Kanal

Pemekaran Papua: Untuk Kepentingan Elit Jakarta atau Kesejahteraan OAP

“Tidak ada Otsus dalam kamus orang Papua. Orang Papua minta hak untuk menentukan nasib sendiri. Otsus ini ibarat anak haram hasil party sex antara elite Papua dan elite Jakarta. Kami dengan tegas menolak Otsus karena Otsus barang haram. Itu hasil perselingkuhan”

Oleh: Wiguna Taher

Ditandai pemukulan Tifa oleh Mendagri Tito Karnavian, tiga daerah otonomi baru (DOB) yaitu Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan, 11 November 2022, resmi menjadi  provinsi baru di Indonesia.

Tito juga melantik tiga penjabat (Pj) gubernur, masing-masing Apolo Safanpo sebagai Pj Gubernur Papua Selatan, Ribka Haluk sebagai Pj Gubernur Papua Tengah, dan Nikolaus Kondomo sebagai Pj Gubernur Papua Pegunungan.

Sepekan setelah itu, DPR mengesahkan RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya, sebagai provinsi ke-38.

“Hari ini merupakan tonggak sejarah bagi masyarakat, khususnya masyarakat wilayah Sorong Raya dan sekitarnya. Tentunya bagi Indonesia yang penuh sukacita menyambut hadirnya Provinsi Papua Barat Daya sebagai provinsi ke-38 Republik Indonesia,” kata Mendagri Tito Karnavian dalam rapat antara DPR dengan Pemerintah, Kamis (17/11/2022)

Kendati menyambut baik pembentukan provinsi baru Papua, Tito mengatakan, masih banyak PR yang harus dikerjakan untuk membenahi provinsi baru ini ke depan.

“Masih banyak kerjaan ke depan yang memerlukan kolaborasi kita semua, baik pemerintah, kemudian daerah, dan tentunya juga dari DPR dan DPD RI, semua pemangku kepentingan,” katanya.

Narasi bahwa pemekaran wilayah Papua untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, Orang Asli Papua (OAP) pun bergulir.

Presiden Joko Widodo misalnya memastikan bahwa pemekaran wilayah di tanah Papua adalah salah satu upaya untuk menciptakan pemerataan pembangunan.

“Ini dalam rangka pemerataan pembangunan karena memang tanah Papua ini terlalu luas kalau hanya dua provinsi, terlalu luas. Untuk memudahkan jangkauan pelayanan, itulah dibangun daerah-daerah otonomi baru,” ujar Jokowi saat menjawab pertanyaan jurnalis di Stadion Lukas Enembe, Kabupaten Jayapura, Rabu, 31 Agustus 2022 lalu.

Jokowi pun meyakini, pemekaran wilayah di Papua merupakan aspirasi yang berasal dari masyarakat Papua sendiri. Aspirasi tersebut telah ada sejak beberapa tahun lalu dan berasal dari berbagai kelompok masyarakat di berbagai wilayah.

“Sekali lagi, itu adalah permintaan dari bawah, bahwa ada pro dan kontra itu namanya demokrasi,” kata Jokowi seperti dilansir situs Kementerian PAN & RB.

Gelombang Penolakan

Rencana pemekaran provinsi Papua bukan tanpa gejolak. Selasa 10 Mei 2022 lalu misalnya unjuk rasa menolak pembentukan DOB dan pencabutan otonomi khusus (Otsus) merebak di sejumlah wilayah Jayapura.

Dalam unjuk rasa ini seorang demonstran kritis setelah terkena peluru karet yang diduga dilepaskan oleh aparat kepolisian. Polisi telah menangkap sejumlah orang. Polisi juga dikabarkan membubarkan paksa aksi dengan menggunakan water cannon.

Sebelumnya, demonstrasi dan penolakan besar-besaran juga terjadi di Wamena, Paniai, Yahukimo, Timika, Lanny Jaya dan Nabire. Demonstrasi itu juga membuat sejumlah korban luka-luka mulai dari warga sipil hingga polisi.

Penolakan lainnya juga tertuju pada pengesehan RUU Otsus Papua menjadi Undang-Undang pada 15 Juli 2022 lalu. Unjuk rasa menolak Otsus Papua kala itu menyebakna puluhan orang ditangkap.

Bahkan pasca pengesahan RUU Otsus Papua menjadi UU, sebanyak 714.066 orang Papua dan 112 organisasi yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP) menolak pengesahan RUU tersebut. Mereka menilai Otsus bukan jawaban untuk menyelesaikan permasalahan di tanah Papua.

Mereka menilai Otsus adalah produk yang dihasilkan dari perselingkuhan antara elite Papua dan elite Jakarta. Kebijakan tersebut sama sekali tidak mengakomodasi kepentingan orang Papua.

“Tidak ada Otsus dalam kamus orang Papua. Orang Papua minta hak untuk menentukan nasib sendiri. Otsus ini ibarat anak haram hasil party sex antara elite Papua dan elite Jakarta. Kami dengan tegas menolak Otsus karena Otsus barang haram. Itu hasil perselingkuhan,” ujar Rawarap dari Solidaritas Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua Barat dalam agenda PRP yang disiarkan akun youtube Suara Papua TV, Jumat (16/7/2022) seperti dilansir CNN Indonesia.com.

Senada, Majelis Rakyat Papua (MRP) juga menyebut pemerintah maupun DPR seharusnya cermat dan tak buru-buru memutuskan pemekaran Papua. Menurutnya, dampak kebijakan ini bakal melepas sebagian besar wilayah kultural MRP dan wilayah pemerintahan provinsi Papua.

MRP memandang Papua tidak memenuhi syarat kepadatan penduduk untuk dimekarkan. Mereka kemudian membandingkan jumlah penduduk Papua dengan provinsi lain yang memiliki penduduk banyak. Sehingga aneh bagi mereka apabila pemerintah justru berambisi melakukan pemekaran di Papua.

“Kami serba bingung. Sementara teman-teman di provinsi lain, katakan seperti di Jawa Barat, ini kan puluhan juta penduduk, tidak dimekarkan. Indikator syarat pemekaran itu kan juga sudah dipenuhi, tapi tidak dimekarkan,” kata Ketua MRP Timotius Murib, Selasa 22 Maret 2022 lalu.

Tidak Menyentuh Akar Masalah

Peneliti pada Pusat Penelitian Politik (P2P) BRIN Adriana Elisabeth menilai kebijakan pemekaran Papua perlu dibarengi dengan berbagai tindakan untuk menjawab akar masalah Papua yang seolah dipersepsikan termarjinalkan di tanah yang subur.

“Menurut saya (pemekaran wilayah) bisa menjadi solusi dan masalah baru. Jadi menurut saya, dua-duanya,” ujar Adriana kepada inilah.com.

Menurut Adriana, persoalan pengelolaan sumber daya alam (SDA) bukan menjadi faktor utama persoalan Papua. Sebab konflik yang terjadi di Papua bukan sebatas isu separatis di mana warga sipil angkat senjata membangkang pada pemerintah, tetapi terdapat pula konflik sosial yang mengangkat isu OAP dan non-OAP. Artinya, pendekatan pemekaran wilayah bisa menjadi dua sisi mata uang yang saling melengkapi untuk memberi solusi atau menimbulkan persoalan baru.

Pemekaran wilayah diyakini efektif untuk menjamin pelayanan publik pada warga pedalaman, mempersingkat rentang kendali kekuasaan. Namun secara substantif belum bisa menjamin meredakan konflik Papua.

Marjinalisasi OAP

Sebuah kajian yang dilakukan Tim Kajian Papua LIPI melalui Papua Road Map memaparkan beberapa akar masalah di balik kegagalan implementasi otsus di Papua dan Papua Barat khususnya, serta kegagalan penyelesaian secara menyeluruh atas berbagai persoalan Tanah Papua pada umumnya.

Pertama, masalah marjinalisasi dan diskriminasi terhadap OAP akibat pembangunan ekonomi, konflik politik dan deimigrasi massal ke Papua sejak tahun 1970. Untuk menjawab masalah ini, diperlukan adanya kebijakan afirmatif relogvisi untuk pemberdayaan OAP.

Kedua, kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Untuk itu diperlukan paradigma baru pembangunan yang berfokus pada perbaikan pelayanan publik demi kesejahteraan OAP.

Ketiga, adalah adanya kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta. Masalah ini hanya bisa diselesaikan melalui dialog seperti yang sudah dilakukan untuk penyelesaian konflik Aceh.

Keempat, pertanggungjawaban atas kekerasan negara di masa lalu terhadap warga negara Indonesia di Papua.

Tim LIPI menyimpulkan bahwa keempat isu dan agenda tersebut dapat dirancang sebagai strategi kebijakan yang saling terkait untuk penyelesaian konflik Papua secara menyeluruh dalam jangka panjang.

Hambatan lainnya adalah soal siapa yang menikmati dana Otsus. Para pemimpin atau elite Papua tidak hanya terbelah secara vertikal, yakni antara mereka yang menikmati kebijakan Otsus (mulai gubernur, para bupati, pejabat dan birokrasi daerah) dan kalangan yang tidak turut menikmatinya (rakyat pada umumnya), melainkan juga secara horizontal, yakni di antara sesama tokoh Papua yang berada di luar pemerintahan.

Sebagai gambaran, Kementerian Keuangan mencatat aliran dana Otsus dan Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) dari tahun 2002 hingga 2021 untuk Papua dan Papua Barat mencapai Rp138,65 triliun. Sementara Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dari 2005 hingga 2021 telah mencapai Rp702,3 triliun. Sedangkan belanja kementerian/lembaga untuk periode yang sama tercatat Rp251,2 triliun.

Faktanya, gelontoran dana ratusan triliun itu seperti tak berbekas. Papua tetap saja miskin.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah penduduk miskin di Papua pada Maret 2022 mencapai 922,12 orang. Angka ini setara dengan 26,56 persen dari total penduduk di provinsi tersebut. Sama seperti tahun sebelumnya, persentase kemiskinan di Papua menjadi yang tertinggi di antara seluruh provinsi di Indonesia.

Itu sebabnya, penambahan dana Otsus 0,25 persen menjadi 2,25 persen pada 2022 ibarat menggarami air laut, apabila disalurkan tanpa pengawasan dari pusat. Apalagi penambahan 2,25 persen harus dibagi kepada enam provinsi di Papua.

Perlu skala prioritas dan target yang tegas untuk dicapai dalam periode tertentu. Misalnya untuk urusan kesehatan terlebih dulu atau pendidikan yang diproyeksikan hingga 20 tahun ke depan. Jika tidak, pemekaran Papua dan dana Otsus tidak akan efektif meredam konflik dan dikhawatirkan akan akan menimbulkan persoalan baru.

PR besar lainnya adalah bagaimana membuat daerah hasil pemekaran itu menjadi mandiri dan tidak tergantung pada asupan dana dari pemerintah pusat. Soalnya, berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri, Provinsi Papua dan Papua Barat adalah dua provinsi yang 80 persen belanja operasional dan pembangunan dibiayai pemerintah pusat. Lalu Bagaimana dengan nasib empat provinsi hasil pemekaran yang baru saja dibentuk nanti?

Wajar jika banyak kalangan menilai penyaluran dana Otsus seolah menjadi strategi elit untuk membuat Papua tetap bergantung pada Jakarta.

Persoalannya lagi lagi, bagaimana dana itu bisa dikelola untuk kesejahteraan OAP? Kita tahu Papua itu daerah kaya SDA, tetapi kalau orang papua tidak bisa mengelola, manfaatnya sudah pasti tidak akan optimal terhadap Papua. Apalagi banyak SDA Papua kini dikuasai elit Jakarta. Inilah problem fundamental di Papua.

Wiguna Taher – Pemimpin Redaksi Inilah.com

Back to top button