Kanal

Dongeng Bocah Sunda di Masa Lalu [6]: Ngabungbang, Semampainya Nyi Centring Manik, dan Angka Mistik di Judi Nalo

Pancuran mata air itu dulu letaknya di antara Desa Tolengas dengan Gunung (sebenarnya Bukit) Kancana. Menyendiri di pinggir jalan sepi, redup oleh lebatnya dedaunan pohon-pohon besar yang menjaga kontinuitas pasokan mata airnya. Waktu SD, bila kebetulan bermain ke Gunung Kancana, kami pasti akan mampir ke mata air itu untuk meminum airnya yang dingin, segar dan sedikit manis. Kebiasaan yang juga dilakukan orang-orang yang bepergian, baik dengan berjalan kaki maupun berkendaraan delman, dari Tolengas ke Darmaraja, atau sebaliknya. 

“Nyisiran di Gunung Putri. Silanglang di Cihanjawar. Mesek di Muara Beres–Bersisir di Gunung Putri. Mengurai rambut di Cihanjawar. Mandi besar di Muara Beres…”

–(lirik lagu Sunda buhun,”Jemplang Leumpang”)

Dalam tradisi Sunda lama, mandi menjadi hal yang sangat utama. Terutama pada para wanoja atau gadis-gadisnya. Banyak hal-hal besar dalam kehidupan urang Sunda biasanya diawali dengan mandi khusus. Sebelum melakukan akad nikah atau dirapalan, kedua pengantin dipastikan menjalani mandi yang lain dari biasa. Nyaris identik dengan tradisi siraman di masyarakat Jawa. Sebelum seorang anak disunat, ia akan dimandikan lebih lama dari biasa karena benar-benar mengalami “mesek” tadi—saya terjemahkan sekenanya dengan “mandi besar”, yang tentu saja tak berkaitan dengan keluarnya mani. 

Di masa lalu, ia bahkan akan “dikeueum” alias direndam di aliran sungai sejak usai subuh (wanci balebat) hingga wanci meletek sarangenge atau saat terbitnya matahari, sekitar pukul 7 WIB. Konon, agar kulup yang mau disunat hipu (pulen, alias gampang dipotong) dan baal (kebal dari sakit) waktu disunat.

Satu kuplet syair lagu “Jemplang Leumpang” di atas menegaskan betapa kuatnya budaya mandi di Tanah Sunda. Tiga kata tadi, “nyisiran”, “silanglang” dan “mesek” menunjukkan bagian dari prosesi mandi yang lebih serius, karena biasanya dilakukan kaum perempuan. “Nyisiran” adalah bersisir yang tak sekadar dilakukan di rumah di depan kaca, melainkan membereskan rambut perempuan saat keramas (yang biasanya panjang). Laku “silanglang” tidak sesederhana terjemah-an simpelnya di atas, “mengurai rambut”. “Silanglang” adalah cara perempuan mengurai rambut panjangnya dengan cara merebahkan diri, telentang sejajar dan searah aliran air sungai. 

Badan dicondongkan ke belakang, dengan kaki tetap menapak dasar sungai di bagian yang dangkal. Sementara “mesek”, yang dalam pengertian umum adalah “mengupas”, adalah cara si perempuan ‘mengupas’ kulitnya sendiri dari segala daki, kotoran dan bau. Jadi, jauh sebelum datangnya parfum dari Paris ke Tatar Priangan, tubuh wanoja Sunda sudah meruapkan bau harum tersendiri!

Sehari sebelum datangnya bulan Ramadhan, paling lambat di waktu ashar, urang Sunda akan melakukan mandi khusus untuk menyambut pelaksanaan puasa Ramadhan. Mereka akan mandi dan “diangir” alias mencuci rambut. Saking kuatnya tradisi, di masa lampau, orang lebih senang menunda puasanya sehari untuk menggantinya di bulan lain, ketimbang berpuasa tanpa “diangir” sebelumnya.

“Kala itu, menurut para sesepuh Sunda sering disebut jaman bisi (cemas) jeung pamali (tabu). Berbagai pamali … Seperti…jangan main dekat sumur nanti kabadi atau kasibat (kesambet). …Jangan makan dari cobek, …kalau masih gadis jangan-jangan nanti kawin dengan aki-aki. Sialnya, sekali orang terlewat lupa mandi keramas, konon ibu cepat mati,” tulis alm Haryoto Kunto dalam “Ramadhan di Priangan (Tempo Doeloe)”, dengan penjelasan dalam kurung dari saya.

Di kampung masa saya kanak-kanak, baik di Cibasale, Desa Majalengka Kulon, atau di Kampung Putat, Kecamatan Kadipaten, diangir dengan shampoo baru berjalan sekitar tahun-tahun awal 1980-an. Mungkin 1981-82, tepatnya. Shampoo pun belum banyak ragamnya. Orang-orang paling banter menggunakan shampoo bubuk Kao Feather Shampoo, yang bentuknya seperti sabun deterjen Rinso zaman sekarang.

Saya, yang tak pernah absen berada di depan tv hitam putih 14 inchi di rumah tetangga—Bah Eme, pedagang beras di Pasar Kadipaten–sepanjang siaran berlangsung, ingat betul narasi yang dibacakan dalam iklannya di mata acara “Mana Suka Siaran Niaga” TVRI saat itu.

“Rambutku haaluuus…
Lembut berseri..
Bebas ketombe dan gatal-gatal
Karnaa memakai Kao Feather Shampoooooo…”

(Saya curiga yang menyanyikan jingle lagu itu tampaknya Ibu Anita Rahman, penyiar TVRI saat itu. Suaranya mirip sekali.)

Sebelum masa-masa itu, —di Cibasale bahkan tradisi ber-shampoo itu datang lebih kemudian lagi)–orang-orang di kampung saya mencuci rambut dengan bahan pencuci yang sangat bervariasi. Ada yang menggunakan buah kemiri yang telah disangrai (digoreng tanpa minyak), ditumbuk, baru digunakan. Ada yang memakai pucuk daun petai Cina (peuteuy selong atau lamtoro) yang dihaluskan. 

Ada yang memakai air rendaman abu sekam padi yang dibiarkan mengendap semalam suntuk. Ada yang terbiasa dengan jeruk nipis yang dibubuy (ditimbun sekam panas dari perapian dapur) lebih dulu. Di Putat, umumnya orang memakai—benar, saya tak bohong—tanah lempung yang dicampur air perasan mangga muda yang telah dibubuy lebih dulu! Jangan lupa, para wanoja jaman itu rata-rata berambut panjang, tak jarang mencapai lebih dari pinggang.

Tapi yang menarik adalah tradisi mandi ngabungbang. Ini mandi yang penuh balutan urusan mistis, bahkan bagi orang di luar etnis Sunda yang tinggal di Priangan dan sempat mengetahui kebiasaan ini. Tampaknya, awal adat ngabungbang, yakni mandi tengah malam hingga dini hari menjelang subuh, datang dari penghormatan para “karuhun” (nenek moyang) Sunda kepada titah Rasulullah SAW. Rasulullah Muhammad SAW memiliki kebiasaan menghormati datangnya purnama dengan cara berpuasa tiga hari menjelang purnama, yakni pada 13, 14, 15 bulan tersebut berdasarkan kalender Hijriah. Saat ini kita mengenalnya sebagai ayyamul bidh.

Konon, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Tirmidzy, Rasulullah SAW berkata kepada sahabat Abu Dzar Al Ghiffary. “Wahai Ahu Dzar, jika kamu akan melakukan shaum (sunah) tiga hari dalam setiap bulan, maka laksanakanlah pada tanggal 13,14,15.” Berdasarkan perawi yang sama, di hadits lain dijelaskan keutamaan puasa tiga hari setiap bulan itu. 

“Allah menyediakan pahala setara shaum sepanjang tahun bagi orang-orang yang mampu dan ikhlas melaksanakan shaum sunnah setiap tanggal 13,14,15 hijrah.” (HR Tirmidzy).

Dalam Ensiklopedi Sunda yang ditulis Ajip Rosidi, dkk, pada entry “ngabungbang” disebutkan sebagai: “Melakukan perjalanan pada malam hari pada saat terang bulan dengan mendatangi tempat-tempat yang dianggap keramat. Dahulu merupakan cara NYIPUH ÉLMU, dan tempat-tempat keramat yang didatangi ialah tempat keramat para leluhur di zaman kerajaan Hindu. 

Setelah zaman Islam, kebiasaan ngabungbang masih diteruskan, tetapi tempat keramat yang didatangi ialah makam-makam para wali atau tokoh-tokoh lain yang punya peranan dalam penyebaran agama Islam, khususnya di Pasundan. Seperti makam Sunan Gunung Jati (di Cirebon), makam tokoh-tokoh ulama dari zaman Kesultanan Banten (di Banten), makam SYEKH ABDUL MUHYI di Pamijahan (Tasikmalaya), peninggalan Prabu KEAN SANTANG di Godog (Garut). Ngabungbang paling baik dilakukan pada tanggal 14 Maulud, karena diyakini sebagai saat turunnya berkah dari Allah.”

Penjelasan tersebut bahkan bagi generasi X seperti saya yang masih melihat (meski tidak mengalami karena di saat itu masih tergolong bocah) ngabungbang, jelas tidak cukup. Tidak disertakannya prosesi mandi, yang dalam kebiasaan masyarakat sampai dilakukan tujuh kali di tujuh tempat berbeda—sungai yang berbeda-beda, atau pancuran, mata air, umbul yang berlainan—, potensial membuat interpretasi anak-anak muda saat ini terhadap ngabungbang, jadi sekadar “jurit malam”.

***

Paman saya, Mang Otong (nama sebenarnya Aris Priyadi), pernah bercerita pengalamannya ngabungbang di awal 1970-an. Saya mendengar cerita itu saat

SMP, sekitar 1983-1984.

Karena tempat tinggal Mang Otong dan kawan-kawan, yakni Kampung Omas, Kadipaten, dekat dengan tiga pancuran tua yang merupakan mata air sejak ratusan tahun sebelumnya, dan dua sungai besar di Jawa Barat, yakni Sungai Cilutung dan Sungai Cimanuk, sejak lama warga setempat melakukan ngabungbang dengan mandi di tiga sumur yang ada di kampung mereka, tiga pancuran mata air di kampung tetangga, Bantarnagara, Kamun dan pinggiran Tolengas, serta diakhiri dengan mandi di pertemuan Sungai Cilutung dan Cimanuk. 

Tempatnya agak jauh, yakni di sekitar Babakan Sinom (Babakan Anyar saat ini), dekat Jalan Raya Pos yang dibangun Daendels. Karena cukup jauh, maka lokasi itu biasa menjadi lokasi penutup ngabungbang.

Zaman itu masih jauh dari program Listrik Masuk Desa (LMD) yang digagas Pak Harto dan terwujud 1983. Untuk membawa lampu Petromaks pun tergolong mewah. Jadi Mang Otong dan ketujuh temannya cukup masing-masing membawa obor (colen), dari ruas bambu bersumbu kain, dengan bahan bakar minyak tanah yang saat itu masih sangat gampang dicari. Meski semua membawa obor, dinyalakannya sih bergantian, untuk menjaga kontinuitas.

Tak ada yang istimewa pada saat mandi di tiga sumur di kampung, juga di dua pancuran, pancuran Bantarnagara dan Kamun. Karena dua tempat yang disebut terakhir berada di kampung lain, selama prosesi yang mulai merambat ke pukul 01 dini hari itu mereka bertemu dengan banyak rombongan ngabungbang dari kampung-kampung lain. Tak jarang anak-anak muda itu menggodai rombongan para gadis bila kebetulan bersirobok. 

Oh ya lupa. Kebanyakan rombongan ngabungbang justru pesertanya para gadis muda. Mereka ikut ngabungbang agar cepat “payu” (laku), alias cepat mendapatkan pasangan dan menikah.

Yang agak lain, saat mereka mandi di pancuran di pinggiran Desa Tolengas saat ini. Mungkin saja pancuran itu kini sudah tak ada. Saya tak melihatnya meski mencoba cermat melihat jalanan, saat pada 2020 lalu berkendara dari belokan Tolengas ke arah Darmaraja-Bendungan Jati Gede. Dulu letaknya di antara Tolengas dengan Gunung (sebenarnya Bukit) Kancana. 

Menyendiri di pinggir jalan sepi, redup oleh lebatnya dedaunan pohon-pohon besar yang menjaga kontinuitas pasokan mata airnya. Waktu SD, bila kebetulan bermain ke Gunung Kancana, kami pasti akan mampir ke mata air itu untuk meminum airnya yang dingin, segar dan sedikit manis. Kebiasaan yang juga dilakukan orang-orang yang bepergian, baik dengan berjalan kaki maupun berkendaraan delman, dari Tolengas ke Darmaraja, atau sebaliknya.

Tiba di mata air tersebut, menurut Mang Otong, sudah sekitar pukul 02 dini hari. Sepi, mungkin karena rombongan lain dari Tolengas dan sekitarnya sudah mandi di sana sejak awal prosesi ngabungbang, yakni tengah malam. “Sepi na teh aneh, deuih, cebrek,” kata Mang Otong saat itu. “Sepi yang lampus dan aneh.”

Mereka tak segera mandi, karena melihat di pinggir telaga kecil itu tengah berendam seorang gadis. Memakai kain sinjang (jarit) yang dikembenkan menutup dada, tengah silanglang mengurai rambutnya yang panjang terurai di permukaan air, tengadah menatap bulan yang bersinar terang meski sedikit tertutupi rimbunnya daun-daun pepohonan. Agar tidak menimbulkan wasangka, rombongan pemuda itu bertanya dengan suara keras, ”Nyalira wae, Neng. Nu sanes kamana? Sendirian saja, neng? Mana yang lain?” tanya Mang Otong, yang di rombongan pemuda itu sering dianggap pemimpin.

Si gadis yang tengah menikmati cahaya purnama yang mistis di antara lebatnya daun-daun pepohonan itu tampak kaget. Ia segera bangkit dari posisi silanglangnya, berpaling dan menatap langsung para pemuda tersebut.

“Ih, eta mah da, teu pernah deui Mamang panggih jeung cawene sageulis eta. Matana ge hejo, neuteup seukeut ka Mamang,” kata Mang Otong. “Duh, sepanjang hidup Mamang tak pernah lagi menemukan gadis secantik itu. Matanya hijau, tajam menatap Mamang.” Gadis itu bahkan sempat melemparkan senyum. Mungkin saja juga senyum termanis sepanjang yang pernah dilihat mamang saya seumur hayatnya.

Namun bukan itu yang bikin pada pemuda tanggung generasi baby boomers itu seolah terbius dan terpaku di tempat mereka masing-masing. Dengan lirikan mata yang menggoda, gadis cantik bermata hijau itu bangkit dari posisinya yang telentang di permukaan telaga. Saat bangkit itu, rambut panjangnya terurai jatuh hingga pinggang. Namun, tak ada kaki jenjang yang meneruskan semampainya pinggang, melainkan tubuh ular sebesar batang pohon kelapa!

Gadis semampai itu kemudian seperti menyilakan rombongan pemuda itu untuk menggantikannya mandi. Dengan senyum yang membuat para pemuda itu diam membeku, ia pergi dalam sepi. Tak ada bunyi, kecuali desir bunyi dedauan yang bergesekan dengan kulit tubuhnya kala menyisih.

“Orang-orang tua waktu itu bilang kami telah bertemu Putri Centring Manik, dedemit penguasa kerajaan siluman ular,” kata Mang Otong. Nama itu memang popular di Majalengka zaman saya kecil sampai sekitar usia SMA. Di waktu masih banyak orang mau memuja siluman demi mendapat sedikit kekayaan semu itu, Putri Centring Manik dipuja para pencari dunia yang dua kali tersesat. Ya tersesat tujuannya, juga tersesat jalannya. 

Konon, sekali sebulan, Centring Manik akan mendatangi pemujanya—laki-laki biasanya. Bertemu di kamar yang sehari-hari dikunci empunya rumah. Mereka berhubungan laiknya suami-istri. Di dini hari, sebelum adzan subuh berkumandang, Centring Manik pamit setelah menggoyang tubuh, merontokkan sisik-sisiknya di ranjang. Itulah konon, yang dalam pandangan banyak manusia, adalah emas dunya brana.

Namun Centring Manik yang dikenal di Majalengka bukanlah Putri Kentring Manik Mayang Sunda yang akrab di telinga warga Bandung. Yang terakhir, meski sama-sama dianggap penguasa alam ghaib, sering dikenal sebagai istri Prabu Siliwangi—entah yang mana—dari alam ghaib. Pusat kerajaannya—dari sebuah buku yang sempat saya baca, namun lupa tepatnya, ada di Sumur Bandung, tempat warga Bandung zaman baheulaaa pisaaaan alias zaman “cacing dua saduit”, saat dua ekor ulat tebu yang menjadi hama dibeli penguasa onderneming tebu seharga “saduit”. Sumur itu sudah lama lenyap tertutup bangunan. Konon, letaknya di bawah Gedung Palaguna-Nusantara, yang sebenarnya juga sudah rata sejak lama.

Oh ya, bagaimana kisah paman saya pasca-perjumpaannya dengan Centring Manik? Setelah kisah pertemuannya itu ditafsirkan dengan beyond exegesis—apa pula ini?—, dengan bantuan logika yang anti-logis penuh bantuan angka-angka (yang di-) mistik, ketemulah empat angka. Empat angka itu paman saya pasangkan ke nomor judi Nalo yang saat itu popular, jauh sebelum Tosing, Porkas maupun SDSB. Paman saya, selama beberapa bulan konon pernah kaya. [ ]

 

 

Back to top button