Kanal

Prediksi Perang Taiwan, AS Menang Tapi Rugi Banyak

China tidak mungkin berhasil merebut Taiwan melalui invasi terhadap pulau itu pada 2026. Sebaliknya AS diprediksi akan menjadi pemenangnya. Namun, AS harus membayar mahal kemenangan yang berdarah-darah itu.

China mengeklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya dan mengatakan pada akhirnya akan menyatukan pulau itu dengan daratan, jika perlu dengan paksa. Sementara beberapa negara, termasuk AS, mengakui pulau itu sebagai negara merdeka. Di bawah kebijakan resmi AS, Washington tidak mengakui klaim kedaulatan Beijing atas Taipei.

Mungkin anda suka

Menurut Laporan dari Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS), lembaga think tank-nya AS, konflik semacam itu akan mendatangkan malapetaka di kedua sisi selat. Laporan CSIS ini muncul karena masalah Taiwan telah terbukti memunculkan titik gesekan yang berkelanjutan antara kedua sisi Pasifik.

Pada laporan bertajuk ‘Pertempuran Pertama dari Perang Berikutnya: Wargaming Invasi China ke Taiwan’, penulis memperingatkan AS mungkin mengalami kemenangan, namun diprediksi akan lebih menderita dalam jangka panjang daripada China yang kalah. Di pihak AS dan Jepang akan timbul korban mencapai puluhan ribu.

“AS mungkin mengalami ‘kemenangan yang dahsyat’ namun kemungkinan akan lebih menderita dalam jangka panjang daripada orang China yang dikalahkan,” ungkap laporan yang pertama kali dimuat di South China Morning Post itu, Selasa (10/1/2023).

Tahun 2023 kemungkinan besar akan menjadi tahun paling transformatif dalam postur pasukan AS di kawasan Indo-Pasifik untuk melawan perilaku militer China yang semakin tegas dan koersif. AS berusaha mencegah serangan terhadap Taiwan dengan tegas, dan bergulat dengan pembangunan nuklir Beijing, kata pejabat senior militer AS bulan lalu.

Undang-undang Otorisasi Pertahanan Nasional yang ditandatangani Presiden AS Joe Biden telah menetapkan anggaran militer AS untuk tahun berikutnya mencakup bantuan keamanan senilai US$10 miliar ke Taiwan selama lima tahun ke depan. Sementara Presiden China Xi Jinping telah menetapkan tolok ukur utama bagi Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) untuk maju dengan melakukan modernisasi pada 2027.

Badan Intelijen Pusat (CIA) AS menilai Beijing mengembangkan kemampuan untuk menguasai Taiwan pada tahun tersebut. Namun para pejabat militer percaya tidak ada kepastian waktu serangan di pulau itu dan akan sangat bergantung pada kesiagaan AS.

Puluhan ribu bisa jadi korban

Laporan CSIS itu juga menguraikan temuan dari 24 iterasi permainan perang menggunakan data sejarah dan penelitian operasi untuk memodelkan invasi amfibi China ke Taiwan tiga tahun dari sekarang. Sekaligus untuk memetakan hasil potensialnya. Dalam sebagian besar model skenario, Washington, Taipei, dan Tokyo akan mengamankan kemenangan dalam mempertahankan Taiwan.

“Ada satu asumsi utama di sini, Taiwan harus melawan dan tidak menyerah. Jika Taiwan menyerah sebelum pasukan AS beraksi, tentu akan sia-sia,” kata laporan itu.

Skenario yang paling mungkin terjadi yaitu, pasukan China diperkirakan jatuh dan menyebabkan sekitar 22.000 personel hilang di laut dan di darat, dengan hampir setengah 45 persen diasumsikan tewas. Sementara mayoritas lebih dari 30.000 orang China yang selamat di Taiwan bakal menjadi tawanan perang.

“Skenario ini tidak mengeksplorasi apa dampak kerugian ini terhadap sistem politik China, (Partai Komunis China) yang akan mempertaruhkan kekuasaannya,” kata laporan tersebut.

Namun, pertahanan Taiwan yang dilakukan oleh AS dan Jepang akan memakan biaya tinggi. Dalam konflik militer dengan Beijing, Washington kemungkinan besar akan mengalami kerugian terbesarnya sejak Perang Dunia Kedua, katanya.

“AS dan Jepang akan kehilangan puluhan kapal, ratusan pesawat, dan ribuan prajurit,” kata laporan itu.

Kerugian seperti itu akan merusak posisi global AS selama bertahun-tahun. Sementara militer Taiwan tidak hancur namun akan sangat terdegradasi dan dibiarkan mempertahankan ekonomi yang rusak di pulau itu tanpa listrik dan layanan dasar.

Laporan itu menyebutkan pasukan AS akan kehilangan sekitar 3.200 tentara dalam tiga minggu pertempuran. Jumlah ini sekitar setengah dari jumlah kematian negara itu dari 20 tahun pertempuran di Irak dan Afghanistan, sementara diprediksi terjadi kehilangan 140 per hari atau lebih dari empat kali lipat dari perang Vietnam. AS kemungkinan akan kehilangan dua kapal induk dan 10 hingga 20 pasukan angkatan darat dalam sebagian besar skenario, tambah laporan itu.

“Kami tidak menentang membela Taiwan seperti halnya kami berdebat untuk membela Taiwan, tetapi potensi biaya dari pertahanan semacam itu perlu menjadi bagian dari perdebatan,” kata Matthew Cancian, salah satu penulis dan peneliti senior di US Naval War College.

Namun, ia menegaskan bahwa memodelkan invasi tidak berarti bahwa hal itu tidak dapat dihindari, atau bahkan mungkin saja terjadi. Ada kemungkinan kepemimpinan China mengadopsi strategi isolasi diplomatik, tekanan zona abu-abu, atau paksaan ekonomi terhadap Taiwan. Bahkan jika Beijing memilih kekuatan militer, ini mungkin hanya berupa blokade daripada invasi secara langsung.

“Namun, risiko invasi cukup nyata dan berpotensi sangat merusak,” tambahnya.

Pada laporan itu juga disampaikan bahwa untuk berhasil mempertahankan Taiwan, AS harus bekerja sama untuk menyediakan senjata yang dibutuhkan, memperdalam hubungan diplomatik dan militer dengan Jepang, serta meningkatkan persenjataan rudal jelajah anti-kapal jarak jauh.

Apabila China yakin AS tidak mau menanggung biaya tinggi untuk mempertahankan Taiwan, maka China mungkin mengambil risiko invasi.

“Kemenangan itu tidak cukup, AS perlu segera memperkuat pencegahan,” kata penulis memperingatkan.

Pentagon didesak untuk tidak berencana menyerang China daratan, karena hal itu dapat menimbulkan risiko besar eskalasi dengan tenaga nuklir.

Adu kekuatan di latihan tempur

China dalam beberapa latihannya, tampaknya siap sepenuhnya menggunakan kekuatan militer untuk merebut Taiwan. Terlihat China sudah menyusun strategi yang matang. Berdasarkan latihan militer khusus dan pola tertentu dari jenis dan frekuensi pesawat yang dikirimnya ke Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ) Taiwan, dapat diperkirakan aksi militer China di Taiwan bisa jadi sudah dekat.

China terus melakukan latihan tembak-menembak terutama pada tingkat logistik strategis, di mana PLA melakukannya secara multi-arah dan dengan intensitas tinggi termasuk gabungan serangan laut dan udara. Tembakan rudal menggunakan pesawat tempur siluman J-20 dalam latihan tembak langsung memberi China kepercayaan diri untuk menegakkan blokade Taiwan dari segala arah dengan kemampuan bertahan untuk waktu yang lama.

Kementerian pertahanan Taiwan mengatakan 21 pesawat sempat memasuki zona ADIZ barat daya pulau itu, termasuk 18 pembom H-6 berkemampuan nuklir. H-6 adalah pembom jarak jauh utama China dan mampu membawa muatan nuklir. Jarang bagi China mengirim lebih dari lima pembom H-6 dalam satu hari.

Namun belum jelas apakah pengepungan militer itu juga berarti menjadi perang skala penuh atau serangan terbatas pada militer Taiwan untuk memaksanya menyerah. Atau bisa juga blokade yang berkepanjangan untuk memaksa Taipei menyerah dengan menghadirkan fait accompli.

“Ini tergantung pada skala dan jangkauan provokasi yang berasal dari Taiwan atau AS. Tindakan China dapat terpacu jika ada deklarasi kemerdekaan oleh separatis di Taiwan atau AS mengakui pulau itu sebagai negara dan meninggalkan kebijakan One China, atau bisa juga kunjungan lain oleh perwakilan tertinggi dari AS,” ungkap Eurasian Times.

Sementara itu, diam-diam AS sudah menempatkan jet tempur silumannya mengelilingi China. Angkatan Udara AS telah memutuskan mengirim jet tempur F-22 Raptor ke Pangkalan Udara Kadena di Jepang awal bulan lalu untuk menggantikan F-15 Eagles yang sudah kuno. Siaran pers dari Angkatan Udara Pasifik AS mengatakan bahwa F-22A Raptor sudah tiba di Kadena dari Alaska sejak 4 November lalu.

Kemudian di bulan yang sama, sebagai tanggapan atas peluncuran Rudal Balistik Antarbenua (ICBM) oleh Korea Utara, empat jet F-35A Korea Selatan dan empat pesawat tempur F-16 AS terbang dalam formasi serangan terkoordinasi dan berlatih menjatuhkan GBU (Guided Bomb Unit) dipandu laser dengan 12 bom di fasilitas peluncuran Pyongyang.

Sekutu AS di kawasan itu, Korea Selatan dan Jepang, masing-masing memiliki armada operasional jet tempur F-35 asal AS. Sedangkan Singapura mengoperasikan pesawat tempur F-35 Lightning II di wilayah yang lebih luas. Mitra pertahanan China, Thailand, juga telah memutuskan untuk membeli pesawat tempur F-35 dan menunggu persetujuan AS.

Back to top button