Kanal

Tata Kelola Pangan Ladang Subur Korupsi, dari Impor hingga HET


Sektor pangan merupakan ladang subur bagi aksi main mata dan tipu-tipu yang berujung keuntungan pihak tertentu melalui pengadaan komoditas pangan. Sektor pangan memang kerap diciderai oleh kartel atau mafia.

Mungkin anda suka

Mungkin publik masih ingat ketika Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Irman Gusman terkena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2016 silam dalam kasus suap impor gula. Beberapa kasus serupa muncul semakin menguatkan anggapan bahwa tata kelola bahan pokok rawan suap, kolusi dan korupsi.

Publik juga mungkin masih ingat kasus yang menimpa Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq, yang divonis 16 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider kurungan 1 tahun penjara karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Luthfi bersama rekannya, Ahmad Fathanah, terbukti menerima suap Rp1,3 miliar dari Direktur Utama PT Indoguna Utama, Maria Elizabeth Liman, terkait kepengurusan penambahan kuota impor daging sapi pada 2013 lalu.

Jauh sebelumnya, tahun 2005-2007 kasus heboh soal impor bahan pokok ini juga menimpa Nurdin Halid terkait impor beras. Nurdin Halid yang saat itu menjabat Ketua umum Induk Koperasi Unit Desa (Inkud) juga diadili dalam kasus korupsi gula ilegal dan minyak goreng.

Masih banyak kasus-kasus penyalahgunaan dan korupsi terkait impor bahan pangan ini. Sektor pangan merupakan ladang subur bagi aksi main mata dan tipu-tipu yang berujung keuntungan pihak tertentu melalui pengadaan komoditas pangan. Sektor pangan memang kerap diciderai oleh kartel atau mafia.

KPK sudah sejak lama mengingatkan potensi kasus korupsi di sektor pangan. Tata niaga yang masih belum tertata rawan korupsi. Bahkan, dari beberapa kasus impor pangan yang ditangani KPK, modusnya mirip-mirip.

Kini Menjadi Tugas Bapanas 

Persoalan tata kelola pangan kini berada di tangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) atau National Food Agency/NFA yang dibentuk 2021 lalu. Kehadirannya menjadi angin segar bagi pembaruan tata kelola pangan yang lebih baik dan mengambil peran sangat krusial dalam persoalan ketersediaan serta kewenangan urusan ekspor-impor pangan.

Beras Impor
Beras impor (Foto: Antara).

Urusan yang semula sepenuhnya di bawah wewenang Kementerian Perdagangan perlahan mulai didelegasikan ke Bapanas. Utamanya pada sembilan jenis pangan yakni beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, daging ruminansia, daging unggas, telur unggas, dan cabai. 

Namun bayangan penyalahgunaan yang terjadi di masa lalu masih sulit hilang. Tak hanya kerawanan di sektor impor, juga peran menjaga kestabilan harga bahan pokok dan pengendalian pasar juga kebijakan penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang akhir-akhir ini ramai. Hal ini mengingat di lapangan kartel dan mafia pangan lebih menguasai stok dan harga serta rawan penyalahgunaan.

Pemerintah memang menetapkan harga acuan sejumlah komoditas pangan utama agar harga terkendali seperti beras, jagung, kedelai, gula, bawang merah, cabai, dan daging sapi. Namun, harga pangan masih belum merata karena terganjal beberapa persoalan seperti biaya distribusi yang tinggi dan ketersediaan pasokan yang berbeda-beda di setiap daerah. Belum lagi ada tangan-tangan nakal untuk memainkan harga demi mengeruk keuntungan.

HET Masih Perlukah?

Bapanas baru-baru ini memperpanjang ketentuan kenaikan HET beras. Seharusnya, ketentuan HET beras premium ini berlaku sampai 24 April 2024 namun diperpanjang hingga 31 Mei 2024. Angkanya yaitu dari Rp13.900 per kg menjadi Rp14.900 per kg. Sedangkan untuk HET beras medium juga direlaksasi dari Rp10.900 per kg menjadi Rp12.500 per kg.

Penetapan kebijakan HET masih menjadi andalan pemerintah untuk mengendalikan lonjakan harga bahan pangan meskipun tidak sepenuhnya dapat menurunkan harga di pasar. HET termasuk jenis intervensi pengendalian harga. Konsekuensinya, mewajibkan pemerintah untuk mengisi suplai di pasar dengan stok cadangan nasional untuk menghindari kelangkaan sehingga kebijakan harga atap dapat berjalan efektif.

Oleh karena itu, sebelum kebijakan HET digulirkan ke pasar, pemerintah perlu memastikan ketersediaan stok bahan pangan dapat mencukupi proyeksi lonjakan permintaan. Sekaligus menjamin proses distribusi yang tepat sehingga implementasinya di pasar dapat berjalan efektif agar tujuan stabilisasi harga pangan nasional tercapai.

Masalahnya yang sering timbul adalah proses produksi yang belum efisien dan rantai distribusi yang panjang turut berkontribusi terhadap harga beras yang lebih tinggi dari HET. Kalau pelaku usaha dipaksa mengikuti harga HET dengan menekan margin, yang akan terjadi adalah tidak ada pelaku pasar yang akan menjual beras domestik. Penetapan HET juga tidak efektif karena harga jual sudah lebih tinggi. 

beras premium
Ilustrasi: Pedagang menata berasmedium di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta. (Foto: Inilah.com/Didik Setiawan).

Sampai saat ini pun penetapan HET ini tak manjur di pasar. Sekretaris Jenderal DPP Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi), Reynaldi Sarijowan mengatakan, pedagang pasar tradisional kesulitan menjual beras di pasar, menyusul kenaikan HET untuk beras premium ini.

Berdasarkan data panel harga Bapanas, harga beras cenderung masih mahal. Beras premium, misalnya, dibanderol Rp16.430/kg, sedangkan beras medium Rp14.330/kg. “Pedagang mengaku kesulitan menjual beras jika relaksasi HET diberlakukan, karena harga di penggilingan padi sudah tinggi mencapai Rp15.500 per kilogram,” kata Reynaldi, Rabu (13/3/2024).

“Harusnya pemerintah menaikkan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) gabah untuk melindungi petani bukan HET,” tambah Johan Rosihan, anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dengan meningkatnya HPP untuk gabah kering panen, akan lebih efektif untuk membangkitkan gairah petani. “Kita setuju usulan berbagai serikat petani yang meminta pemerintah menaikkan HPP gabah menjadi Rp7.000 per kilogram,” kata dia.

Peluang Penyalahgunaan

Terlalu tingginya selisih antara HPP saat ini Rp6.000 dengan HET memungkinkan korporasi besar untuk membeli gabah, memprosesnya dan mendistribusikannya secara keseluruhan. Dampaknya, petani lebih memilih menjual beras ke pembeli swasta sehingga serapan beras Bulog pun menurun. 

impor beras uga ugalan
Ilustrasi impor beras ugal-ugalan. (Desain: Inilah.com/Febri)

Kebijakan HET ini juga berpeluang memicu adanya pasar gelap dan meningkatkan risiko kelangkaan beras. Peluang terjadinya percampuran beras kualitas medium dengan kualitas lebih rendah pun dapat terjadi. Hal-hal ini tentu akan merugikan konsumen.

“Langkah yang perlu saat ini bukan fokus pada penetapan HET, tetapi bagaimana membantu petani meningkatkan efisiensi di tengah berbagai tantangan, seperti perubahan iklim dan stagnannya produktivitas beras,” tutur Mukhammad Faisol Amir, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), dalam sebuah kesempatan.

Mengingat harga beras di pasar ritel Indonesia secara konsisten selalu di atas HET, kebijakan Bapanas ini menciptakan peluang penyalahgunaan. Para pemburu keuntungan pun pemilik modal besar, termasuk mafia seperti mendapat angin segar mengambil peluang ini.

Belajar dari pengalaman dari masa lalu, tata kelola bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan 278 juta warga memang rawan penyelewengan. Kalau saja tak ada komitmen serius, transparansi data pangan hingga perbaikan tata niaga dari hulu ke hilir, dari tingkat petani hingga konsumen, percuma saja kehadiran lembaga apapun namanya termasuk Bapanas.

 

Back to top button