News

Kualitas Udara Jakarta Memburuk, Yuk Kembali Gunakan Masker

Kualitas udara Jakarta menduduki peringkat terburuk di dunia pada Minggu (20/8/2023) pagi menurut website pengukur udara asal Swiss, IQ Air. Kondisi udara Jakarta yang terus memburuk semestinya diikuti dengan imbauan dan kesadaran penggunaan kembali masker untuk mencegah berbagai penyakit pernapasan.

Menurut IQ Air tingkat polusi udara di Jakarta memiliki kualitas yang tidak sehat dengan ukuran Indeks Kualitas Udara (AQI) 155 dan polutan utama PM2,5. Sementara suhu udara di Jakarta juga dilaporkan 30 derajat Celsius dengan cuaca berkabut dan kelembaban udara 60 persen. Kecepatan angin mencapai 13 km per jam dengan tekanan 1.013 mbar.

Dengan tingkat konsentrasi PM2,5 di Jakarta seperti ini berarti mencapai hingga 13,6 kali panduan kualitas udara tahunan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Di beberapa wilayah di Jakarta seperti Kemayoran, Kemang V, dan Jeruk Purut memiliki kualitas dengan indeks masing-masing 183 AQI US, 179 AQI US, dan 175 AQI US.

Kondisi polusi udara seperti ini harus segera disikapi dengan penggunaan masker. Imbauan datang dari Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Yudo Dwinanda Priaadi. “Saya mengimbau kepada kalian semua (masyarakat) yang di lapangan. Pada jam sibuk di sore hari dan di malam hari pakailah atau gunakanlah masker kembali,” kata Yudo di Kementerian ESDM, Minggu (20/8/2023).

Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah bakal mewajibkan kembali penggunaan masker untuk mengurangi dampak ikutan dari polusi udara yang dinilai makin mengkhawatirkan saat ini. “Sekarang akan kita wajibkan masker lagi, kita sarankan terutama teman-teman polisi itu semua sudah mulai pakai masker, tapi masker ini hanya 15 persen jadi kita sekarang lagi mengadakan masker yang bisa 50 persen,” kata Luhut di Jakarta, Jumat (18/8/2023).

Usulan itu disampaikan Luhut selepas memimpin rapat koordinasi  Upaya Peningkatan Kualitas Udara Kawasan Jabodetabek lintas kementerian/lembaga (K/L) serta Pemda DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jakarta. “Particulate Matter (PM2.5) bisa kena jantung, kanker pernapasan, kena kan ga ada pangkat, jabatan siapa pun bisa kena, ga ada agama atau suku semua bisa kena,” kata dia.

Penggunaan masker untuk warga Jakarta menjadi sebuah keharusan. Ada pandemi COVID-19 atau tidak, warga diharapkan tetap menggunakan masker sebagai bagian dari kehidupan normal. Ini karena ancaman polusi yang masih tinggi di Ibu Kota. Masker tak hanya melindungi kita dari virus penyebab COVID-19 tetapi juga dari polusi udara. Masker akan sangat membantu menghalau racun dari polusi kendaraan maupun industri.

Polusi Bisa Mengancam Jiwa

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 99 persen orang terpapar polusi tingkat berbahaya seperti partikel, karbon monoksida, ozon, dan nitrogen dioksida. Polusi udara telah lama dikaitkan dengan asma, penyakit jantung dan paru-paru dan beberapa jenis kanker. Sekitar 7 juta orang per tahun meninggal sebelum waktunya karena penyebab yang berhubungan dengan polusi.

Banyak polutan yang merugikan dalam jangka pendek juga menyebabkan efek jangka panjang dari pemanasan global. Karbon dioksida, gas rumah kaca yang paling umum, sebagian besar berasal dari pembakaran bahan bakar fosil dan pembakaran pertanian.

Proses yang sama menghasilkan jelaga, atau PM2.5 – partikel kecil 2,5 mikrometer atau lebih kecil yang menembus paru-paru dan memasuki aliran darah, meningkatkan risiko gagal jantung. Metana, gas rumah kaca 80 kali lebih kuat daripada karbon dioksida pada pemanasan planet ini, mengarah pada pembentukan ozon di permukaan tanah, komponen kunci dalam kabut asap dan oksidan yang dapat menyebabkan kerusakan paru-paru.

Penggunaan masker ikut berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat terutama untuk penurunan penyakit pernapasan. Di Kanada, lonjakan tahunan infeksi influenza, tidak terjadi selama dua musim dingin sejak awal pandemi. Peningkatan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), penyakit paru-paru parah yang terkait dengan merokok jangka panjang, dan pneumonia non-COVID-19 yang diderita warga Kanada menurun hampir 40 persen setelah penerapan masker.

Temuan ini didukung oleh penelitian lain terhadap 15.677 pasien dari sembilan negara. Studi itu melaporkan pengurangan 50 persen dalam penerimaan rumah sakit untuk PPOK setelah timbulnya pandemi. Ini tidak sepenuhnya mengejutkan karena baik PPOK maupun pneumonia non-COVID-19 sering dipicu oleh virus flu biasa.

Efektif Mengurangi Efek Polusi

Penggunaan masker efektif untuk menangkal bahaya polusi udara. Selama ini polusi seperti sudah akrab dengan kehidupan warga Jakarta. Lebih dari 20 juta kendaraan mengeluarkan asap, belum lagi asap indutri serta polusi dari para perokok sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Penggunaan masker bisa membantu menyaring racun dari polusi udara sehingga sangat tepat jika warga terus diimbau untuk menggunakannya. Tentunya sambil menunggu penanganan yang lebih serius dari pemerintah untuk mengurangi polusi udara. Pencemaran udara Jakarta yang semakin memburuk memang bukan masalah yang mudah untuk diatasi. Warga dapat mengambil langkah-langkah untuk melindungi kesehatan mereka sendiri dengan bermasker.

Di beberapa negara seperti Jepang, kesadaran warga menggunakan masker cukup tinggi sebagai perlindungan terhadap polusi udara. Demikian pula di Vietnam. Ini harus menjadi contoh baik bagi warga Jakarta. Pemprov DKI Jakarta, melalui Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta sudah mengimbau warga untuk tetap menggunakan masker saat berada di luar ruangan, mengingat situasi polusi udara yang semakin parah. Namun imbauan ini tak akan artinya tanpa ada kesadaran dan gerakan bersama menggunakan masker yang tumbuh dari diri sendiri.

Memang menggunakan masker dalam jangka waktu lama juga tidak sehat bagi kesehatan.  Dalam sebuah studi penggunaan masker N95 dan masker bedah yang berkepanjangan oleh para profesional kesehatan selama Covid-19 telah menyebabkan efek samping seperti sakit kepala, ruam, jerawat, kerusakan kulit, dan gangguan kognisi pada sebagian besar dari mereka yang disurvei.

Apalagi memakai masker di tengah panasnya suhu Ibu Kota, tentu menjadi sebuah tantangan bagi warganya. Akan terasa tidak nyaman dan menganggu. Hanya saja, upaya yang tampak sepele ini bisa bermanfaat besar bagi tubuh kita dari pencemaran zat berbahaya. Para pakar kesehatan sepakat penggunaan masker lebih penting untuk menekan penyebaran penyakit seperti pada pernapasan akibat racun polusi yang mengancam jiwa.

Aturan kewajiban menggunakan masker telah dicabut lewat Surat Edaran (SE) No 1/2023 tentang Protokol Kesehatan pada Masa Transisi Endemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang ditetapkan pada 9 Juni 2023. Namun sebaiknya warga Jakarta, harus memulai kembali menggunakan masker agar tidak menyebabkan konsekuensi kesehatan yang serius. Lebih baik mencegah dari pada mengobati.

Back to top button