengadaan surat suara pemilihan anggota DPR RI sebesar Rp271,3 miliar, surat suara pemilihan anggota DPRD provinsi Rp271,3 miliar, dan surat suara pemilihan anggota DPRD kabupaten/kota sebesar Rp261,1 miliar.

Merujuk direktori putusan Mahkamah Agung, terjadi puluhan kasus korupsi selama 2014-2022 yang menjerat anggota KPU dan KPU daerah terkait pengadaan barang. Pada November tahun lalu, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) mencatat ada 44 kasus korupsi yang libatkan anggota KPU/KPUD dalam rentang tahun 2014-2020. Kepala LKPP Hendrar Prihadi menyebut kasus korupsi ini terkait dengan pengadaan barang/jasa.

Hendrar menyebut pengadaan barang dan jasa menjadi salah satu titik rawan korupsi. Bukan hanya integritas saja yang menjadi tantangan melainkan ketidakpahaman dengan aturan yang berlaku. “Tentu ini menjadi keprihatinan kita bersama,” ujar Hendrar kala itu.

Ada riwayat buruk mengenai kasus korupsi yang dilakukan komisioner KPU. Sebut saja kasus Daan Dimara. Komisioner KPU periode 2001-2006 ini divonis 4 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada 2006 silam. Daan dinyatakan bersalah karena melakukan korupsi pengadaan segel surat suara Pemilihan Umum legislatif 2004.

Senasib dengan rekannya, Rusadi Kantaprawira juga divonis 4 tahun penjara plus denda Rp200 juta. Rusadi dinyatakan bersalah karena melakukan korupsi pengadaan tinta dalam Pemilu 2004.

Selain komisioner, sejumlah pejabat KPU juga divonis bersalah terkait pelaksanaan Pemilu 2004 silam. Mereka yang divonis antara lain Wasekjen KPU Susongko Suhardjo yakni 2 tahun 6 bulan penjara dan Kepala Biro Keuangan KPU Hamdani Amin yaitu 4 tahun penjara. Wakil Kepala Biro Keuangan Mohammad Dentijk turut divonis. Dia dihukum 18 bulan penjara.

Jumlah komisioner KPU tingkat daerah yang pernah divonis penjara jauh lebih banyak. Kasus-kasus korupsi oleh pejabat KPU tingkat provinsi dan kabupaten/kota kerap terjadi mengenai pengadaan barang.

Tidak hanya para anggota, Ketua KPU periode 2001-2006, Nazaruddin Syamsuddin juga terjerat korupsi. Ia divonis 7 tahun penjara karena terbukti bersalah dalam pengadaan asuransi bagi petugas Pemilu 2004 dan dalam pengelolaan dana rekanan KPU, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp14,1 miliar.

Seperti halnya Nazaruddin, Mulyana merupakan Komisioner KPU di periode yang sama juga divonis 2 tahun 7 bulan penjara plus denda Rp50 juta. Mulyana terbukti bersalah telah menyuap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Khairiansyah Salman. Mulyana juga dinyatakan bersalah karena melakukan korupsi pengadaan kotak suara Pemilihan Umum 2004.

Back to top button