News

Membuka Ekspor Pasir Laut, Menanam Kembali Bom Waktu

Pada 2010, New York Times melaporkan bahwa Singapura ikut bertanggung jawab atas hilangnya setidaknya 24 pulau di Indonesia sejak 2005 akibat erosi yang disebabkan penambangan pasir ilegal. Setelah dihentikan 20 tahun lalu, kini pemerintahan Joko Widodo membuka kembali ekspor pasir laut. Tak kapok menambang masalah?

Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Aturan yang diundangkan pada 15 Mei 2023 ini salah satunya adalah keran ekspor pasir laut yang kini dibuka kembali setelah dilarang selama 20 tahun.

Pasir laut dan/atau material sedimen lain merupakan lumpur merupakan hasil sedimentasi di laut yang dapat dimanfaatkan. Pasir laut untuk reklamasi Khusus untuk pasir laut, dapat digunakan untuk tujuan reklamasi dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, dan pembangunan prasarana oleh pelaku usaha. Tak hanya itu, pasir laut juga dapat diekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Aturan itu menganulir larangan ekspor pasir laut yang berlaku selama dua dekade terakhir yakni Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Dalam SK itu dijelaskan bahwa alasan pelarangan ekspor ketika itu untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas. Berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil, khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah Indonesia di Kepulauan Riau sebagai akibat penambangan pasir. Alasan lainnya, belum diselesaikannya batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura.

Singapura menjadi importir pasir terbesar di dunia seiring kebutuhan untuk reklamasi lahan, menurut laporan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) tahun 2014. Data dari Otoritas Pertanahan Singapura menunjukkan bahwa Singapura telah berkembang menjadi 724,2 kilometer persegi pada tahun 2018 dibandingkan dengan luas daratannya sebesar 581,5 kilometer persegi pada tahun 1959 –peningkatan sebesar 24 persen.

Pasir Laut Lingkungan
Aktivitas penambangan pasir laut. [foto: National Geographic]

Kontroversi sejak lama

Keputusan pembukaan kembali keran ekspor pasir laut ini cukup mengagetkan. Hal ini mengingat Indonesia setidaknya dalam 20 tahun terakhir telah sepakat bahwa ekspor pasir laut dilarang karena menyebabkan kerusakan lingkungan. Kalangan lembaga lingkungan dunia juga telah bersuara senada bahwa penambangan pasir laut bisa merusak lingkungan dan berefek jangka panjang.

Pembahasan dampak lingkungan dari penambangan pasir laut ini sudah muncul sejak lama di dunia. Sebuah film dokumenter pendek oleh pembuat film Kamboja mengklaim bahwa Singapura telah mengimpor lebih dari 80 juta ton pasir senilai lebih dari US$740 juta dari Kamboja. Film berdurasi 16 menit ini menyoroti ketergantungan Singapura pada pasir impor untuk reklamasi tanah.

Film dokumenter 2018 oleh Kalyanee Mam itu, memenangkan penghargaan di festival film lingkungan yang diadakan di Washington, Amerika Serikat, pada Maret 2019. Film itu mengklaim bahwa kebutuhan Singapura akan pasir telah menghancurkan mata pencaharian masyarakat di sebuah pulau di lepas pantai Kamboja.

Marc Goichot Air World Wide Fund for Nature (WWF) mengutip Malaymail, mengungkapkan, pasir memiliki peran kunci dalam menciptakan dan memelihara keutuhan ekosistem sungai dan pesisir. Namun penggunaannya saat ini di seluruh dunia tidak dikelola dengan baik. “Ini telah menghasilkan tantangan keberlanjutan global yang besar, yang baru mulai muncul.”

Meski berukuran butiran, Goichot mengatakan bahwa pasir memiliki peran morfologis yang besar. Misalnya, bentuk sungai dapat berubah dengan mengambil pasir dari dasar sungai. “Ini menurunkan tabel air tanah, mempengaruhi akses ke air, mengubah vegetasi dan menyebabkan erosi tepian sungai yang intens.”

Sementara Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) sudah mengingatkan pengurangan pasir dari ekosistem laut dan sungai menyebabkan dampak lingkungan yang signifikan. Termasuk erosi pantai dan sungai, delta yang menyusut, perubahan tata guna lahan, polusi udara, salinisasi akuifer pesisir dan cadangan air tanah, ancaman terhadap perikanan air tawar dan laut serta keanekaragaman hayati.

Di Indonesia, Kementerian ESDM sebenarnya sudah melakukan penelitian tentang dampak aktivitas penambangan pasir laut seperti yang dilakukan di Kampung Lontar, Banten. Aktifitas penambangan pasir laut di Kampung Lontar telah dimulai secara legal sejak 2003 dan telah berhenti untuk sementara tahun 2013.

Temuan lapangan yang dilakukan pada setahun setelah penambangan pasir laut dihentikan menunjukkan bahwa perkampungan itu mengalami masalah lingkungan yang kritis seperti proses erosi pantai, kekeruhan yang tinggi, dan hilangnya kehidupan laut serta berbagai aneka ragam habitat. Lebih lanjut lagi penelitian ini telah menemukan bahwa sekumpulan ladang budidaya perairan telah beralih menjadi tambang pasir.

Data Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia juga menyebutkan, reklamasi Singapura yang dipusatkan di pantai barat dan timur itu, membutuhkan delapan miliar kubik pasir yang didatangkan dari Kepulauan Riau dalam kurun waktu 24 tahun (1978-2002). Bahkan kementerian itu mencatat, nilai kerugian yang dialami Indonesia mencapai 42,38 miliar dolar Singapura. Setiap hari, ada 29 kali kapal hilir mudik membawa ribuan meter kubik pasir laut dari Kepri menuju Singapura. Kapal tersebut berkapasitas muat antara 1.000-4.000 meter kubik sekali angkut.

Pasir Laut lingkungan
Penambangan pasir laut di wilayah tangkap ikan nelayan di perairan Copong Kepulauan Spermonde, Makassar, Sulawesi Selatan mengakibatkan air keruh dan nelayan sulit mendapatkan ikan, terutama ikan Tenggiri. [foto: WALHI]

Efek buruknya seperti bom waktu

Dampak negatif yang harus dirasakan dari penambangan pasir laut jauh lebih besar. Mengutip Deepoceanfact, efek dari aksi mengeruk pasir dari dasar laut itu akan menyebabkan kerusakan ekosistem laut dalam waktu yang sangat lama. Tak hanya itu, waktu pemulihannya tidak bisa cepat. Penambangan ini akan meningkatkan abrasi pantai dan erosi pantai, mengurangi kualitas lingkungan laut serta meningkatnya pencemaran di daerah pesisir.

Dampak lainnya adalah penurunan kualitas air yang menyebabkan air laut semakin keruh, serta menyebabkan turbulensi sehingga terjadi peningkatan kadar padatan tersuspensi di dasar perairan. Selain itu, bisa meningkatnya intensitas banjir rob terutama di wilayah pesisir yang terdapat penambangan pasir laut serta merusak ekosistem terumbu karang dan fauna yang menghuni ekosistem tersebut.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sudah mengingatkan, kebijakan ini mengancam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang seharusnya dijaga kelestariannya. “Kebijakan ini bertentangan dengan komitmen Jokowi yang ingin melindungi ekosistem laut, wilayah pesisir, dan pulau kecil,” kata Direktur Eksekutif Daerah WALHI Boy Jerry Even Sembiring.

Melihat dampak buruk dari penambangan pasir laut terutama di masa mendatang, berarti pula pemerintahan Jokowi tengah menyimpan bom waktu bagi masa depan lingkungan dan kehidupan anak anak bangsa. Demi alasan meraup pendapatan negara harus mengorbankan lingkungan yang akan sulit untuk dipulihkan kembali.

Back to top button