Kanal

Usai Bansos Pemilu Terbit, Giliran Warga dan Petani Menjerit

Banyak kalangan masyarakat meyakini bahwa melayang tingginya harga beras hingga saat ini, tak lepas dari kebijakan “gerojogan” Bansos menjelang Pemilu 2024 tempo hari. Sementara, bahkan nalar warga Indonesia yang konon ber-IQ rata-rata 70 pun mengerti, gerojogan Bansos itu tak bisa dilepaskan dari rasa kasih Presiden kepada putra tersayang Gibran Rakabuming, yang saat itu tengah berkontestasi dalam ajang Pilpres.    

 

Ada tebak-tebakan baru yang beredar di kalangan wartawan ekonomi, terutama wartawan golongan—meminjam karakter Ciu Pek Tong, yang terkenal dari legenda Cina, “The Condor Heroes”– ‘Bocah Tua Nakal’. “Apa yang menghubungkan rasa sayang Presiden Jokowi sebagai bapak, dengan nasib nelangsa para petani padi saat ini?” Jawaban ala pembuat tebakan: Bantuan Sosial alias Bansos!

Jelasnya, banyak kalangan masyarakat meyakini bahwa melayang tingginya harga beras hingga saat ini, tak lepas dari kebijakan “gerojogan” Bansos menjelang Pemilu 2024 tempo hari. Sementara, bahkan nalar warga Indonesia yang konon ber-IQ rata-rata 70 pun mengerti, gerojogan Bansos itu tak bisa dilepaskan dari rasa kasih Presiden kepada putra tersayang Gibran Rakabuming, yang saat itu tengah berkontestasi dalam ajang Pilpres.    

Akademisi yang menjadi Koordinator Pusat Kajian Pengentasan Kemiskinan dan Ketimpangan (EQUITAS) Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada, Wisnu Setiadi Nugroho, tergolong yang percaya hal itu. Memang, menurut Wisnu, selain dampak proses Pemilu 2024 akibat Bansos dan aktifnya para calon anggota legislatif (Caleg) membagikan beras untuk menarik suara masyarakat dan memicu gangguan pasokan beras, ada beragam faktor lain. Namun tetap saja,”Pembelian beras dalam jumlah besar untuk kepentingan Pileg (itu) memberatkan tingkat permintaan,” kata Wisnu. Bagaimana pun, Wisnu mengungkapkan, perubahan besar atas pemintaan beras memiliki pengaruh besar pada kenaikan harga beras, yang tak jarang mengakibatkan kelangkaan pasokan.

Wisnu tidaklah sendirian. Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, mengamini pernyataannya. Menurut Henry, sudah lama Indonesia seolah membiarkan lemahnya cadangan pangan nasional yang sebenarnya telah menjadi fakta dari tahun ke tahun. Meski punya, Henry menyatakan stok cadangan pangan Indonesia, khususnya beras, seringkali kurang mencukupi kebutuhan nasional yang real di masyarakat.

Pedagang beras tengah menjajakkan dagangannya di pasar.
Pedagang beras tengah menjajakkan dagangannya di pasar. (Foto: Inilah.com/Didik Setiawan)

Nah, stok beras yang tipis itu dalam bulan-bulan terakhir diperparah dengan adanya program bantuan pangan dalam bentuk beras (Bansos), yang masif digulirkan pemerintah menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum 2024. Hal itu baginya merupakan salah satu faktor pembeda atas situasi kelangkaan dan kenaikan harga beras yang terjadi saat ini, dibanding tahun-tahun sebelumnya. “Adanya perubahan bantuan dalam bentuk pangan, yang dulu hanya bantuan tunai, tapi tahun ini pemerintah membuat program bantuan pangan beras. Itu kan otomatis pakai beras cadangan punya Bulog,” kata Henry.

Pemerintah sendiri memang tergolong berani, kalau tak boleh disebut nekat mempertaruhkan nasib perut ratusan juta warganya. Pada Januari 2024, Badan Pangan Nasional (Bapanas) mendaku alias mengeklaim memiliki stok beras nasional sebesar empat juta ton pada awal tahun. Stok tersebut, menurut Bapanas, berada di Bulog, penggilingan padi, para distributor, pedagang hingga padaringan atau tempat penyimpanan beras masyarakat.

Saat itu, berdasarkan pemberitaan Kantor Berita Nasional Antara, Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Bapanas, I Gusti Ketut Astawa, menyatakan, dari empat juta ton total stok beras tersebut, Bapanas–melalui Bulog–menguasai stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebanyak 1,3 juta ton. Angka Kementerian Perdagangan RI pada bulan Januari itu pun menyebut CBP berada dalam kondisi aman, dengan CBP yang dimiliki Bulog sebesar 1,4 juta ton.

Masalahnya, para penggede Bapanas tampaknya bukan tergolong kaum yang berhati-hati. Pada Januari itu, Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi, menyebut-nyebut bahwa kebutuhan konsumsi beras nasional itu sekitar 2,5 juta ton per bulan. Artinya, jika merujuk stok ketersediaan beras nasional Bapanas, yang diklaim ada empat juta ton, angka itu hanya mencukupi kebutuhan nasional hingga satu setengah bulan ke depan.

“Cadangan beras Bapanas (yang) hanya cukup untuk 1,5 bulan itu menurut saya riskan,” kata Henry. “Idealnya, minimum kita punya cadangan tiga kali lipat dari rata-rata konsumsi beras nasional.” Angka ideal untuk Indonesia yang memiliki penduduk kurang lebih 270 juta jiwa itu adalah 10 juta ton, atau cukup untuk sekitar 3-4 bulan.

Alhasil, memaksakan politik Bansos pada menjelang 14 Februari, di saat cadangan beras berada di tubir subsistensinya, bagi common sense kaum yang menghormati nalar jelas sebuah kenekatan.

Dampak Naiknya HET

Hukum besi di dunia adalah hukum sebab-akibat. Bagi Henry, para penjual (trader) dan perusahaan beras besar tentu bukan tidak mengintip hal tersebut. Menipisnya stok beras Bulog-Bapanas akibat “antusiasme kedermawanan” menjelang Pemilu itu dianggap mereka sebagai celah dan kesempatan meraup untung. “Cuan” kata anak zaman now. “Celah ini dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan, dengan cara menahan stok dan menaikkan harga,” kata Henry. “Karena impor berasnya juga belum datang, kan?”

Seberapa parah kenaikan harga jual beras itu terhadap kehidupan warga? Lihat saja aneka keluh-kesah para emak-emak ratu dapur di beragam media sosial, hanya satu-dua pekan setelah Pemilu berlangsung. Mereka rata-rata mengeluhkan mahalnya harga beras di pasaran.

Kalau yakin bahwa memirsa medsos penuh keluh kesah hanya mendatangkan anergi dan aura negatif, kejadian nyata yang gampang ditemukan saat ini mungkin bisa jadi pengganti. Saat di lokasi mereka berdagang kecil-kecilan, Pasar Tanggul, Solo, Jawa Tengah, berlangsung operasi pasar Perum Bulog sebesar 1 ton beras beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), Sukijo (72) pedagang ikan asin berpenghasilan sekitar Rp1 juta sebulan, dan Pamelga Awanti, seorang pedagang kue, rela meninggalkan dagangan mereka dijagai anak-anaknya, dan  bergabung ke dalam barisan panjeng antrean.

Untung bagi Sukijo, setelah satu jam berdiri di atrean, ia kebagian lima kilo beras yang dibelinya Rp 50 ribu. Tidak demikian dengan Pamelga yang kurang tangkas bergabung dalam antrean. Satu ton beras SPHP telah ludes tandas sebelum Pamelga sampai ke hadapan petugas Bulog.

Pembeli memilih beras subsidi dari Bulog yakni beras program Stabilisasi Pasokan Dan Harga Pangan (SPHP) di Pasar Ritel Modern Kawasan Ciputat, Tangerang Selatan
Pembeli memilih beras subsidi dari Bulog yakni beras program Stabilisasi Pasokan Dan Harga Pangan (SPHP) di Pasar Ritel Modern Kawasan Ciputat, Tangerang Selatan (Foto: Inilah.com/Didik Setiawan).

“Harga beras saat ini menyulitkan orang kecil,” ujar Sukijo, dengan karng kecil beras di pundaknya. “Semua usaha jadi sepi kalau harga bahan pokok mahal. Ini memberatkan.”  “Kalau bisa, pemerintah turunkan harga beras. Kasihan rakyat kecil. Ini berat sekali,” kata Pamelga, akhir Februari lalu itu.

Ironisnya, yang kemudian menjadi beleid pemerintah jelas-jelas berada di seberang harapan Pamelga dan jutaan warga lain sekelas sosial dia. Pada 8 Maret, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi justru mengeluarkan surat Nomor 102/TS.02.02/K/3/2024 tentang kenaikan HET beras premium. 
Awalnya, keputusan itu hanya berlaku 13 hari, terhitung 10 Maret 2024. Sejak HET beras premium naik Rp1.000 per kilogram. Di Aceh, dan sebagian besar Sumatra, HET beras premium mencapai Rp15.400/kg, dari sebelumnya Rp14.400/kg.

Bapanas kemudian tak hanya memperpanjang kenaikan HET beras premium itu selama sebulan, hingga 24 April 2024, tapi juga mengerek HET untuk beras medium sebesar Rp1.600/kg. “Bapanas menyampaikan pada Pak Presiden agar relaksasi harga beras premium sebelumnya Rp 13.900 ke 14.900. Kita minta izin dan disetujui untuk diperpanjang satu bulan supaya stok di market, terutama modern market dan outlet-outlet terjaga,”kata Arief Prasetyo Adi di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (19/3).

Bapanas juga melibatkan atas nama Presiden saat menaikkan HET beras SPHP dari Rp9.450 per kilogram menjadi Rp10.900 per kilogram, September 2023 lalu. Saat itu Arief Prasetyo mengatakan, kebijakan itu dilakukan sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), dengan harapan untuk meningkatkan gairah petani untuk menanam padi. “Pemerintah, atas arahan Bapak Presiden, menaikkan harga beras kurang lebih 20 persen. Dengan menaikkan harga beras 20 persen, Pak Presiden mengharapkan petani dapat merasakan gairah untuk menanam padi,” ujar Arief saat mengunjungi Lotte Mart di Jakarta Timur, Jumat (8/9/2023).

Barangkali Presiden perlu dilibatkannya karena urusan beras dianggap sensitif.  Tentu saja harapan yang mustahil berharap beras paling murah pun tak terimbas kenaikan dua jenis beras lainnya. Harga semua beras pun membubung.  

HET Naik Buat Siapa?

Belakangan, Bapanas kembali memperpanjang HET beras premium Rp14.900/kg hingga 31 Mei 2024. Menariknya, meski HET dikerek bukan berarti pendapatan petani ikut naik. Padahal, alasan itu yang diangkat Bapanas dengan menaikkan HET, yakni lantaran biaya produksi beras perlu penyesuaian. Dengan menaikkan HET diharapkan petani bisa lebih mendapatkan lebih banyak untung.

Benarkah itu yang terjadi? Dalam catatan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, kenaikan HET beras SPHP itu ternyata tidak memberikan kenaikan penghasilan pada petani. Hal itu terbukti dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang pada April 2024 justru anjlok ketimbang bulan sebelumnya.

Sementara di sisi lain, kata Tulus, daya beli konsumen justru semakin terkulai dengan adanya kenaikan HET beras SPHP itu.  Masyarakat semakin sulit mendapatkan beras berkualitas dengan harga terjangkau. “Jadi siapa yang diuntungkan dengan kenaikan HET? Di satu sisi merugikan konsumen, di sisi lain tidak menguntungkan petani,”kata Tulus kepada Inilah.com, Senin (6/5).

Klaim Bapanas pun sebatas di atas kertas. Badan Pusat Statistik (BPS) menunjuk-kan Nilai Tukar Petani (NTP) Maret 2024 sebesar 119,39 sedangkan NTP Februari 2024 sebesar 120,97. Parahnya, NTP April 2024 anjlok lagi ke level 116,79. Artinya, gabah hasil jerih payah petani dihargai murah. Sementara berasnya semakin mahal mahal karena campur tangan Bapanas. Siapa yang mereguk cuan besar akibat kenaikan HET itu, kita sama-sama tahu.

Catatan Tulus setali tiga uang dengan pengamatan anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Johan Rosihan. Johan, sebagaimana Tulus, menilai keputusan Bapanas menaikkan HET beras SPHP itu tidak menguntungkan petani. “Kebijakan Bulog ini tidak akan menguntungkan petani. Harusnya pemerintah segera menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah untuk melindungi petani,”ujar Johan saat dihubungi Inilah.com, pada hari ketika Tulus juga dihubungi.

Bagi Johan, dengan meningkatnya harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen, itu akan lebih efektif untuk membangkitkan gairah petani. “Kami setuju dengan usulan berbagai serikat petani yang meminta pemerintah menaikkan HPP gabah menjadi Rp7.000 per kilogram,”kata dia.

Pekerja mengecek beras premium di Komplek Pasar Induk Beras Cipinang, Kelurahan Pisangan Timur, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur
Pekerja mengecek beras premium di Komplek Pasar Induk Beras Cipinang, Kelurahan Pisangan Timur, Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur (Foto: Inilah.com/Agus Priatna)

Oh ya, bahwa kesulitan rakyat memperoleh beras yang kian mahal itu ada hubungan kausalitas yang erat dengan “genjotisasi” Bansos menjelang Pemilu, itu bukan tanpa sanggahan.

Dalam berbagai kesempatan, Bulog telah membantah tudingan tersebut. Direktur Utama Perum Bulog, Bayu Krisnamurthi, menyatakan pihaknya memiliki alokasi berbeda untuk beras bantuan pangan dan beras SPHP. “Tidak ada alasan bantuan pangan bikin stok atau penyaluran SPHP jadi sulit,” ujar Bayu, mengklaim.

Soal beras ini tampaknya akan tetus menjadi persoalan abadi bagi Indonesia, seiring kian banyaknya perut yang harus dipenuhi, dari tahun ke tahun. Di awal kekuasaannya, yaris satu dekade lalu, Jokowi kerap menyebut-nyebut janji swasembada pangan, salah satunya soal bagaimana mengurangi impor beras secara signifikan. Realitasnya kita tahu, semua itu masih semata omong kosong.  

Profesor Dwi Andreas Santosa, pengajar di Universitas IPB, dan ketua umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), dengan kerugian petani untuk menanam padi selama sekitar 10 tahun ini, sejatinya motivasi mereka untuk menanam padi kian kecil. Fenomena itu dikuatkan kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan konsumen ketimbang petani. Wujud dari ketimpangan itu, kata dia, terwujud dalam harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen yang dipatok lebih rendah daripada biaya produksi yang ditanggung petani.

Prof Andreas menunjuk, HPP gabah kering panen pada Maret lalu berada di nominal Rp5.000 per kilogram. Padahal, biaya produksi yang dikeluarkan petani pada 2022 saja telah mencapai Rp5.700 kilogram. Karena enggan rugi, banyak petani tidak bersedia bertransaksi dengan Bulog. Konsekuensi dari kecenderungan yang menahun ini, menurut Anderas, Bulog harus memenuhi kuota cadangan beras melalui skema impor.

Dengan kapasitas gudang yang dimiliki, kata Prof Andreas, Bulog sebenarnya mampu menyimpan tiga juta ton beras, atau 10 persen dari produksi gabah nasional. Namun 10 persen gabah nasional itu harus dibeli Bulog dengan harga keekonomian petani yang wajar. Hal itu dipersulit status Bulog yang saat ini berstatus perusahaan umum yang ukurannya ditera dengan keuntungan.  

“Kembalikan Bulog ke posisi semula sebagai penyangga pangan,“ kata Prof Andreas. “Bulog harusnya boleh rugi karena bertugas menyangga pangan nasional.”

Dengan begitu Bulog bisa membeli gabah dengan harga lebih tinggi dari harga pasar, lalu menjual beras yang mereka simpan saat paceklik dengan harga di bawah pasar.

Tentu saja, itu mimpi dan omong kosong lainnya. Yang ada, para pejabat Bulog tak mau pusing dengan semua itu. “Kalau tidak boleh rugi, saat ada persoalan harga dan ketersediaan beras seperti hari-hari ini, buat apa pusing? Mereka tinggal impor,“ujar Prof Andreas. [Dsy/Diana Rizky/Vonita Betalia/Iwan Purwantono]

Back to top button