Sunday, 30 June 2024

Derita Gaza: Angka Amputasi Menggila, Prosthesis dan Penghilang Rasa Sakit tak Ada

Derita Gaza: Angka Amputasi Menggila, Prosthesis dan Penghilang Rasa Sakit tak Ada


Tidak ada yang bisa dilakukan dokter di Gaza untuk meringankan rasa sakit yang dirasakan Suhaib Khuzaiq, anak berusia tiga tahun, akibat cedera terkena pecahan peluru, yang menyebabkan kakinya diamputasi di atas lutut pada Desember lalu.

“Dia kesakitan dan membutuhkan obat penghilang rasa sakit dan kaki palsu yang hanya tersedia di luar Gaza,” kata ayahnya, Ali Khuzaiq, 31, kepada AFP, di rumah sakit Al-Ahli di Kota Gaza. 

Pada 6 Desember, serangan udara Israel di lingkungan mereka di Tal Al-Hawa, barat daya Kota Gaza, melukai Suhaib dan menghancurkan rumah mereka. Keluarga tersebut mengungsi, dan kini tinggal bersama kerabatnya. 

Perang dan blokade Israel telah menyebabkan kekurangan obat-obatan dan menghancurkan sebagian besar kapasitas medis di Gaza. Karena itu amputasi menjadi cara utama dalam menangani cedera yang pada kondisi lain mungkin ditangani secara berbeda. Di lain sisi, itu menyebabkan jumlah korban cedera semakin meningkat.

Mengutip data UNICEF, Kepala Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan pada Selasa (25/6) bahwa di Gaza “setiap hari 10 anak… rata-rata kehilangan satu atau bahkan kedua kaki”.  Itu berarti sekitar 2.000 anak telah kehilangan kaki sejak dimulainya perang.

Juru Bicara UNICEF, Jonathan Crickx, kepada AFP mengatakan sangat sulit dalam mengumpulkan data di zona perang. Artinya angka tersebut hanya “perkiraan” yang memerlukan waktu untuk diverifikasi. Namun ia mengakui bahwa para kru UNICEF telah bertemu dengan banyak anak yang kehilangan anggota tubuh.

Mahmoud Basal, juru bicara badan Pertahanan Sipil Gaza, mengatakan kepada AFP bahwa perkiraan tersebut tampak realistis. Menurut dia, krunya yang bekerja di lapangan mengatakan, pada akhir setiap serangan Zionis Israel, mereka selalu menemukan banyak anak dan pemuda Palestina kehilangan kaki atau yangan mereka. “Jumlahnya banyak sekali,”kata Mahmoud. 

Langka protesis dan obat pereda nyeri

Sumber dari kalangan medis di Gaza mengatakan, amputasi seringkali merupakan satu-satunya pilihan yang tersedia. Namun semua harus dilakukan dalam kondisi yang tidak memadai. 

“Ada saat-saat ketika anestesi tidak tersedia, namun untuk menyelamatkan nyawa warga, kami melakukan amputasi. Ini menyebabkan rasa sakit yang parah bagi yang terluka,” kata dokter Maher, ahli bedah di rumah sakit Al-Ahli, kepada AFP. “Setiap hari, terjadi serangan yang mengakibatkan amputasi kaki atau lengan baik pada anak-anak, dewasa, maupun wanita.”

Pada Mei lalu, organisasi nirlaba Save The Children mengatakan, ribuan anak yang diamputasi dan anak-anak yang terluka berjuang untuk pulih tanpa obat pereda nyeri dan perangkat seperti kursi roda yang memadai.

Persediaan prostesis yang tepat  sangat terbatas di Jalur Gaza, yang diblokade ketat tak hanya oleh Israel. Hal itu tidak memungkinkan peralatan medis dan obat-obatan memasuki wilayah tersebut.

Amputasi seringkali dilakukan dalam kondisi yang buruk dan kurangnya obat bius, kata petugas medis. “Insya Allah penyeberangan akan dibuka dan Suhaib akan mendapat perawatan di luar Gaza. Rumah sakit di sini tidak punya perawatan dan obat-obatan,” kata Khuzaiq, menghibur diri.

Situasi di rumah sakit sendiri sangat mengerikan. Gaza utara lebih sulit diakses, sehingga kekurangan pasokan di sana semakin buruk. Sementara sebagian besar rumah sakit “tidak berfungsi karena serangan langsung oleh tentara Israel”, kata Khuzaiq.

Marwa Abu Zaida, 40, dan putranya yang berusia delapan tahun, Nasser Abu Drabi, juga berharap bisa bepergian ke luar negeri untuk mendapatkan akses terhadap pengobatan dan prostesis. Kaki dan lengan kedua bapak-anak itu diamputasi. setelah terluka ketika serangan Israel menghantam rumah mereka di kota Beit Lahia, Gaza utara.

“Saya berharap perang berakhir, perlintasan dibuka, dan fasilitas diberikan kepada kami sehingga kami dapat melakukan perjalanan, memasang anggota tubuh (buatan), dan menjalani hidup secara normal,” katanya kepada AFP dari RS Al-Ahli. 

“Saya dan anak saya khawatir saat harus mengganti pembalut luka karena rasa sakit yang kami alami”, ujarnya, karena mereka tidak memiliki obat pereda nyeri.

Tak ada harapan 

Evakuasi medis diperlukan tetapi jarang terjadi di Gaza, termasuk bagi pasien-pasien yang membutuhkan pengobatan kanker, kata Bashar Murad dari Bulan Sabit Merah Palestina di Gaza. “Tidak ada pengobatan kanker di Gaza. Kami tidak dapat mengobati kasus dengan kemoterapi atau radiasi di Jalur Gaza,” katanya.

“Sektor kesehatan telah runtuh seluruhnya di Gaza. Ada 25 ribu kasus memerlukan perjalanan keluar dari Jalur Gaza untuk mendapatkan pengobatan.” Hanya 4.000 pasien yang dapat meninggalkan Gaza. 

Ali Khuzaiq kecil harapan anaknya bisa dievakuasi. “Orang-orang jatuh sakit dan akhirnya juga mereka  yang sehat. Tidak ada harapan, kenyamanan atau apa pun yang membangkitkan semangat,” katanya.

Serangan Israel telah menewaskan sedikitnya 37.765 orang, sebagian besar warga sipil, menurut data dari kementerian kesehatan di Gaza yang dikuasai Hamas. [AFP/Al-Monitor]