Market

DPD Sebut Keputusan Bapanas Kerek HPP Gabah dan Beras Untungkan Penggilingan Besar


Terkait keluh kesah Serikat Petani Indonesia terhadap kebijakan HPP gabah dan beras, membuktikan bahwa Bapanas tidak melibatkan petani dalam menelorkan sebuah keputusan penting. Kalaupun diajak rapat, suara petani tidak pernah digubris.

Menurut Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, jangan heran jika petani seringkali kecewa bahkan marah dengan kebijakan Bapanas yang lebih berpihak kepada pemilik modal besar. Namun demikian, petani tetap saja kalah dan menjadi obyek penderita.

“Jangan sampai penetapan HPP ini justru lebih menguntungkan pengusaha penggilingan beras yang selama ini mendominasi penentuan harga di tingkat konsumen,” tegas LaNyalla, Jakarta, dikutip Jumat (14/6/2024).

Senator asal Jawa Timur ini, menekankan pentingnya pengawasan ketat terhadap penetapan HPP (harga Pembelian Pemerintah) yang diputuskan Bapanas beberapa waktu lalu.

Ia melihat kenyataan pahit di lapangan, di mana banyak petani terpaksa menjual gabahnya di bawah HPP yang telah ditetapkan. Hal ini dikhawatirkan akan mengganggu produksi beras nasional, terutama di tengah upaya pemerintah mencapai swasembada pangan.

“Serikat tani meminta agar harga gabah tidak ditekan terlalu rendah,” tegas LaNyalla.

Sebagai informasi, Bapanas dalam Perbedaan Nomor 4/2024 menetapkan HPP gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp6.000 per kilogram. Harga ini berlaku untuk gabah dengan kualitas kadar air maksimal 25 persen dan kadar hampa maksimal 10 persen.

Sementara itu, di tingkat penggilingan, HPP GKP ditetapkan sebesar Rp6.100 per kilogram (kadar air maksimal 25 persen dan kadar hampa maksimal 10 persen). Sedangkan HPP gabah kering giling (GKG) di penggilingan ditetapkan sebesar Rp7.300 per kilogram (kadar air maksimal 14 persen dan kadar hampa maksimal 3 persen).

Ketua SPI, Henry Saragih, menilai HPP yang ditetapkan Bapanas masih jauh dari memadai untuk menyejahterakan petani. Kenaikan modal produksi, terutama untuk sarana produksi dan tenaga kerja, menjadi faktor utama yang membuat HPP saat ini, dinilai tidak menguntungkan petani.

“Berdasarkan hitungan kami, harga gabah di tingkat petani minimal harus Rp7.000 per kilogram,” jelas Henry.

Kritik SPI dan LaNyalla ini menguatkan dugaan bahwa Bapanas tidak pro petani, namun cenderung bisa dikontrol pemilik modal. Padahal, keputusan HPP bukan hanya menyangkut besarannya saja, namun harus ditetapkan di saat yang tepat. 

Back to top button