News

Deforestasi Sawit dan Kemenangan Oligarki

Mengatasi persoalan deforestasi sawit pemerintah seperti kehabisan akal selain mengambil langkah pemutihan

Pemerintahan Presiden Joko Widodo dinilai tak becus dalam tata kelola perkebunan sawit, khususnya dalam menyelesaikan persoalan deforestasi. Alih-alih memberikan tindakan hukum atas pencurian 3,3 juta hektare (ha) area hutan menjadi kebun sawit, Pemerintah justru menggelar karpet merah dengan cara memberi ampunan.

Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, menilai upaya pemutihan yang dilakukan Pemerintah  akan menjadi preseden buruk dalam tata kelola sawit di Indonesia. Sebab kebijakan itu, mengabaikan proses hukum yang selama ini berlangsung dengan hanya memberikan sanksi administratif.

“Upaya (Pemutihan) tersebut justru mengabaikan proses pidana dengan hanya memberikan sanksi berupa denda administratif atas tindakan perambahan kebun sawit yang dilakukan di area hutan,” ujar Achmad Surambo, saat dihubungi Inilah.com di Jakarta, Selasa (27/6/2023).

Surambo mengatakan, persoalan sawit dalam kawasan hutan merupakan persoalan yang sudah sejak lama dan mengakar. Penyelesaiannya pun sudah dimulai sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga Presiden Joko Widodo, dengan menghasilkan sejumlah kebijakan seperti misalnya, PP 60/2012, PP 104 Tahun 2015, Inpres No. 8 Tahun 2018 hingga terakhir melalui UU Cipta Kerja.

7bc9eaae Sawit Di Kawasan Hutan 21 Okt (2) 5 - inilah.com
Sisa-sisa hutan gambut yang terbakar, baru ditanami bibit kelapa sawit, di dekat Suaka Orangutan
Nyaru Menteng, sebelah barat Palangkaraya, Kalimantan Tengah. (Foto:Greenpeace/ArdilesRante)

“Menggunakan UU Cipta Kerja menjadi landasan hukum proses ini berpotensi membawa masalah. Karena UU ini masih berproses judicial review di Mahkamah Konstitusi, sehingga akan menyebabkan permasalahan baru,“ kata Surambo.

Oleh karenanya, menurut Surambo, pantas jika dikatakan kebijakan yang dilakukan saat ini, tak lebih dari jalan pintas di tengah kesemrawutan yang tidak bisa diselesaikan pemerintah.

“Kami melihat pemerintah seperti tidak memiliki langkah dan upaya lain yang dapat ditempuh selain pengampunan atau pemutihan ini,” kata Surambo.

Padahal menurut Surambo, pemerintah harusnya patuh dalam koridor hukum yang berlaku.

Surambo memberi contoh penyelesaian sawit dalam kawasan hutan yang pernah diselesaikan melalui jalur hukum, salah satunya, kasus di Register 40, dimana Mahkamah Agung (MA) sudah memberikan putusan.

“Misalnya kasus Register 40 dimana Mahkamah Agung (MA) memutuskan kebun sawit seluas 47.000 hektar hutan di Register 40, Padang Lawas, Sumatera Utara dan disita oleh negara,” kata Surambo

Hutan Sawit Greenpeace - inilah.com
Kerusakan hutan akibat ekspansi perkebunan sawit. Krisis asap juga banyak disebabkan oleh perusahaan sawit (dok. greenpeace)

Contoh lain, dijelaskan Surambo, dalam kasus minyak goreng. Pada kasus ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan tiga grup besar sawit diantaranya Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group sebagai tersangka korporasi.

“Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan hukum masih sangat relevan untuk dilakukan dalam menangani kasus serupa di Indonesia,” kata Surambo.

Di sisi lain dalam tata kelola sawit, dikatakan Surambo, sejatinya pemerintah telah mewajibkan bagi seluruh para pelaku industri sawit baik itu perusahaan, koperasi maupun petani rakyat untuk dapat membuat laporan (self reporting) atas data perizinan yang dimiliki, mulai dari luas perkebunan  hingga daftar perizinannya untuk masuk dalam Sistem Informasi Perizinan Perkebunan (SIPERBUN), yang dimulai sejak 3 Juli hingga 3 Agustus 2023 mendatang.

Namun demikian, lagi-lagi Pemerintah seperti tidak memiliki daya untuk menekan supaya pelaku industri, khususnya perusahaan sawit skala besar memasukkan data kedalam SIPERIBUN.

“Menurut pemantauan kami, kanal SIPERIBUN juga sudah sejak lama hadir namun masih belum optimal. Tidak banyak perusahaan yang menggunakan kanal ini,” kata Surambo.

Kemenangan oligarki

Berdasarkan data yang di kantongi Greenpeace Indonesia dari hasil analis bersama dengan TheTreeMap pada tahun 2019, ditemukan total 3.118.804 hektare perkebunan kelapa sawit ditanam di dalam kawasan hutan dengan melanggar hukum kehutanan nasional.

Dari angka itu, seluas 1.552.617 ha merupakan milik perusahaan perkebunan kelapa sawit, dimana terdapat lebih dari 600 perusahaan yang masing-masing menanam di lahan seluas 10 hektar. Sementara sisanya seluas 1.566.187 hektare, merupakan perkebunan swadaya masyarakat.

7bc9eaae Sawit Di Kawasan Hutan 21 Okt (2) 16 - inilah.com
Perkebunan Sawit dalam kawasan hutan Indonesia. (Tangkapan layar artikel Greenpeace Indonesia)

Secara tipe kawasan hutan, adalah sebagai berikut;

  • Hutan konservasi 90.200 hektare,
  • Hutan lindung 146.871 hektare,
  • Hutan produksi terbatas 473.906 hektare,
  • Hutan produksi yang dapat dikonversi 1.008.849 hektare,
  • Hutan produksi tetap 1.398.978 hektare,

Area kerusakan hutan itu tercatat sebagian besar terjadi di Pulau Sumatera dengan Provinsi Riau, menjadi yang terluas terjadinya deforestasi sebesar 1.231.614 hektare. Tempat kedua di tempati Pulau Kalimantan dengan Kalimantan Tengah menjadi provinsi terbesar yang hutannya ikut dirambah seluas 817.693 hektare.

Dari perkebunan kelapa sawit yang berada di dalam kawasan konservasi, perusahaan mendominasi di Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan.

Sementara di wilayah lain, terutama sepanjang Sumatera, terdapat proporsi perkebunan swadaya masyarakat yang lebih besar di dalam kawasan konservasi.

Untitled 1 - inilah.com
Perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan di pulau Sumatera dan Provinsi Riau. (Tangkapan layar artikel Greenpeace Indonesia).

Menilik dari data tersebut, Ketua Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, menilai kebijakan yang datang dari mulut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, merupakan kemenangan bagi oligarki.

“Kebijakan pemutihan menunjukkan tunduknya Pemerintah untuk kepentingan oligarki sawit,” ujar Ketua Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, ketika berbincang dengan Inilah.com, Rabu (28/6/2023).

Kepentingan oligarki itu, dikatakan Arie, tergambar jelas dengan disisipkannya Pasal 110a dan 110b.

“Undangan -undang cipta kerja ini kan kelihatan betul semua pasal-pasalnya itu untuk kepentingan korporasi,” kata Arie.

Dari penelusuran Inilah.com, pasal 110a dan 110b terdapat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Pasal itu disisipkan di antara Pasal 110 dan Pasal 111.

Perppu itu, diberlakukan sebagai pengganti UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan “Inkonstitusional Bersyarat”. Dalam beleid ini, perusahaan yang kegiatan usahanya sudah terbangun di wilayah hutan produksi, bisa mengajukan pelepasan atau pemutihan.

“Jadi tidak ada sanksi pidana dalam pasal 110a dan 110b, tapi diganti sanksi perdata,  disuruh bayar pajak terus kemudian diputihkan. Itu menunjukkan bahwa kepentingan oligarki mengunakan Undangan-undang untuk mendapatkan keuntungan,” kata Arie.

7bc9eaae Sawit Di Kawasan Hutan 21 Okt (2) 46 - inilah.com
Deforestasi menjadi ancaman bagi satwa endemik Indonesia.(Foto:Greenpeace/Jurnasyanto)

Senada, Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace, Syahrul Fitra, menilai kebijakan ini sejatinya membuat pelaku usaha ilegal kegirangan, karena tidak ada tindak pidana bagi mereka yang telah melanggar hukum dan melakukan kejahatan perambatan jauh sebelum kedua pasal itu diterapkan.

“Perusahaan-perusahaan yang beroperasi ilegal itu mereka sudah beroperasi lama,” kata Syahrul, kepada Inilah.com,  Rabu (28/6/2023).

Syahrul menyebut, banyak pelaku usaha nakal yang membuka lahan hutan tanpa mengantongi izin dari Kementerian Kehutanan. Kejahatan itu, dikatakan Syahrul, telah berlangsung sejak tahun 2012.

“Yang ada justru mereka menambah luas deforestasinya dari tahun ke tahun. Dari tahun 2012 itu sampai tahun 2019 mereka terus membuka kawasan hutan dan pemerintah tidak melakukan penindakan hukum,” kata Syahrul.

Semestinya menurut Syahrul, Pemerintah terlebih dahulu memberikan sanksi pidana kepada para perambah hutan itu, sebelum pada akhirnya memutihkan kawasan yang kadung sudah terjadi deforestasi tersebut.

“Sebelum UU Ciptaker, itu sudah masuk kategori tindak pidana, setiap orang yang dengan sengaja mengalihfungsikan hutan untuk kepentingan perkebunan itu maka harus dipidana menurut UU Nomor 18 Tahun 2013,” kata Syahrul.

Menko Manves Luhut Binsar Panjaitan membenarkan tentang tak adanya sanksi pidana bagi para ‘pencuri’ lahan tersebut.

“Ndak! Ngapain pidana-pidana? Nanti ada kasusnya, nanti pengadilan (di)sogok-sogok lagi,” ujar Luhut ketika ditodong pertanyaan oleh wartawan Inilah.com usai acara LPS Monas Half marathon, Minggu (2/7/2023).

0c2ee34f 70b2 44ae A82c C937ade68852 - inilah.com
Menko Manves Luhut Binsar Panjaitan usai membuka ajang lari LPS Monas Half Marathon, di Monas, Jakarta, Minggu (2/7/2023). (Foto:Inilah.com/RizkyAslendra)

Digantinya sanksi pidana menjadi administratif, menurut Luhut, justru akan membuat Pemerintah lebih mudah memberi sanksi tegas kepada para pelaku industri perkebunan sawit.

“Kalau kau tidak bayar pun sekarang diatur oleh pemerintah. Berapa per hektare, diambil pemerintah jadi PTP,” kata Luhut.

Selain itu menurut Luhut, pengumuman dan pendaftaran perusahaan itu pun sekaligus sebuah self reporting. “Kalau Kau nggak report dalam waktu sebulan, (perusahaan sawit) Kau itu (akan) kita ambil! Itu saja,” kata Luhut. (Nebby/Vonita/Rizky).

Back to top button