Sunday, 30 June 2024

Tentang Mistisisme dan Tashawwuf

Tentang Mistisisme dan Tashawwuf

Tentang Mistisisme dan Tashawwuf

Mistisisme merupakan Jalan yang tidak dicapai dengan cara-cara biasa atau dengan usaha intelektual dan merupakan arus besar keruhanian yang mengalir dalam semua agama. Dalam Islam, hal ini disebut dengan nama “tashawwuf”.

 

Oleh     : Alfathri Adlin

Secara etimologi kata mistik berasal dari kata Yunani “mio”, dan juga “myein”. Artinya “menutup mata” serta menunjukkan batas dari pengalaman indrawi untuk memandang ke dalam diri.

Dalam pengertian ini, mistik berkaitan dengan upaya untuk masuk ke kedalaman (realitas). Kata “myeo” dalam bahasa Yunani juga merupakan asal kata mistik yang berarti “mengantar ke dalam misteri”, sementara kata “mysterion” berarti “upacara rahasia” untuk menyelami rahasia-rahasia iman.

Kata “mystikos” dalam bahasa Yunani berarti “sebuah pencapaian kesatuan dengan yang sakral.”

Mistik adalah pengalaman yang ‘melampaui’ (transenden) pengalaman sehari-hari dengan ‘menyentuh inti realitas’ (yaitu yang Ilahi). Dalam ‘persentuhan’ itu terjadi ‘peleburan’ antara subjek yang mengalami dan isi pengalaman (Yang Ilahi). Karena bersentuhan dengan kedalaman misteri, pengalaman mistis tidak bisa diungkapkan sepenuhnya secara diskursif.

Orang memakai metafora, perumpamaan dan simbol untuk mengekspresikan pengalaman itu, misalnya “perkawinan jiwa”, “larut bagai setetes air dalam lautan”, “mabuk cinta Ilahi”; selain itu ada juga lambang-lambang yang lazim seperti perjalanan, keheningan, terang dan gelap, kekeringan, padang gurun dan lain sebagainya.

Mistisisme merupakan Jalan yang tidak dicapai dengan cara-cara biasa atau dengan usaha intelektual dan merupakan arus besar keruhanian yang mengalir dalam semua agama. Dalam Islam, hal ini disebut dengan nama “tashawwuf”.

Istilah ‘mistik’ yang biasa diucapkan secara populer dan asal-asalan di Indonesia sama sekali tidak mengacu pada batasan di atas. Dalam pemakaian tersebut, kata ‘mistik’ tidak lain adalah sinonim dari ‘magi’ atau ‘sihir’ atau hal-hal klenik lainnya.

Dalam ilmu ergonomi, dijelaskan bahwa 80 persen aktivitas tubuh manusia itu menggunakan mata. Dengan demikian, kata mistisisme itu sendiri mengisyaratkan suatu cara perolehan pengetahuan bukan melalui tubuh maupun indranya.

Al-Ghazali membedakan dua jenis penglihatan, yaitu mata lahir yang disebut “bashar”, dan mata batin yang disebut “bashirah.” Dengan “bashar”, manusia hanya mampu melihat hal-hal yang lahiriah atau hanya penampakannya saja, yang Al Ghazali sebut sebagai “khalq” atau fisik. Sedangkan dengan “bashirah”, manusia bisa melihat “khuluq” atau “wujud batin.” Dari kata “khuluq” inilah nantinya dibentuk kata plural “akhlaq”; sehingga dengan demikian, akhlaq itu tak lain adalah wujud batin manusia.

Sedangkan pengalaman mistik dalam tashawwuf itu tujuannya adalah untuk “fana”, yaitu berserah diri total kepada Allah dan juga agar bisa mengenal Allah.[ ]

*Alfathri Adlin, mendapatkan master dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan kandidat doktor dari FSRD-ITB