Hangout

Ketika Semesta Berkedip

3BP berbasis pada pertanyaan klasik dan hipotesis para astrofisikawan tentang tiga surya dalam galaksi Bimasakti jika saling mendekat, dan menghasilkan akumulasi gravitasi yang membuat keadaan di bumi porak-poranda, peradaban muncul dan hancur, bergonta-ganti antara era stabil dan era kecamuk (chaotic era).

Oleh     : Akmal Nasery Basral*

Apakah filsafat harus memandu eksperimen, atau eksperimen harus memandu filsafat?”–Liu Cixin, The Three-Body Problem

 

HADIAH Lebaran bagi penggemar fiksi ilmiah sejagat datang lebih cepat. Sejak selumbari (Kamis, 21 Maret), Netflix menayangkan 3 Body Problem (3BP), mini seri 8 episode karya Liu Cixin—dalam penulisan Barat menjadi Cixin Liu–novelis sci-fi kampiun asal Tiongkok.  Sampai di sini, Anda yang alergi Star Trek atau Star Wars mungkin memutuskan berhenti membaca ulasan ini apalagi menonton filmnya. Sabar dulu, Sahabat. 

Adegan pembuka 3 BP tidak terjadi di galaksi “far,far away” dengan aneka makhluk berpenampilan ganjil, melainkan di Universitas Tsinghua pada 1966 yang murka. Saat itu Revolusi Kebudayaan diterapkan secara masif tanpa kompromi. Guru Besar Astrofisika Profesor Ye Zhetai dihukum cambuk di halaman universitas dengan tuduhan berkhianat terhadap ajaran Ketua Mao yang ingin ‘memurnikan’ pikiran masyarakat China. Di antara kerumunan yang menyaksikan eksekusi brutal yang menyebabkan sang dosen meninggal adalah putrinya, Ye Wenjie, yang juga mahasiswi Tsinghua.

Cerita kemudian melompat ke London tahun 2024. Ya, tahun ini.  Ye Wenjie punya seorang anak perempuan bernama Dr. Vera Ye, seorang pengajar fisika jempolan di Universitas Oxford yang memiliki lima orang mahasiswa jenius dari bermacam etnis yang dijuluki “The Oxford Five”. Mereka adalah Saul Durand, Auggie Salazar, Jack Rowney, Will Downing, dan Jin Cheng. 

Kegemparan terjadi saat Vera Ye ditemukan bunuh diri setelah menggunakan sebuah headset supercanggih (seperti helm pilot pesawat tempur) yang membuat penggunanya masuk ke dalam dunia realitas virtual, melintasi zaman dan peradaban. 

Pada saat yang bersama di berbagai negara, satu persatu ilmuwan jempolan juga ditemukan tewas mengenaskan, setelah mencoba headset dengan kemampuan teknologi yang diklaim ‘150 tahun lebih maju dari teknologi manusia sekarang' itu. Kematian beruntun para saintis secara mengerikan tersebut membuat seorang investigator bernama Clarence Da Shi (diperankan secara meyakinkan oleh aktor kawakan Benedict Wong) harus mengungkap motif pembunuhan brutal.

Jadi, apakah ini film tentang kriminalitas dan detektif? Tidak juga.

Sebab 3BP berbasis pada pertanyaan klasik dan hipotesis para astrofisikawan tentang tiga surya dalam galaksi Bimasakti jika saling mendekat, dan menghasilkan akumulasi gravitasi yang membuat keadaan di bumi porak-poranda, peradaban muncul dan hancur, bergonta-ganti antara era stabil dan era kecamuk (chaotic era).

Pertanyaan klasik lainnya menyangkut Paradoks Fermi. Syahdan, fisikawan Enrico Fermi pernah bertanya kepada seorang koleganya di Los Alamos, “Jika dalam galaksi kita terdapat ratusan miliar bintang dan di antara bintang-bintang itu pasti ada yang mirip dengan kondisi bumi yang memiliki makhluk cerdas, mengapa selama ini makhluk-makhluk itu tidak pernah terlihat? Atau wahana antariksa mereka tidak pernah ditemukan?”

Pertanyaan berat dan serius itu yang merupakan “ruh” novel Cixin Liu. Dalam versi film dikemas dengan story telling yang lebih mudah diiikuti penonton umum berkat tangan dingin produser eksekutif David Benioff & D.B. Weiss (Game of Thrones) dan gambar-gambar megah, kolosal, puitis, besutan sutradara Derek Tsang (terutama pada dua episode pertama yang spektakuler). 

Maka, sejumlah pengembangan kreatif tim produksi dilakukan seperti terhadap peran “The Oxford Five” yang dalam novel aslinya semua mahasiswa Tiongkok.  Dengan begitu persahabatan “The Oxford Five” menjadi lebih realistis, menyeli-nap jauh sampai ke jantung makna perkawanan sejati terlepas dari sekat-sekat ras dan etnis. 

3BP  adalah film yang menggabungkan elemen-elemen sejarah, budaya, astrofisika, ilmu lingkungan, nanofiber, teknik nuklir, realitas virtual, kecanggihan A.I, dan filsafat ketuhanan, serta filsafat kemanusiaan, sebagai satu peradaban bersama di tengah keluasan alam semesta yang–secara hipotesis– memiliki peradaban makhluk lain non-manusia yang lazim disebut ‘alien’. 

Film ini memiliki potensi binge-watching sangat tinggi. Begitu episode pertama selesai ditonton, Anda tak punya pilihan lain selain melanjutkan episode kedua, dan seterusnya, tanpa jeda. Sebagus itu.

Apalagi jika ditonton di akhir pekan di tengah zikir dan ibadah Ramadan sebagai salah satu cara tadabbur terhadap kompleksitas alam semesta dan kesempurnaan Sang Maha Pencipta Yang Maha Rahim dan Maha Rahman. (QS 67: 3-4). Sekontemplatif itu! [ ]

Cibubur, 23 Maret 2024

*Penulis novel fiksi ilmiah Disorder (Bentang Pustaka, 2020) tentang pandemi masa depan SOIV-26 ( Swine Origin Influenza Virus) yang berkecamuk pada 2026 dan berawal dari  Kota Harbin, China.

Back to top button