Market

Jatim Masih Bisa Jadi Andalan Produksi Gula Nasional

Provinsi Jatim masih bisa meningkatkan produksi gula dalam negeri karena dengan  500 ribu hektare lahan tebu telah mendukung produksi mencapai 2,4 juta ton. Jadi tidak harus melakukan impor gula untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Secara teori pada tahun 1930, produksi gula mencapai sebesar tiga juta ton dengan luas lahan sekitar 200 ribu hektare. “Mestinya dengan lahan seluas itu kita sudah bisa surplus dalam memenuhi kebutuhan gula nasional, tidak harus impor,” kata Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, Adik Dwi Putranto dalam keterangan resminya di Surabaya, Jumat (24/11/2023).

Adik menjelaskan, saat ini konsumsi gula nasional mencapai 2,8 juta ton per tahun, sehingga dari produksi gula tersebut ada defisit sebesar 450 ribu ton.

Dengan demikian, langkah ekstensifikasi yang dilakukan pemerintah dengan menambah lahan tebu sebenarnya bukan solusi yang tepat. Alasannya karena peningkatan produksi gula nasional sebenarnya bisa dicapai dengan intensifikasi dan insentif, bukan ekstensifikasi.

“Bagaimana caranya yang 500 ribu hektare ini produktivitas dinaikkan? Ini yang harusnya menjadi fokus pemerintah,” ucapnya.

Jadi persoalan ini hampir terjadi di seluruh komoditas pangan lain, tidak hanya pada komoditas tebu. “Kalau kemudian pemerintah justru berupaya keras menambah lahan agar produksi naik, maka bagi kami, ini adalah kebijakan putus asa,” ujarnya.

Dengan situasi seperti ini, lanjut adik, yang diperlukan adalah riset mendalam terkait dengan intensifikasi, mulai dari pengolahan lahan hingga efisiensi pupuk dan penggunaan teknologi pertanian yang baik.

“Insentif untuk komoditas tebu juga harus diberikan, misalnya subsidi pupuk. Dulu pupuk ZA untuk tebu itu subsidi, tetapi sekarang tidak subsidi, dan kalau bicara intensifikasi, maka harus teknologi yang dibicarakan. Mulai dari penggunaan teknologi untuk mengetahui kondisi lahan lahan, bagaimana teknologi pengolahan, sampai teknologi pemupukan,” ucapnya.

Adik mencontohkan, layanan yang diberikan oleh PT Saraswanti, salah satu industri pupuk dalam negeri, untuk pengobatan hama sudah menggunakan drone sehingga pemakaian bahan kimia dan pemakaian air lebih efisien serta lebih tepat sasaran.

Selain itu, kata dia, jenis pupuk yang diproduksi juga “custom”, disesuaikan dengan kondisi tanah konsumen yang membeli.

“Tren sekarang, pupuk itu ‘custom’. Misal saya memiliki lahan apel di Kota Batu, pupuk apa yang dibutuhkan, maka Saraswanti akan menugaskan tim untuk melihat tanahnya bagaimana. Sehingga pupuk yang dipakai akan sama dengan yang dibutuhkan oleh tanahnya. Ini lebih efisien,” tuturnya.

“Ini teknologi semua. Dengan teknologi, pasti akan mengefisienkan biaya produksi. Ini yang selama ini ditunggu-tunggu petani, bagaimana biaya produksi bisa ditekan tetapi produksi meningkat,” katanya.

Back to top button