Market

Tersengat Krisis Properti, Ekonomi China Mulai Babak Belur

Perekonomian China cukup terganggu dengan krisis properti yang terjadi. Kondisi ini diyakini bakal menambah berat perekonomian global, khususnya negara berkembang.

Saat ini, banyak pengembang di negeri Panda, tidak bisa melanjutkan pembangunan. Lantaran adanya aturan pembatasan pinjaman untuk lembaga keuangan.

Pembatasan tersebut merupakan turunan dari aturan bernama ‘tiga garis merah’. Tujuannya untuk mengempeskan gelembung properti di China yang sudah terjadi dalam beberapa dekade belakangan.

Beleid ini, memiliki tujuan ganda. Pertama, mengurangi ketergantungan ekonomi yang berlebihan kepada properti. Kedua, meredam spekulasi yang membuat harga rumah di China terlalu mahal, sehingga tak terbeli kalangan menengah.

Managing Director Teneo, Perusahaan Analisis Risiko, Gabriel Wildau mengatakan, krisis properti di China tercipta karena kebijakan pemerintah. “Tekanan akut yang dialami pasar saat ini adalah akibat langsung dari pembatasan pinjaman yang sangat ketat kepada pengembang yang diberlakukan sekitar satu setengah tahun yang lalu.” kata Gabriel dikutip AlJazeera, Kamis (6/10/2022).

Kebijakan “tiga garis merah” mengharuskan pengembang memenuhi penanda kesehatan keuangan yang ketat, termasuk batas 100 persen kepada utang bersih terhadap ekuitas. Bagi yang tak mampu, jangan harap bisa mendapatkan kredit dari bank dan lembaga keuangan lainnya.

Ternyata, banyak pengembang di China yang beroperasi di luar “tiga garis merah” dan dibebani dengan utang yang super jumbo. Ketika mereka tak lagi dapat kucuran kredit karena aturan itu, muncul krisis keuangan.

Kepala Ekonom Asia Pasifik Natixis Hong Kong, Alicia García-Herrero menjelaskan, properti adalah penyumbang hingga 30 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) China.

Sedangkan ekonomi China adalah penyumbang seperlima dari PDB Global. Artinya, ketika perekonomian China terhambat akibat krisis properti maka dampaknya serius terhadap perekonomian dunia. Khususnya negara berkembang, termasuk Indonesia. “Dampak global sebagian besar disebabkan oleh pertumbuhan yang sangat rendah dari China,” kata Alicia García-Herrero.

Dia mengungkapkan, Forum Ekonomi Dunia memperkirakan, setiap penurunan 1 persen dari PDB China, mengurangi 0,3 persen dari PDB global. “Sedangkan pada sebuah studi tahun 2019 oleh Federal Reserve Amerika Serikat, para ekonom memperkirakan penurunan 8,5 persen dalam PDB China akan mengakibatkan penurunan 3,25 persen PDB di negara maju dan hampir 6 persen penurunan PDB di negara berkembang,” ungkap Alicia García-Herrero.

Ekonomi China bisa saja tidak mengalami kemerosotan secara signifikan. Namun, jika kemerosotannya berlarut-larut, maka akan menyeret pertumbuhan ekonomi global di masa depan.

Back to top button