Market

Dugaan Pelanggaran Hukum di Balik Bansos Dadakan, DPR Perlu Panggil Sri Mulyani


Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan membeberkan dugaan pelanggaran hukum terkait pola anggaran program bantuan sosial (bansos) di era Presiden Jokowi ini.

Kepada Inilah.com, Rabu (13/3/2024), Anthony mengatakan, APBN 2024 disahkan DPR pada 21 September 2023, dan diundangkan pada 16 Oktober 2023 lewat UU No 19 Tahun 2023 tentang APBN 2024.

Pada hari yang sama (16/10/2023), kata dia, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi batas usia minimum capres dan cawapres, menjadi paling rendah 40 tahun. Atau pernah atau sedang menjabat kepala daerah. Putusan MK ini, tujuannya apalagi selain  meloloskan Gibran menjadi calon wakil presiden, mendampingi Prabowo Subianto.

“Pasangan calon Prabowo-Gibran kemudian mendaftar ke KPU pada hari terakhir pendaftaran, yakni 25 Oktober 2023 dan lulus tes kesehatan pada 26 Oktober 2023,” paparnya.

Dalam rapat kabinet yang digelar pada 6 November 2023, Presiden Jokowi ujug-ujug memutuskan untuk memperpanjang pemberian bansos sampai Juni 2024. Padahal, seharusnya berakhir pada November 2023.

“Keputusan perpanjangan bansos secara dadakan ini, terindikasi kuat melanggar UU Keuangan Negara dan UU APBN 2024. Karena, anggaran bansos dadakan ini tidak ada di dalam APBN 2024, yang diundangkan pada 16 Oktober 2023. Memberikan bansos tanpa ada mata anggaran, jelas melanggar UU APBN,” kata Anthony.

Dia pun menyoroti Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mencoba mengutak-atik anggaran, dengan mengambil anggaran kementerian dan lembaga (K/L) untuk perpanjangan bansos dadakan itu. Caranya, dengan memblokir anggaran K/L, istilahnya automatic adjustment. Didapatkanlah dana sebesar Rp50,2 triliun. “Sri Mulyani mengakui, cara ini sesuai arahan atau instruksi Presiden Jokowi,” kata Anthony.

Langkah Sri Mulyani merealokasi anggaran K/L untuk kepentingan bansos, terindikasi melanggar pasal 15 ayat (5) UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang berbunyi: “APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja”.

“UU APBN yang sudah disetujui DPR, tidak boleh diubah pihak manapun, termasuk Presiden Joko Widodo, melalui pemblokiran automatic adjustment. APBN hanya dapat diubah melalui mekanisme Perubahan APBN yang disetujui DPR,” kata Anthony.

Sulit dibantah, lanjut Anthony, keputusan Jokowi memperpanjang bansos secara mendadak ini, bermotif politik, dan nepotism. Yakni, mendongkrak elektabilitas dan memenangkan Gibran. Bansos dadakan tersebut sama sekali bukan untuk kepentingan masyarakat.

Karena itu, menurut Anthony, Jokowi terindikasi kuat melanggar Pasal 5 ayat (4) UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN: “Setiap penyelenggara negara wajib untuk tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme”.

Menurut definisi Pasal 1 angka 5 UU 28/1999, nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya, dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Pemberian bansos dadakan ini, termasuk perbuatan melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya, anaknya, dan kroninya.Diduga keras ada penyalahgunaan wewenang dengan memaksakan bansos sampai Juni 2024, tanpa ada mata anggaran di dalam APBN 2024.

“Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi berbunyi: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau paling singkat setahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 miliar,” kata Anthony.

Anthony pun mempertanyakan program bansos tanpa melibatkan kementerian sosial (Kemensos), diduga melanggar tugas pokok kementerian, dan termasuk penyalahgunaan kekuasaan. Karena, pemberian bansos dadakan dipastikan tidak tepat sasaran, karena dibagikan di tengah kerumunan massa, tanpa ada data penerima bantuan. Karena data tersebut berada di Kemensos.

“Kini, bolanya di DPR. Seharusnya, DPR panggil Sri Mulyani untuk menyelidiki dari mana anggaran bansos dadakan ini. Berapa besar, siapa penyelenggara negara yang menyalurkan, dan siapa penerimanya. Serta mendalami potensi pelanggaran undang-undang dalam program bansos dadakan ini,” kata Anthony. 

Back to top button