News

Peran Anyar Diplomasi Arab Saudi di Panggung Global

Sebagai negara kekuatan menengah, Arab Saudi mencoba memainkan peran penting di tengah ketegangan global. Ke depannya, Riyadh bakal sering mengambil peran sebagai mediator, karena tak ingin Visi Arab Saudi 2030 terdisrupsi.

Kedekatan Saudi dengan Rusia membuat 10 milisi asing dibebaskan dari tahanan militer Rusia. Milisi asing dari negara-negara yang memiliki hubungan dekat dengan Saudi, yaitu AS, Inggris, Kroasia, Maroko, dan Swedia, dibebaskan dari hukuman, termasuk vonis mati.

Mungkin anda suka

Pembebasan itu bagian dari kesepakatan pertukaran sekitar 300 tahanan antara Rusia dan Ukraina, September 2022. Ini pertukaran tahanan dalam jumlah besar dan pertama kali sejak Rusia menginvasi Ukraina, 24 Februari 2022. Tokoh utama di belakang layar pertukaran tahanan itu adalah Turki dan Arab Saudi.

Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan berterima kasih kepada Riyadh dan Ankara. Secara khusus, ia menyampaikan ucapan terima kasih Gedung Putih atas bantuan Putra Mahkota Kerajaan Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MbS). Dari 10 milisi asing dibebaskan dari tahanan militer Rusia, dua di antaranya warga AS.

“Kami berterima kasih kepada Putra Mahkota dan Pemerintah Arab Saudi karena telah memfasilitasi (pertukaran tahanan),” tulis Sullivan di akun Twitter-nya saat itu.

Menteri Luar Negeri Saudi Faisal bin Farhan menyebut, pembebasan itu bukti ketangguhan diplomasi Arab Saudi di panggung global. “Sekali lagi terbukti, hanya dialog jalan terbaik mengakhiri konflik ini,” ujar Faisal.

Hampir setahun kemudian, pekan pertama Agustus 2023, Riyadh mengundang beberapa negara untuk urun rembuk mendamaikan Rusia-Ukraina. Konferensi perdamaian yang digelar di Jeddah itu belum membawa hasil optimal.

Masih belum ada kata sepakat soal negosiasi langsung antara Rusia dan Ukraina. Apalagi, konferensi ini sama sekali tidak melibatkan Rusia, aktor utama konflik, di samping Ukraina dan sekutu-sekutu Baratnya.

Peran Saudi sebagai mediator adalah bagian dari perubahan situasi di Timur Tengah. Dalam beberapa bulan terakhir, dunia melihat perubahan situasi geopolitik yang signifikan di sana, dimulai dari mencairnya hubungan Iran-Arab Saudi, penghentian permusuhan antara Arab Saudi dan kelompok Houthi di Yaman, dibukanya kembali hubungan diplomatik Arab Saudi dan Qatar, hingga diterimanya kembali Suriah dalam Liga Arab.

“Perubahan ini mencerminkan kekuatan regional tingkat menengah untuk lebih berperan dalam percaturan global. Arab Saudi dan Turki adalah contoh kekuatan tingkat menengah yang sekarang membantu membentuk realitas internasional dengan cara yang jarang mereka lakukan selama Perang Dingin,” kata Hussein Ibish dari Institut Negara Teluk Arab di Washington, seperti dikutip dari CNBC.

Sejak awal invasi Rusia ke Ukraina berlangsung, Saudi dan sejumlah negara Teluk telah mencoba bersikap netral. Mereka berupaya untuk berpijak pada kebijakan luar negerinya sendiri serta tidak ikut dalam narasi AS dan Ukraina di satu sisi atau narasi Rusia di sisi lain.

Pada saat yang sama, pemimpin sejumlah negara Teluk menyatakan dukungan agar dunia internasional yang difasilitasi PBB mencari solusi diplomatik untuk menghentikan perang. Ini tecermin dalam resolusi Majelis Umum PBB 2 Maret 2022.

Sikap lainnya adalah desakan bersama, kembali melalui Majelis Umum PBB pada 24 Maret 2022 agar ada bantuan dan perlindungan bagi warga sipil Ukraina yang ada di daerah konflik serta mengkritik Moskow karena dinilai telah menciptakan bencana kemanusiaan.

Sikap Saudi untuk mencoba menyeimbangkan posisinya juga tecermin dalam penolakan permintaan Presiden AS Joe Biden untuk menambah produksi minyak. Penolakan permintaan ini membuat hubungan kedua negara menjadi renggang.

Di sisi lain, sejalan dengan resolusi Majelis Umum PBB, mengirimkan bantuan senilai US$400 juta dalam bentuk obat dan kebutuhan pokok bagi warga Ukraina. Saudi sama sekali tidak memberikan bantuan pada Ukraina dalam bentuk persenjataan atau dana untuk membeli persenjataan.

Pendiri Pusat Penelitian Teluk yang berbasis di Riyadh, Abdulaziz Sager, mengatakan bahwa dalam pandangan Saudi, bantuan persenjataan dari negara-negara Barat kepada Ukraina memiliki pola yang sama dengan apa yang terjadi di Suriah. Ujungnya adalah kehancuran total sebuah negara yang dulu dikenal memiliki peradaban maju dan kini sebaliknya, perang meninggalkan jejak penderitaan yang luar biasa.

Sementara di sisi Rusia, kepemilikan rudal penjelajah, kapal selam, hingga hulu ledak nuklir sebagai penggentar hanya akan menghancurkan dirinya sendiri dan juga dunia. Bagi Sager, itu adalah batasan yang tidak boleh dilewati.

Sager mengatakan, negara-negara Teluk memahami posisi AS dalam konflik Rusia-Ukraina. Namun, Washington tidak memahami atau bahkan tidak memerhatikan keinginan negara-negara Teluk, terutama agar stabilitas keamanan di kawasan terjaga.

Perang Rusia-Ukraina membawa dampak positif dan negatif ke dunia Arab. Bagi negara kaya minyak dan gas, hal ini membawa berkah. Sebaliknya, bagi negara nonprodusen minyak dan gas, atau yang produksinya terbatas, perang itu membawa petaka.

Suriah, Lebanon, Mesir, Tunisia, Aljazair, Maroko, dan Yaman adalah negara-negara yang memiliki hubungan khusus dan bergantung pada pasokan gandum Rusia ataupun Ukraina. Gangguan pasokan pangan karena perang, ditambah lagi kurangnya hasil panen akibat gangguan cuaca dan perubahan iklim, bisa berujung pada pergolakan politik. Ini akan menjadi masalah baru bagi dunia Arab, khususnya Saudi yang kini memimpin Liga Arab.

Amankan Visi Arab Saudi 2030

Sejak MbS secara de facto menjadi penguasa Kerajaan Saudi, penekanan utama kebijakan luar negerinya adalah untuk mendukung Visi Arab Saudi 2030 yang akan mengurangi ketergantungan perekonomian negara dari minyak. Diversifikasi ekonomi adalah jalan keluar Saudi agar tidak bergantung pada kekayaan hidrokarbonnya di masa yang akan datang.

Cara yang ditempuh Riyadh untuk memungkinkan proses ini adalah mengurangi ancaman dan ketidakstabilan politik di dalam negeri dan kawasan yang bisa menjadi risiko bagi upaya pengembangan ekonomi negara.

Peneliti senior Studi Keamanan Timur Tengah di Royal United Service Institute (RUSI) Inggris, Tobias Brock, memaparkan bahwa perbedaan frekuensi antara AS dan Riyadh dalam memandang perang di Ukraina dan efeknya ke kawasan, khususnya pengaruh pada Visi Arab Saudi 2030, telah membuat Riyadh mencari mitra alternatif untuk bekerja sama, terutama dalam bidang ekonomi.

Tanpa membahayakan hubungan keamanan dengan AS, Riyadh memandang China dan Rusia sebagai mitra strategis yang mampu melakukan lebih dari sekadar membeli minyak. Beijing dan Moskow juga dipandang sebagai mitra penting dalam transfer teknologi, pasar, dan sebagainya. Bahkan, posisi Rusia juga vital bagi Riyadh dalam mengendalikan pasar minyak global melalui kolaborasi dalam OPEC+.

”Secara keseluruhan, Arab Saudi mencoba menempatkan dirinya pada posisi yang membuatnya bisa memiliki hubungan konstruktif dengan semua pihak, termasuk kekuatan global yang tengah berkonflik,” katanya, dikutip laman RUSI.

Dalam peta politik global yang penuh ketidakpastian ini, MbS melihat Saudi bisa mengambil manfaat dari situasi sekarang serta kebangkitan ekonomi China, tanpa meninggalkan AS dan sekutu keamanan tradisionalnya. Sepertinya MbS ingin membuktikan bahwa Saudi memiliki peran penting di peta politik kawasan dan global, serta memanfaatkannya untuk mendorong Visi Arab Saudi 2030 menjadi kenyataan.

Back to top button