News

MK Tolak Gugatan UU Pemilu yang Diajukan PKS dan Partai Buruh

Kamis, 29 Sep 2022 – 23:16 WIB

Photocollage 20220929 123940556 - inilah.com

Tangkapan layar Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman saat membacakan amar putusan gugatan UU Pemilu yang diajukan PKS. (Foto: Antara)

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan pengujian Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang diajukan oleh PKS dan Partai Buruh. MK menolak permohonan yang diajukan PKS terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dan dalam sidang terpisah turut menolak gugatan dari Partai Buruh terkait verifikasi partai politik (parpol) calon peserta pemilu, syarat anggota parpol, dan pembuatan aturan pemilu.

PKS meminta MK untuk menurunkan ambang batas pencalonan presiden dari 20% menjadi 7-9%. Dalam pertimbangannya MK mengutip keputusan yang terdahulu dengan mengatakan ketentuan tersebut merupakan kebijakan politik yang terbuka, sehingga gugatan yang diajukan PKS yang diwakili Ketua Umum Ahmad Syaikhu dan Sekretaris Jenderal Aboe Bakar Alhabsyi sebagai pemohon I dan Ketua Majelis Syura PKS Salim Segaf Aljufri sebagai pemohon II, tidak dapat diterima.

“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman, membacakan amar putusan Perkara Nomor 73/PUU-XX/2022 yang diajukan PKS dalam sidang yang digelar di Jakarta, Kamis (29/9/2022).

Keputusan MK diwarnai alasan berbeda (concurring opinion) dari dua anggota hakim konstitusi yakni Suhartoyo dan Saldi Isra. Suhartoyo menilai ambang batas pencalonan presiden tidak tepat dibatasi dengan persentase. Sedangkan hakim konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan MK meyakini Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 yang mengatur ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden oleh partai politik dan gabungan partai politik.

“Menurut MK, hal tersebut bukanlah menjadi ranah wewenang MK untuk menilai kemudian mengubah besaran angka ambang batas. Hal tersebut juga ditegaskan oleh para pemohon dalam permohonannya, vide permohonan halaman 26 merupakan kebijakan terbuka sehingga menjadi kewenangan para pembentuk undang-undang, yakni DPR dengan presiden untuk menentukan lebih lanjut kebutuhan legislasi mengenai besaran angka ambang batas tersebut,” jelas Enny.

Dalam sidang yang berbeda, MK menolak gugatan UU Pemilu dari Partai Buruh yang dimohonkan Ketum Said Iqbal dan Sekjen Ferri Nuzarli. Partai Buruh mendalilkan Pasal 173 UU Pemilu yang telah dimaknai oleh Putusan MK Nomor 55/PPU-XVIII/2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Adapun pasal tersebut mengatur tentang ketentuan verifikasi partai politik calon peserta pemilu.

Partai Buruh meminta MK menyatakan ketentuan Pasal 173 UU Pemilu, yaitu kata “verifikasi” bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai sebagai “verifikasi secara administrasi”. Partai Buruh juga memohon agar MK menyatakan Pasal 177 huruf f UU Pemilu yang mengatur syarat minimal anggota partai politik, yaitu paling sedikit 1.000 atau 1/1.000 orang dari jumlah penduduk di suatu kabupaten/kota bertentangan dengan UUD NRI 1945.

Pemohon menilai frasa “penduduk pada setiap kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak dimaknai “penduduk yang beralamat di satu kabupaten/kota sesuai dengan KTP atau KK atau penduduk yang berdomisili di satu kabupaten/kota sesuai dengan surat keterangan kependudukan dari instansi yang berwenang di bidang pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil”. Ketentuan itu, menurut pemohon, sesuai dengan definisi penduduk dalam Pasal 26 ayat (2) UUD NRI 1945.

Selain itu, Partai Buruh juga memohon MK agar menyatakan ketentuan Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), dan Pasal 161 ayat (2) UU Pemilu yang mengatur tentang kewajiban bagi KPU, Bawaslu, dan DKPP untuk berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam membuat setiap peraturan bertentangan dengan UUD NRI 1945. Alasannya KPU, Bawaslu dan DKPP merupakan lembaga independen sebagaimana ditetapkan oleh Pasal 22E ayat (5) UUD NRI 1945. Pemohon menilai frasa “wajib berkonsultasi dengan DPR” bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai “dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya tidak bersifat mengikat”.

Hakim konstitusi Manaha Sitompul menyampaikan bahwa MK menilai dalil pemohon tentang Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu, sebagaimana pertimbangan hukum dalam Putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020, tidak beralasan menurut hukum. Sedangkan permohonan terkait Pasal 177 huruf f UU Pemilu, MK menilai apabila hal tersebut dikabulkan akan menimbulkan kekacauan dalam verifikasi faktual parpol sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, MK menilai dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Terakhir, terkait permohonan mengenai Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), dan Pasal 161 ayat (2) UU Pemilu, MK menilai pasal-pasal tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 22E ayat (5) UUD NRI 1945, terutama karena dalam ketentuan pasal-pasal itu tidak terdapat kata “mengikat” sehingga tidak perlu diganti menjadi “tidak mengikat”. Dengan begitu, seluruh permohonan yang diajukan Partai Buruh dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan Perkara Nomor 78/PUU-XX/2022 tersebut.

Back to top button