NewsMarket

Utang Menggunung, Sri Langka Krisis Ekonomi, Indonesia Bisa Menyusul

Sri Langka kini krisis ekonomi, lantaran utang China untuk infrastruktur gede sekali. Rakyat miskinnya sekali. Ternyata, kondisi Sri Langka beda-beda tipis dengan Indonesia. Waduh.

Tak sedang bercanda, analis dari Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR) Gede Sandra menyebut, Indonesia berpeluang mengalami krisis ekonomi seperti Sri Langka.

Di mana, harga barang mencekik, tarif listrik dan LPG mahal, sementara pendapatan rakyatnya tak naik signifikan. Di sisi lain, kata Gede, utang pemerintah menggunung, karena serampangan menerbitkan surat utang negara (SUN). “Memang nyaris mirip kondisinya, antara Sri Lanka dan Indonesia. Terutama dari indikator debt service to export ratio. Atau perbandingan antara pembayaran utang pokok dan bunganya (debt service) terhadap nilai ekspor,” terang Gede kepada Inilah.com, Jumat (14/2/2022).

Kata ekonom yang hobi basket ini, berdasarkan data Bank Dunia, nilai debt service to export ratio Sri Lanka sebesar 39,3%. Sementara Indonesia 36,7%. “Artinya, situasi utang Indonesia sudah mendekati kondisi Sri Lanka,” papar Gede.

Dia mengulangi, Indonesia sangat berpotensi mengalami krisis ekonomi. Beban pembayaran utang pokok dan bunga yang harus disangga pemerintah Indonesia, pada 2022, mencapai Rp 840an triliun. Nilai ini bila dibandingkan dengan penerimaan pajak, sudah lebih dari separuhnya. Tepatnya 66 persen dari setoran pajak. artinya, keringat rakyat dikumpulin untuk bayar utang pokok dan bunganya,” terang Gede.

Kondisi ini, kata dia, menggambarkan begitu tercekiknya fiskal di era pemerintahan Jokowi. Pilihan pemerintah, akhirnya adalah berutang lebih banyak lagi, dengan bunga tinggi. “Atau mencabut subsidi. Kedua pilihan ini, sama-sama membebani rakyat. Harga-harga kebutuhan pokok seperti listrik dan energi akan naik, sehingga daya beli rakyat semakin jatuh,” tuturnya.

Kekhawatiran Gede boleh jadi benar. Sri Langka yang kini mengalami krisis ekonomi, mayoritas rakyatnya hidup bergelimang kemiskinan. Asal tahu saja, harga tabung gas standar di Sri Langka naik 85%, dari US$7,50 (Rp107.000) menjadi US$13,25 (Rp189.000). Belum lagi mahalnya harga bahan pangan menambah berat beban hidup rakyat Sri Langka.

Alhasil, rakyat Sri Langka harus benar-benar mengencangkan ikat pinggang kalau tak boleh dibilang melarat. Jatah makan pun terpaksa dikurangi, dari tiga kali menjadi dua kali. Demikian pula menunya, harus seadanya.

Untuk membantu rakyatnya yang hidup susah, bisa jadi pemerintah Sri Langka pun kesulitan. Lantaran punya utang gede. Khususnya utang ke China yang terus menumpuk hingga melampaui US$5 miliar (Rp71,7 triliun). Duit utangan itu digunakan untuk pembangunan berbagai proyek infrastruktur, termasuk jalan, bandara, dan pelabuhan.

Sementara cadangan devisa Sri langka pada November 2021 hanya tersisa US$1,6 miliar, atau setara Rp22,8 triliun. Hanya cukup untuk membayar impor selama beberapa minggu. Dampaknya, Sri Langka tak kuat untuk mengimpor bahan pangan dan berbagai kebutuhan untuk rakyatnya. Kini, negeri berjuluk Permata Samudra Hindia itu, sinarnya tak mengilap lagi.

 

 

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Iwan Purwantono

Mati dengan kenangan, bukan mimpi
Back to top button