Market

Sulitnya Merdeka dari Middle Income Trap

Di tengah kemeriahan perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-78, Indonesia ternyata masih sulit merdeka dari middle income trap. Indonesia sudah lebih dari 30 tahun terjebak dalam status negara berpendapatan menengah. Masih banyak yang harus dilakukan untuk keluar dari perangkap ini.

Menurut Linda Glawe dalam literatur berjudul The Middle-Income Trap: Definitions, Theories and Countries Concerned, middle income trap mengacu pada negara-negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi sangat pesat hingga mencapai status negara pendapatan menengah, namun kemudian gagal mengatasi perlambatan ekonomi guna mengejar ekonomi yang setara dengan negara-negara maju.

Sementara menurut pendapat Gill dan Kharas, middle income trap merupakan perekonomian yang mengalami penurunan ekonomi yang tajam setelah berhasil bertransisi dari status berpenghasilan rendah ke menengah. Kondisi ini disebabkan karena negara tak mampu bersaing dengan negara lain berpenghasilan lebih rendah yang bergantung pada sumber daya alam dan murahnya tenaga kerja. Di sisi lain, juga tidak mampu bersaing dengan negara maju yang mengandalkan kualitas manusia dan teknologi tinggi.

Sulitnya keluar dari middle income trap terkait pertumbuhan ekonomi RI yang enggan beranjak dari level 5%. Indonesia baru berhasil mencapai di atas 5% pada tahun lalu, yaitu 5,37%. Padahal syarat lolos dari jebakan itu adalah pertumbuhan ekonomi RI harus mencapai 6%.

Banyak yang menjadi alasan mengapa Indonesia begitu lama terjebak dan belum bergerak secara efektif untuk mendorong pertumbuhan. Misalnya saja faktor produktivitas setiap pekerja yang cenderung masih rendah ketimbang industri di negara lain.

Memang ada beberapa provinsi yang sudah berada di level high income salah satunya Jakarta. Sementara provinsi lainnya masih mengalami ketimpangan di bawah lower middle income dengan pendapatan di bawah US$4.200 per kapita. Seperti di Banten, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Sedangkan di luar pulau Jawa seperti Riau, Kalimantan Utara, Jambi, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Jawa Timur.

Sumber daya manusia di Indonesia juga menjadi salah satu isu yang dapat menghalangi Indonesia keluar dari status negara berpendapatan menengah ini. Berdasarkan Human Capital Index (HCI) Indonesia di 2020 adalah 0,54. Artinya rata-rata produktivitas pekerja hanya mencapai 54% dari kapasitas idealnya.

Faktor-faktor Penjebak

Ada banyak faktor yang dapat menjebak Indonesia dalam status middle income trap. Menurut Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) UGM, ekonomi biaya tinggi bisa mencapai 60% untuk transfer ilegal. Bank Dunia juga telah membuktikan bahwa kerangka hukum dan ekonomi kurang efektif dibandingkan negara-negara Asia lainnya.

“Selain itu, kalangan bisnis pada umumnya menganggap penyelenggaraan peradilan dan perpajakan serta kepabeanan korup dan sewenang-wenang. Faktor lain adalah terbatasnya infrastruktur, terutama kesenjangan antara Jawa dan pulau-pulau terluar atau terpencil, tingkat pengangguran, kemiskinan dan ketergantungan China yang tinggi terhadap komoditas ekspor, sehingga meningkatkan risiko perlambatan ekonomi Indonesia,” ungkap PSSAT UGM dalam situs resminya.

Masih menurut PSSAT, salah satu faktor yang dapat membantu suatu negara meninggalkan status middle income trap adalah inovasi. Tingkat inovasi yang rendah dapat memperkuat keadaan yang terjebak di middle income trap. “Kelembagaan yang lemah juga dapat menjadi masalah, terutama jika berdampak pada efisiensi kerangka hukum, perlindungan hak milik, dan kualitas peraturan pemerintah yang penting untuk mendorong kegiatan inovasi dan desain.”

Yang juga penting adalah pasar tenaga kerja dan modal manusia yang tidak efisien. Negara harus memanfaatkan talenta pekerja secara efisien, dengan fleksibilitas dalam menetapkan upah dan praktik perekrutan serta pemutusan hubungan kerja (PHK).

Mau tidak mau, pemerintah harus berinvestasi dalam Sumber Daya Manusia melalui pendidikan dan sistem kesehatan dan kesejahteraan. Pendidikan penting untuk memungkinkan tingkat pengetahuan dan kualitas masyarakat menjadi produktif. Selanjutnya, kebijakan investasi juga jangan terlalu rumit sehingga investor asing tidak menghadapi kesulitan birokrasi.

Indonesia menjadi salah satu negara dengan ekonomi yang sangat kuat di Asia dan dunia, sehingga pemerintah harus fokus mengikuti tren investasi atau tren yang diikuti oleh negara lain, seperti yang berfokus pada ekonomi hijau, infrastruktur, dan teknologi. Penting juga untuk fokus pada infrastruktur untuk pulau-pulau tertinggal seperti Sulawesi Utara, Kalimantan dan beberapa daerah di Sumatera.

Kapan Indonesia bisa lepas dari perangkap ini? Pemerintah sudah menargetkan Indonesia bisa lepas dari middle income trap mulai dari 2030. Ini terdorong dari jumlah penduduk RI yang bisa mencapai 300 juta sehingga diperkirakan ekonomi Indonesia naik hingga 3 kali lipat.

“Ada target lepas dari middle income trap itu diperkirakan tahun 2030-2032, dan GDP kita diperkirakan US$12.000 dengan penduduk kita pada waktu itu mencapai 300 juta. Maka ekonomi kita pada waktu itu diperkirakan mencapai Rp3 triliun jadi tiga kali ekonomi hari ini,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, beberapa waktu lalu.

Modal untuk Keluar dari Perangkap

Sebenarnya ekonomi Indonesia sudah merangkak perlahan dan bisa menjadi modal untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Misalnya saja, berdasarkan klasifikasi terbaru, Bank Dunia menyebut Indonesia telah sedikit menggeser status menjadi upper middle-income country karena memiliki Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per kapita sebesar US$4.580 di tahun 2022 sehingga melebihi standar yang ditetapkan sebesar US$4.466.

Klasifikasi yang diperbarui setiap tahun pada 1 Juli ini dibagi menjadi empat kategori berdasarkan PNB per kapita. Mereka adalah berpenghasilan rendah (US$1.035), berpenghasilan menengah ke bawah (US$1.036-US$4.045), berpenghasilan menengah ke atas (US$4.046-US$12.535) dan berpenghasilan tinggi (>US$12.535). Bank Dunia menggunakan klasifikasi ini sebagai faktor untuk menentukan apakah suatu negara dapat menggunakan fasilitas bank, seperti harga pinjaman.

Status baru ini juga diharapkan semakin memperkuat kepercayaan dan persepsi dari investor, mitra dagang, mitra bilateral, dan mitra pembangunan ekonomi. Selain itu, peningkatan status juga diharapkan dapat mendorong investasi, meningkatkan kinerja transaksi berjalan, mendorong daya saing ekonomi, dan memperkuat dukungan keuangan.

Hanya saja, meskipun naik kelas, raihan itu masih belum cukup untuk keluar dari jebakan status negara berpendapatan menengah. Masih banyak tantangan dihadapi Indonesia ke depan. Terutama pada paruh kedua tahun ini. Mulai dari lingkungan global yang masih tidak stabil akibat ketegangan geopolitik yang masih berlangsung. “Imbasnya adalah pertumbuhan ekonomi dan aktivitas perdagangan dalam negeri, seperti penurunan kinerja ekspor,” ujar Presiden Jokowi, awal Juli lalu.

Apalagi berbagai lembaga internasional memprediksikan perlambatan ekonomi global akan berlanjut di tahun ini. Misalnya, IMF memperkirakan ekonomi global hanya tumbuh 2,8 persen, Bank Dunia lebih rendah lagi yakni 2,1 persen dan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memperkirakan 2,6 persen. Selain itu, ada juga kekhawatiran kenaikan suku bunga global yang diperkirakan masih akan berlanjut bahkan sampai tahun depan. Hal ini akan mendorong tingkat inflasi dunia.

Ada beberapa modal lain yang bisa dimaksimalkan untuk keluar dari perangkap. Kita lihat peringkat daya saing Indonesia mengalami kenaikan peringkat ke posisi 34 dari total 64 negara di dunia, berdasarkan hasil riset World Competitiveness Ranking 2023. Pada 2022, daya saing Indonesia masih berada pada posisi ke-44.

Riset tersebut dilakukan oleh Institute for Management Development (IMD) Swiss dan Lembaga Management (LM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI). Di tingkat Asia Pasifik, Indonesia tercatat menempati peringkat ke-10 dari 14 negara, di atas Jepang, India, dan Filipina.

Indonesia juga harus mampu mengambil langkah ke depan untuk memanfaatkan bonus demografi guna menghindari middle income trap. Beberapa negara berhasil memanfaatkan bonus demografinya secara besar-besaran untuk melepaskan diri dari pendapatan perkapita yang rendah. Korea Selatan dari US$ 3.530 per kapita mereka memulainya, sekarang tersisa 5 tahun bonusnya, tapi negara ginseng itu sudah mencapai US$ 35.000 per kapita.

Salah satu modal kuat lainnya, pemerintah Indonesia telah mengesahkan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law. UU yang memiliki banyak kontroversi ini digadang-gadang dapat membantu inovasi, kreativitas masyarakat dan berbagai insentif untuk memfasilitasi kewirausahaan dalam meningkatkan pendapatan. Sementara Omnibus Law berupaya memperpendek struktur regulasi yang selama ini menjadi persoalan hukum tumpang tindih yang menjadi masalah besar secara ekonomi karena memperlambat daya saing secara nasional.

Yang jelas, Indonesia memiliki semua bahan untuk menjadi negara berpendapatan tinggi. Tinggal bagaimana fokus pada human capital dan pendidikan, terutama di kalangan generasi muda, sementara tingkat kemiskinan harus diturunkan dan infrastruktur harus terus dikembangkan, termasuk di daerah-daerah di luar pulau Jawa.

Birokrasi juga menjadi bagian sangat penting untuk diperbaiki dengan memaksimalkan UU Cipta Kerja yang katanya akan mengubah banyak hal bagi perekonomian. Semuanya hanya waktu yang akan menentukan apakah upaya keluar dari jebakan middle income ini akan gagal atau berhasil.

Back to top button