News

Banyak Anak Indonesia Tak Lulus SMP, Ganjar Jangan Bicara Satu Keluarga Satu Sarjana

Anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah buka suara soal program bacapres PDIP Ganjar Pranowo yang ingin melahirkan satu sarjana di setiap keluarga miskin. Ia bukannya tidak mendukung, tapi ada hal lain di bidang pendidikan yang perlu dibenahi terlebih dulu jika ingin menyukseskan program ini.

Persoalan mendasarnya, tutur dia, rata-rata anak Indonesia yang bersekolah hanya sampai kelas 2 SMP dan tidak selesai. “Naik dari kelas 2 ke 3 SMP, tapi tidak selesai kelas 3 SMP-nya. Sementara satu sisi lain, kita harus bersaing dengan tenaga kerja dari berbagai negara dengan tingkat pendidikan yang lebih baik,” ujar dia kepada Inilah.com, di Jakarta, Rabu (18/10/2023).

Kemudian, sistem pendidikan juga mesti dibenahi karena selama ini Indonesia menganut metode pembelajaran yang bersifat low order taking skill. “Jadi kalau kita mau bicara soal yang katanya di pelajaran Pancasila bernalar kritis dan segala macamnya, itu memang masih butuh proses yang sangat panjang,” ujarnya.

“Kalau kita bicara persoalan mendasar kita sih sebenarnya ada di pendidikan, cuma pendidikan yang dimaksud itu perlu kita garis bawahi. Pertama, rata-rata anak Indonesia yang bersekolah itu baru sampai kelas 2 SMP tidak selesai,” jelasnya.

“Cuma naik dari kelas 2 ke 3 SMP, tapi tidak selesai kelas 3 SMP-nya. Sementara satu sisi lain, kita harus bersaing dengan tenaga kerja dari berbagai negara dengan tingkat pendidikan yang lebih baik,” sambungnya.

Kedua, dirinya menyatakan bahwa sistem pendidikan Indonesia menganut metode pembelajaran yang low order taking skill. “Kita tidak membiasakan high order taking skill, jadi kalau kita mau bicara soal yang katanya di pelajaran Pancasila bernalar kritis dan segala macamnya, itu memang masih butuh proses yang sangat panjang,” ujarnya.

Tak hanya itu, kemampuan untuk mau berjuang keras juga mesti menjadi bagian yang diperhatikan. Lalu pendampingan dari pemerintah berkaitan dengan bantuan untuk meminimalisir mahalnya biaya pendidikan, harus terpilah dengan baik soal pendataan siapa yang berhak menerima bantuan biaya pendidikan.

“Nah di kita itu karena data DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) kita berantakan, jadi juga tidak bisa memberikan bantuan yang lebih dalam. Nah itu sebenarnya PR kita masih sangat banyak disitu,” tuturnya.

Meski begitu, ia tidak menyanggah soal program satu keluarga satu sarjana yang diwacanakan Ganjar. Apa yang disampaikan oleh politikus berambut putih itu adalah kondisi ideal yang semestinya bisa dicapai, hanya saja butuh proses dan tahapan yang panjang untuk mencapai itu.

Di sisi lain, untuk mengentaskan kemiskinan juga jangan berpatok pada gelar sarjana saja, karena fakta di lapangan banyak sarjana yang tidak mumpuni skill-nya hanya memahami teori tapi tidak bisa mengaplikasikannya di dunia kerja.

“Ideal sih kalau bisa begitu, tapi kan tidak selalu harus jadi sarjana. Bisa jadi kalau mereka ngambil jalurnya vokasi, bisa D4 atau D3, dengan vokasi ternyata mereka kemudian bisa membantu perekonomian keluarga jadi lebih mandiri keluarganya, karena kan kita ingin meminimalisir kemiskinan,” ujar Ledia.

Sebelumnya, Ganjar  berdiskusi dengan puluhan rektor dan guru besar perguruan tinggi se-Malang Raya di Universitas Negeri Malang (UM), Senin (16/10/2023). Diskusi itu melahirkan satu kesepahaman, yakni pemerintahlah yang harus menanggung semua biaya pendidikan warga miskin.

Menurut Ganjar, kesadaran pendidikan masyarakat harus didorong sampai ke tingkat perguruan tinggi. Ganjar memprogramkan satu keluarga miskin satu sarjana. “Sepuluh tahun ke depan harus melakukan satu akselerasi, misalnya di dunia pendidikan. Bagi warga miskin sekolahnya ditanggung negara, maka saya sampaikan satu keluarga miskin satu sarjana,” katanya.

Back to top button