News

Putri Disebut Alami Rape Trauma Syndrome, Tekan Amarah saat Temui Yosua

Rabu, 21 Des 2022 – 16:12 WIB

Dugaqn Pelecehan Putri Candrawathi

Istri Ferdy Sambo. Putri Candrawathi saat memasuki ruang persidangan di PN Jaksel, Selasa (1/11/2022). Putri merupakan salah satu terdakwa dalam perkara pembunuhan Brigadir J. (Foto: Antara)

Istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi dinilai mengalami rape trauma syndrome atau trauma korban perkosaan dengan kategori menekan rasa amarah, malu, dan takut untuk tetap berhadapan dengan Brigadir J usai dugaan terjadinya pelecehan seksual.

Hal ini diungkap Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (Apsifor) Reni Kusumowardhani saat menjadi saksi ahli pada sidang lanjutan perkara pembunuhan berencana Brigadir J di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Rabu (21/12/2022).

“Pada rape trauma syndrome itu sindrom korban mengalami kekerasan seksual di mana ada fase akut, segera, (dan) kemungkinannya ada tiga,” kata Reni sekaligus merespons pertanyaan anggota tim kuasa hukum Putri Candrawathi, Sarmauli Simangunsong.

Reni menjelaskan, pertama, korban mengekspresikan kemarahannya. Kedua, kontrol satu penekanan yang memang berelasi dengan kepribadian tertentu, menekan rasa marahnya takutnya, malunya dikontrol. Kemudian, sulit mengambil keputusan.

Atas dasar itu, lanjut Reni, Putri Candrawathi cenderung mengendalikan emosinya saat berhadapan kembali dengan Brigadir J.

“Nah terjadi pada PC (Putri Candrawathi) berdasarkan teori ini lebih sesuai dengan yang kontrol. Jadi seolah tidak ada emosi. Seperti tidak ada apa-apa tidak terjadi apa-apa. Ini bentuk defence mechanism, tetap tegar, pertahanan jiwa,” jelasnya.

Selanjutnya Sarmauli Simangunsong kembali mempertanyakan potensi korban kekerasan seksual yang melakukan pelaporan, visum, maupun hanya bertahan.

“Berapa persen korban yang melakukan defence, dibandingkan melapor ke polisi atau ke dokter,” tanya Sarmauli.

“Jika dilihat dari Indonesian Judicial Research Society, dengan margin error 2 persen. Lebih banyak yang menarik diri, takut, malu merasa bersalah. Yang terbanyak tidak melakukan pelaporan, selesaikan sendiri, kendalikan sendiri, gemuruh psikologis yang ada pada dirinya. Sedikit kalau dengan mengekspresikan kemarahan, kalau dari riset yang ada,” ungkap Reni.

Terlebih, Indonesia yang terbilang masih menganut culture of silent dalam peristiwa kekerasan seksual sehingga stigma yang dilekatkan kepada korban menjadi terbendung. Namun, dalam perkara yang diduga dialami Putri Candrawathi, dirinya memiliki support system memadai dengan kepribadian yang membutuhkan seseorang agar merasa aman dan terlindungi.

“Stigma membuat korban bagaimana saya harus keluar dalam bentuk defence mechanism. Kontrol yang dilakukan Ibu PC (Putri Candrawathi) harus memiliki support system yang baik. PC support system-nya cukup, saat ada ajudan, orang cukup bisa diandalkan dalam pengamanan, ada keputusan dari dirinya menekan rasa malu, marah, takutnya tadi,” ujar Reni menambahkan.

Sosok Cerdas

Sebelumnya, Reni membeberkan sosok terdakwa Putri Candrawathi dari tinjauan analisis dan pemeriksaan psikologi forensik. Reni mengungkap sosok Putri yang cukup cerdas, tapi sulit beradaptasi di lingkungan sosial dan sangat bergantung pada sosok tertentu untuk memberikannya rasa aman.

“Jadi dia ini ada semacam dependensi, orang objek bergantungnya. Seperti kepada orang tua, suami, dan bisa ke ajudannya. Yang terpenting bisa memberikan rasa aman dan percaya,” kata Reni.

Back to top button