News

KPU dan Bawaslu Diminta Waspadai Hoaks dan Ujaran Kebencian Jelang Pemilu

Terbitnya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum, tidak menghilangkan kekhawatiran terkait beredarnya informasi palsu dan ujaran kebencian pada Pemilu 2024.

Mungkin anda suka

Direktur Eksekutif The Indonesian Institute (TII) Adinda Tenriangke Muchtar menyarankan KPU dan Bawaslu perlu mengoptimalkan sosialisasi mengenai aturan kampanye politik di media sosial kepada para peserta pemilu agar dapat dipatuhi dengan baik.

“Nampaknya aturan tersebut belum dapat mengurangi peredaran informasi palsu dan ujaran kebencian di media sosial jelang kampanye Pemilu 2024,” kata Adinda dalam diskusi publik yang diselenggarakan TII dan Paramadina Graduate School of Diplomacy (PGSD) Universitas Paramadina di Jakarta, Senin (2/10/2023).

Selain KPU, Adinda juga meminta  Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) perlu memperkuat penegakan sanksi administratif atas pelanggaran kampanye politik di media sosial.

Bawaslu, juga dinilai perlu mengumumkan kepada publik secara berkala tentang kasus pelanggaran kampanye di media sosial dan mengeluarkan peringatan kepada peserta yang melanggar peraturan kampanye.

Agar pengawasan optimal, Adinda juga mengajak para generasi muda khususnya mahasiswa untuk bergerak bersama kelompok masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lainnya, dalam meningkatkan literasi digital dan kepemiluan di masyarakat.

“Meningkatkan literasi digital dan kepemiluan di masyarakat sangat penting agar kita dapat mengawasi jalannya tahapan kampanye Pemilu 2024 dan melaporkan jika terjadi pelanggaran kampanye,” ujarnya.

Sementara itu, Managing Director Paramadina Public Policy Institute Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam mengatakan bahwa ancaman beredarnya politik identitas berbau agama masih mungkin terjadi pada kampanye Pemilu 2024.

Hal itu karena meningkatnya proyeksi jumlah masyarakat kelas menengah Muslim, yaitu sebesar 62,8 persen dan generasi milenial Muslim sebesar 34 persen yang memiliki kapasitas ekonomi lebih baik dan tingkat pendidikan memadai, tetapi masih mencari identitas diri, jenuh pada modernisme, serta “haus” nilai-nilai agama.

Dia meminta pemerintah menjaga ruang siber dan arus sosial media dari pengembangbiakan narasi kanan-konservatif, kiri ultra-nasionalis, intoleransi, hoaks, fake news dan ujaran kebencian. “Dalam ruang komunikasi digital yang terbuka, mereka adalah sasaran empuk propaganda ideologi, pemikiran, dan sentimen SARA,” katanya.

Back to top button