News

Prabowo Klaim Para Eks Tapol 1998 Dukung Dirinya, Benarkah?


Saat menjalani debat perdana Pilpres 2024, di KPU, Jakarta Pusat, Selasa (12/12/2023) malam, capres nomor urut 2 Prabowo Subianto mengklaim terdapat sejumlah mantan tahanan politik (tapol) dan korban penculikan yang kini masuk ke dalam barisan pendukung.

“Saya merasa bahwa saya yang sangat keras membela HAM, nyatanya orang-orang yang ditahan, tapol-tapol yang katanya saya culik, sekarang ada di pihak saya, membela saya saudara-saudara sekalian,” kata Prabowo di Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Selasa (12/12/2023).

Benarkah ada sejumlah mantan tapol dan korban penculikan yang kini mendukung Prabowo di Pilpres 2024?

Penelusuran Data

Dihimpun dari berbagai sumber, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid sempat menyoroti soal beberapa eks tapol dan korban penculikan 1998 yang dulunya menentang kini menjadi pendukung Prabowo.

Sebut saja ada elite Partai Demokrat Andi Arief. Lalu ada juga Budiman Sudjatmiko. Meski mereka bukan korban penghilangan, langkah keduanya dipertanyakan. Khususnya bagi Budiman, solidaritas eks petinggi PRD itu dengan aktivis yang pernah disiksa dan bahkan ada yang hilang sampai saat ini, pun dipertanyakan.

Pernyataan Prabowo yang menyebut ada sejumlah mantan tahanan politik (tapol) dan korban penculikan yang kini mendukung dirinya sebagai capres pada Pilpres 2024 ternyata sesuai dengan fakta di lapangan.

Namun, tidak semua korban penculikan 1998 mendukung Prabowo. Salah satunya adalah Petrus Haryanto yang menolak mendukung. Mantan Sekjen PRD mengatakan sejumlah aktivis 1998 pendukung Prabowo menyesatkan.

Menurut Petrus, pembelaan yang serampangan dan cenderung gelap mata demi kontestasi kekuasaan, sesungguhnya tidak pantas diucapkan oleh orang-orang yang mengklaim pernah menjadi aktivis perlawanan terhadap rezim otoriter Orde Baru.

Dia mengingatkan bahwa penyelesaian kasus kejahatan kemanusiaan negara (pelanggaran HAM berat) masa lalu, salah satunya kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa, merupakan mandat dan agenda politik 1998.

“Hal itu mengabaikan fakta dan bahkan benar-benar menyakiti korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia,” ujar Petrus dikutip dari siaran persnya beberapa waktu lalu. 

Back to top button