News

Tuntutan Pidana Mati Heru Hidayat dalam Kasus Asabri Dinilai Keliru

Jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung keliru dengan menuntut pidana hukuman mati kepada terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan dana PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau PT Asabri (persero), Presiden Direktur PT Trada Alam Minerba Heru Hidayat.

Demikian disampaikan Pakar Pidana dari Universitas Trisakti Dian Adriawan. Menurutnya surat dakwaan yang dibuat jaksa terhadap Heru Hidayat sama sekali tidak memuat Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Seharusnya tuntutan jaksa merujuk pada surat dakwaan.

“Kalau tidak ada dalam surat dakwaan, berarti kekeliruan yang dilakukan jaksa ketika dia mencantumkan itu (pidana hukum mati) di dalam tuntutan pidana,” ujar Dian dalam keterangannya, Jumat (10/12/2021).

Dian mengatakan poin-poin dalam surat dakwaan dakwaan merupakan hal yang penting karena menjadi koridor bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan perkara. Selain itu, kata dia, surat dakwaan menjadi batasan bagi jaksa dalam pengajuan tuntutan pidana bagi seorang terdakwa.

“Kalau tidak ada dalam surat dakwaan, kemudian dalam tuntutan-tuntutan pidana ada Pasal 2 ayat (2), itu sesuatu kekeliruan JPU. Karena begini, apa yang ada dalam surat dakwaan, diantisipasi juga oleh terdakwa di dalam pembuktian. Nah, bagaiman dia (terdakwa) mengantisipasi Pasal 2 ayat (2) kalau tidak ada dalam surat dakwaan,” jelas Dian.

Dian juga mengaku sepakat jika tindakan Heru Hidayat tidak bisa dikategorikan sebagai pengulangan tindakan pidana. Menurut dia, pengulangan tindak pidana terjadi ketika seseorang sudah diputuskan bersalah dengan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, lalu setelahnya melakukan tindak pidana baru.

“Pengulangan perbuatan itu terjadi apabila sudah ada perbuatan yang diputus oleh pengadilan dan kemudian dilakukan suatu perbuatan baru. Itu namanya pengulangan perbuatan. Kalau ini kasusnya bersama-sama. Pengertian yang dikemukakan oleh jaksa itu keliru kalau menurut saya,” tandas dia.

Selain itu, kata Dian, hukuman pidana mati lebih tepat diberlakukan dalam kasus korupsi terhadap dana-dana yang dipergunakan untuk penanganan dan penanggulangan kondisi darurat. Dia mencontohkan kondisi darurat tersebut seperti bencana nasional atau krisis moneter. Sementara, tindak pidana korupsi Heru Hidayat tidak terkait dengan kondisi darurat tersebut.

“Terkait dengan Pasal 2 ayat (2), pidana mati kan untuk situasi darurat, situasi tertentu. Sebenarnya situasi tertentu itu cocoknya, yang paling tepat kalau diterapkan pada kasus yang lain, seperti kasus Bansos, itu terjadi pada masa pandemi seharusnya hukuman mati,” tutup dia.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Willi Nafie

Jurnalis, setia melakukan perkara yang kecil untuk temukan hal yang besar
Back to top button