Tuesday, 02 July 2024

Siapa Pemimpin Tertinggi Iran Mendatang?

Siapa Pemimpin Tertinggi Iran Mendatang?

Posisi yang kompromis ini, dan rumitnya politik ulama di Iran, juga menjelaskan mengapa saya tidak yakin Mojtaba Khamenei akan menggantikan ayahnya. Khamenei muda ini tidak memiliki kualifikasi keagamaan yang diperlukan untuk menduduki jabatan pemimpin tertinggi, juga tidak pernah memegang posisi politik senior–yang merupakan persyaratan konstitusional kedua.

Oleh     :   Prof Arshin Abib-Moghaddam*

Kematian Presiden Iran, Ebrahim Raisi, dalam kecelakaan helikopter baru-baru ini, tidak hanya memicu pemilihan presiden baru. Banyak pengamat percaya sejatinya Raisi dijadwalkan menjadi pemimpin tertinggi Iran berikutnya.

Posisi itu merupakan inti dari sistem politik negara yang kompleks. Meskipun ada banyak institusi yang terlibat dalam pemerintahan Iran, pemimpin tertinggilah yang berhak mengambil keputusan akhir dalam banyak hal.

Faktanya kini, telah tiada kemungkinan Raisi akan menggantikan pemimpin tertinggi saat ini, Ali Khamenei. Menurut konstitusi Iran, posisi tersebut memerlukan kemampuan politik dan keyakinan agama, mengadaptasi teori Perwalian Hakim Agung yang dimulai Ayatollah Ruhollah Khomeini sebagai inti dari konstitusi revolusioner tahun 1979.

Harus diakui, ketika Khamenei menggantikan mendiang Khomeini satu dekade kemudian, konstitusi Iran harus diubah karena Khamenei tidak memiliki kedudukan agama yang disyaratkan dalam hierarki ulama. Berbeda dengan Khomeini, dia bukan seorang ayatollah, sehingga konstitusi Iran diamandemen untuk mengadaptasi kompetensi politik dibandingkan legitimasi agama. Namun hal itu pun tidak cukup untuk melegitimasi pencalonan Raisi.

Sementara itu Raisi bahkan bukan seorang ulama tingkat menengah. Dia tidak memiliki pengaruh keagamaan yang nyata dan tidak memiliki karisma politik yang datang dari kualifikasi keagamaan. Karena itu, kecil kemungkinan, baik kalangan ulama maupun politik, akan menerima dia sebagai pemimpin tertinggi. 

Majelis Ahli, badan konstitusional yang bertugas memilih pemimpin tertinggi, mungkin didominasi oleh kelompok “konservatif” yang bersekutu dengan beberapa faksi yang mendukung Raisi. Namun ada ayatollah senior di Iran yang setara dengan Vatikan. Qom, yang memiliki pengaruh besar di dalam negeri dan di luar Iran serta mempunyai pendapat informal dalam persoalan suksesi.

Di republik Islam yang digerakkan oleh politik teokratis, faktor ulama jelas penting–, dan Raisi tidak memiliki pengikut di Qom.

Raisi juga tidak dipandang sebagai seseorang yang memiliki rekam jejak politik yang kuat. Jabatan senior yang dipegangnya diberikan kepadanya oleh Khamenei. Selain itu, ia juga disebt-sebut terlibat dalam beberapa pelanggaran hak asasi manusia yang paling mengerikan dalam sejarah Iran, ketika ia bertugas di panel yang bertanggung jawab untuk menerapkan hukuman mati kepada ribuan tahanan politik pada tahun 1988. Raisi berusaha menjauhkan diri dari peran tersebut, namun dia tidak pernah menyangkal keterlibatannya.

Ketika Raisi mencoba meraih jabatan publik sebagai calon presiden pada Pemilu 2017, ia kalah dari Hassan Rouhani, yang berkampanye untuk hubungan yang lebih baik dengan dunia dan reformasi di dalam negeri. Pemilu berikutnya pada Juni 2021, yang akhirnya memberikan Raisi kursi kepresidenan, adalah pemilu yang paling sedikit menimbulkan perdebatan dalam sejarah republik Islam tersebut. Tidak ada oposisi nyata yang diizinkan.

Pada 2022, ketidakpuasan masyarakat terhadap ruang politik Iran yang semakin terbatas muncul dalam gerakan protes “Women, Life, Freedom”–yang menjadi arus perbedaan pendapat secara besar-besaran. Ketidakmampuan pemerintahan Raisi untuk menangani protes-protes ini tanpa menimbulkan kekerasan negara yang besar, merupakan indikator lain dari kegagalannya dalam menstabilkan politik Iran.

Kecenderungannya terhadap kelompok sayap kanan juga meminggirkan berbagai lapisan masyarakat sipil aktif Iran dan faksi politik reformis. Hal ini hanya akan melemahkan legitimasi pemerintahannya. Raisi dipandang hanya sebagai orang yang disetujui Khamenei dan para pengikutnya, yang tampaknya merupakan satu-satunya faksi yang mempertahankannya.

Namun Khamenei bukanlah seorang Khomeini. Pemimpin tertinggi pertama ini memiliki banyak pengikut dan menghasilkan salah satu revolusi paling dahsyat dalam sejarah. Bagi Khamenei, jauh lebih sulit melakukan manuver tanpa mendapat respons negative. Seperti yang saya paparkan dalam buku saya tentang Iran, jika Khomeini adalah “Lenin” revolusi Iran, maka Khamenei hanyalah seorang prefek.

Posisi yang kompromis ini, dan rumitnya politik ulama di Iran, juga menjelaskan mengapa saya tidak yakin Mojtaba Khamenei akan menggantikan ayahnya. Khamenei muda ini tidak memiliki kualifikasi keagamaan yang diperlukan untuk menduduki jabatan pemimpin tertinggi, dan ia juga tidak pernah memegang posisi politik senior – yang merupakan persyaratan konstitusional kedua.

Menjadi anak dari pemimpin saat ini adalah kerugian lainnya. Sebuah revolusi yang menentang konsep monarki turun-temurun di Iran dan negara-negara lain tidak mampu melakukan suksesi seperti itu saat ini. Sebagai salah satu tokoh terakhir yang terlibat langsung dalam revolusi 1979, Ali Khamenei, menyadari hal tersebut.

 

Pemimpin Iran berikutnya

Lantas, siapa yang akan menggantikan pemimpin saat ini? Kenyataannya adalah, tidak ada yang tahu pasti, bahkan elit politik di Iran sekalipun. Spekulasi di luar negeri, yang sebagian besar tidak mendapat informasi yang memadai, didorong oleh politik yang ditumpangkan pada narasi Iran. Pada kenyataannya, terdapat proses ketatanegaraan yang tidak mudah dimonopoli oleh satu orang saja -– bahkan oleh pemimpin tertinggi saat ini.

Namun, deskripsi pekerjaannya jelas. Pemimpin tertinggi Iran berikutnya akan memiliki kedudukan keagamaan yang kuat yang dapat ditoleransi oleh para ulama senior Qom dan lembaga ulama di negara tersebut.

Dia harus berpengalaman secara politik, namun tidak ternoda oleh skandal besar. Dia harus memiliki aura yang dihormati oleh Garda Revolusi yang berkuasa, dan dia harus memiliki silsilah revolusioner yang mengikatnya dengan Khomeini, pendiri Republik Islam.

Pemimpin baru ini juga akan menjadi jantung dari apa yang disebut “poros perlawanan”, sebuah aglomerasi gerakan yang tersebar di seluruh wilayah, mulai dari Palestina hingga Lebanon selatan, Suriah, Irak, dan Yaman. Dia akan dan harus mampu mewarisi infrastruktur nuklir yang mampu membuat bom atom. Jadi, pemerintah Iran juga akan mencari kompetensi dalam melakukan hubungan internasional.

Siapa pun yang selanjutnya memimpin Persia modern akan menjadi salah satu tokoh utama dalam politik dunia–penggerak dan pengguncang tatanan dunia yang berubah secara radikal. Itulah gambaran besarnya (full magnitude)  posisi ini, yang akan menentukan masa depan Iran, kawasan, dan keamanan internasional untuk generasi mendatang. [Asia Times]

*Arshin Adib-Moghaddam adalah profesor pemikiran global dan filsafat komparatif di SOAS, Universitas London. Tulisan ini sebelumnya dimuat Asia Times