News

Mengapa Orang Tua Tidak Menghormati Guru?

Puluhan ribu guru dan staf sekolah berdemonstrasi di Ibu Kota Seoul, Korea Selatan demi menuntut perlindungan hukum atas perilaku perundungan (bullying) sering dilakukan orang tua dan wali murid. Situasinya mirip yang terjadi di Indonesia, guru sering dianiaya dan tak dihormati oleh orang tua murid.

Demo pada Sabtu (16/9/2023) itu dipicu oleh kematian seorang guru di sebuah sekolah dasar di Seoul pada Juli lalu. Guru itu dilaporkan bunuh diri setelah sempat menunjukkan tanda-tanda depresi dan tekanan emosional akibat keluhan dari para orang tua murid yang diduga kerap merundung sang guru.

Mengutip Associated Press (AP), Kepolisian Seoul melaporkan sekitar 20 ribu guru dan staf sekolah hadir dalam demo pada Sabtu. Dengan mengenakan pakaian serba hitam, ribuan guru dan staf sekolah memenuhi jalan dekat Majelis Nasional (parlemen Korsel), meneriakkan slogan-slogan dan mengangkat poster bertuliskan: “Berikan kekebalan kepada guru dari klaim pelecehan emosional terhadap anak.”

Para pengunjuk rasa mengatakan lebih dari 9.000 guru telah dilaporkan oleh orang tua murid mereka karena dituduh melakukan pelecehan terhadap anak dalam delapan tahun terakhir. “Saya berharap RUU yang sedang dibahas sekarang (oleh anggota parlemen) akan disahkan sesegera mungkin untuk menjamin hak hidup guru dan memberdayakan guru untuk memberikan pendidikan yang baik,” kata Ahn Ji Hye, seorang guru dan salah satu penyelenggara protes.

Akibat protes ini, parlemen Korsel tengah memperdebatkan rancangan undang-undang untuk memenuhi beberapa tuntutan para guru soal perlindungan dari tuduhan pelecehan terhadap murid. Kementerian Pendidikan dan Kehakiman dalam siaran pers bersama mereka bahkan menuduh pemerintah pusat yang kini menerapkan kebijakan yang “terlalu menekankan hak asasi manusia anak-anak,” yang menurut mereka menyebabkan peningkatan “laporan pelecehan anak yang tidak berdasar.”

Situasi serupa terjadi di Tanah Air. Peristiwa terakhir sangat memilukan yakni seorang guru SMAN 7 Rejang Lebong Bengkulu bernama Zaharman terancam buta total setelah diketapel AJ, 45, orang tua salah satu muridnya PD, 16. Guru Zaharman memergoki anak didiknya itu tengah merokok lalu memarahinya. Saat PD, hendak lari, ia ditendang guru Zaharman. AJ pun tak tak terima lalu menyerang menggunakan ketapel yang mengenai mata sang guru. Selain luka parah di mata kanan, bola mata sebelah kiri Guru Zaharman juga mengalami katarak.

Ada banyak tindakan tegas guru yang tidak bisa diterima oleh orangtua siswa, padahal sang guru memberi hukuman kepada siswanya itu agar ia menjadi anak yang disiplin dan mematuhi aturan sekolah. Banyaknya kasus pelaporan orangtua murid ke Polisi atas tindakan tegas guru ke anak didiknya seolah membuat masyarakat menjadi latah. Yang akhirnya menjadikan banyak orangtua siswa sedikit-sedikit melaporkan guru yang mendidik anaknya gara-gara diberikan hukuman yang tegas.

Beberapa Kemungkinan Penyebab

Ada beberapa penyebab tentang fenomena guru yang semakin berani dan tidak menghormati guru.  Beberapa jawaban lama ada hubungannya dengan persepsi status guru. Setengah abad yang lalu, guru merupakan salah satu anggota masyarakat yang paling terpelajar. Ini berarti bahwa mereka, sampai batas tertentu, dipandang tinggi karena status belajar mereka. Sementara saat ini tingkat pendidikan guru dianggap sama dengan sebagian besar masyarakat, hal ini disebabkan karena banyak masyarakat yang sudah tamat SMA bahkan sarjana. 

Mengutip Richard Worzel di TeachMag, meski berbendidikan, orang tua tetap saja tidak benar-benar memahami apa yang dilakukan guru di kelas. Orang tua yang merasa sudah pernah sekolah berasumsi bahwa mereka memahami apa yang terjadi di sana, dan mengganggap pekerjaan itu tidak terlalu sulit. “Enak ya, Bu. Kerjanya cuma sampai siang, berbicara sebentar, dan pulang lebih awal,” katanya.

Mereka tidak memperdulikan kewajiban untuk menjangkau banyak anak, mengembangkan rencana pelajaran dan mengevaluasinya, serta memahami cara kerja pikiran siswa. Mereka juga tidak peduli teori dan praktik pedagogi (yang sulit), serta kerumitan administrasi dan keamanan. Dari luar, tampak seolah-olah para guru sedang mengadakan pertunjukan yang nyaman. “Jika saja sebagian besar orang tua mencoba mengajar selama beberapa minggu, sudut pandang mereka mungkin berubah meskipun kemungkinan hal itu terjadi sangat kecil,” katanya.

Selanjutnya, sikap orang tua kini sudah berubah. Kalau dulu jika siswa mendapat hukuman dari guru atau kepala sekolah, dan terdengar oleh orang tua, biasanya mendapat masalah ganda di rumah. Orang tua akan memberi pengertian, memarahinya atau memberi hukuman tambahan. Tapi saat ini berbeda. Banyak orang tua beranggapan bahwa anak kesayangannya pasti benar, maka gurunya pasti salah. Jadi mereka menyerang guru yang berani mendisiplinkan, atau bahkan memberikan nilai buruk kepada anaknya.

Alasannya ternyata sangat rumit. Pertama, orang tua didorong oleh waktu. Seringkali kedua orang tua bekerja, atau orang tua tunggal berusaha mengatasi masalah mereka sendiri, dan orang tua terkadang harus melakukan dua pekerjaan atau lebih untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akibatnya, orang tua sering kali merasa lelah, gelisah, marah-marah, dan tidak punya kesabaran untuk melihat lebih dalam apa yang terjadi pada anak-anaknya.

Memang benar, sebagian dari reaksi berlebihan mereka mungkin disebabkan oleh rasa bersalah. Karena mereka tidak menghabiskan cukup waktu bersama atau bersama anak-anaknya, lalu mereka menebusnya dengan berusaha menjadi orang baik. Ini mungkin berarti membiarkan anak tersebut menjadikan gurunya sebagai orang jahat.

Selain itu, ada pula anak yang menjadi hiasan ego orangtuanya. Anak-anak terkadang dipandang sebagai barang milik orang tua, seperti mobil mewah, pakaian mewah, atau ponsel kelas atas. Dan tentu tidak akan membiarkan seseorang membuat rusak mobil atau ponsel Anda. Kasihan juga anak-anak dari orang tua seperti itu yang harus berperilaku seperti hiasan kecil yang baik. Lebih parahnya orang tua akan gagal mendisiplinkan anaknya.

“Orang tua seperti ini sering menyalahkan guru atas kurangnya sopan santun atau disiplin yang dimiliki anak mereka, sama sekali mengabaikan fakta bahwa ini adalah tanggung jawab mereka, bukan tanggung jawab guru. Tentu saja, akibatnya adalah anak-anak dari orang tua seperti itu akhirnya menjadi anak-anak manja,” tambah Richard.

Dua generasi yang lalu, disiplin dapat berarti suatu bentuk hukuman seperti, “Berdirilah di pojok”, tamparan di tangan dengan penggaris, atau bahkan dikirim ke kepala sekolah untuk diberi sanksi. Saat ini, semua hal tersebut dianggap sebagai solusi Zaman Kegelapan, dan guru hampir tidak berdaya dalam hal disiplin. Yang lebih buruk lagi, para guru sering kali takut akan dampak teguran yang ringan sekalipun kepada anak didiknya.

Hal ini mengingat dampak yang ditimbulkan dapat berupa konfrontasi verbal dengan orang tua yang sedang marah, hingga penyerangan fisik baik dari orang tua atau siswa, ancaman tuntutan hukum, tuduhan penyerangan, atau lebih buruk lagi, penyerangan seksual, maka risikonya tinggi. Artinya motivasi guru untuk menerapkan disiplin sama sekali mendekati nol.

Back to top button