Kanal

Tidak Semua Sufi Miskin, Abdullah bin Mubarak Justru Konglomerat

Sebagai sufi, setiap tahun Ibnu Mubarak setidaknya bersedekah 100 ribu dirham, atau Rp 20 miliar bila harga seekor kambing satu juta rupiah. Di luar pemberian lain yang tak direncanakan

Bila ada yang mengatakan bahwa semua sufi itu miskin, bisa dipastikan orang yang berbicara tak mengenal dunia sufi, bahkan kulit luarnya sekali pun. Ada banyak sufi kaya akan harta dunia. Salah satu di antaranya adalah Abdullah bin al-Mubarak al-Hanzhali Maulahum al-Marwazi, yang dilahirkan pada tahun 118 H.

Mungkin anda suka

Ayah Abdullah berdarah Turki, yang sebelumnya adalah seorang hamba sahaya alias budak, sedangkan ibu Abdullah berasal dari Khawarizm di Persia. Tentang bagaimana putra mantan budak itu kelak menjadi seorang ulama hebat dan konglomerat yang dermawan. Imam Dzahabi menyebutkan tentangnya: “Dialah imam, Syaikhul Islam, yang paling alim di masanya, pimpinannya orang-orang yang bertaqwa di waktunya, al-Hafidz al-Ghazi (seorang pejuang).”

Ibnul Mubarak telah mulai menuntut ilmu pada waktu yang mungkin agak terlambat, Imam adz-Dzahabi menyebutkan dalam ensiklopedinya “Siyar A’lam an-Nubala’” tatkala usianya memasuki dua puluh tahun, namun hal itu tidak membuat dirinya tertinggal teman-temannya yang telah menimba ilmu terlebih dahulu.

Guru tertua Ibnul Mubarak adalah al-Allamah al-Muhaddits Rabi’ bin Anas al-Khurrsani, salah seorang paling berilmu di masanya. Ada yang unik dengan cara Ibnul Mubarak belajar kepada gurunya ini, di mana saat itu orang-orang tidak dapat berjumpa dan belajar kepadanya, karena gurunya ini sedang berada di dalam penjara, disebabkan kezhaliman penguasa saat itu. Maka Ibnul Mubarak bersisasat agar bisa mendengarkan dan meriwayatkan hadis darinya, dan ia pun berhasil meriwayatkan kira-kira 40 hadis darinya.

Al-Abbas bin Mush’ab meriwayatkan dari Ibrahim bin Ishaq al-Bunani, ia meriwayatkan bahwa Ibnul Mubarak berkata; “Aku telah belajar kepada empat ribu guru, dan aku meriwayatkan hadis dari 1000 guru”. Al-Abbas bin Mush’ab berkata:” Maka aku pun menelusuri guru-guru yang ia riwayatkan hadis dari mereka, sehingga terkumpul bagiku 800 gurunya. Subhanallah.”

Seorang ahli hadis, Hammad bin Usamah, berkata tentang Abdullah bin al-Mubarak, “Ibnul Mubarak di kalangan ahli hadits adalah serupa dengan amirul mu’min (penguasa umat) di kalangan manusia secara umum.”

Ibnul Mubarak bertemu Harun Al-Rasyid

Pada suatu waktu Khalifah Harun al-Rasyid berkunjung ke kota Raqqah di Syiria, namun tiba-tiba orang-orang berebut mengikuti Abdullah bin al-Mubarak, sehingga sandal-sandal terputus dan debu berterbangan. Sang Khalifah pun melongok keluar dari menara istana yang terbuat dari kayu, seraya berkata keheranan,“Ada apa ini?”

Orang-orang yang di sekitarnya berkata, “Ada seorang alim ulama dari Khurasan yang datang”. Maka dia pun berkata, “Demi Allah, inilah yang dikatakan kerajaan, bukan kerajaan Harun yang tidak mengumpulkan manusia kecuali dengan pasukan dan hulu balang.”

Ibnul Mubarak adalah orang yang memiliki sifat tawadhu’ (rendah hati) dan jauh dari kesombongan. Dikisahkan pada suatu hari bahwa Abdullah bin al-Mubarak menghadiri majlis hadis gurunya, Hammad bin Zaid, maka para penuntut hadis itu berkata kepada Hammad: “Mintakan kepada Abi Abdirrahman (yakni Abdullah bin al-Mubarak) untuk meriwayatkan hadis kepada kami.”

Maka sang Guru berkata,“Wahai Aba Abdirrahman riwayatkanlah hadis untuk mereka, sesungguhnya mereka telah memohon kepadaku hal ini.”

Abdullah bin al-Mubarak tertengun dengan hal itu seraya berkata, “ Subhanallah , Wahai Aba Ismail (kun-yah Hammad bin Zaid) bagaimana mungkin aku meiwayatkan hadits sedang dirimu hadir di sini.” Mendengar itu Hammad bin Zaid berkata,“Aku bersumpah kepadamu agar kamu melakukannya.”

Maka karena sumpah gurunya ini, terpaksa Ibnul Mubarak menurutinya, dan ia pun berkata “Ambillah, telah meriwayatkan kepada kami Abu Ismail Hammad bin Zaid”, tidaklah ia meriwayatkan satu hadis pun pada saat itu kecuali hadis-hadis yang didengarnya melalui jalur gurunya Hammad.”

Kebiasaan aneh

Abdullah bin al-Mubarak memiliki suatu kebiasaan yang agak aneh menurut teman-temannya, di mana ia lebih menyukai duduk sendirian di rumahnya dari pada ngobrol bersama teman-temannya.

Itu membuat mereka bertanya,“Apakah kamu tidak merasa kesepian?”

Maka ia menjawab, “Bagaimana Aku akan merasa kesepian sedangkan aku bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiallau ‘anhum “, yakni mengkaji sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Selain keilmuannya yang matang, Ibnul Mubarak adalah sosok alim ulama yang lembut hatinya. Nu’aim bin Hammad menceritakan, apabila Ibnul Mubarak membaca buku-buku raqaa-iq (tentang kelembutan hati), maka seakan-akan dia adalah seekor lembu yang disembelih, karena menangis, sehingga tiada seorang pun yang berani bertanya sesuatu kepadanya kecuali akan didorongnya.”

Nuaim bin Hammad juga berkata bahwa pada suatu hari seseorang berkata kepada Ibnul Mubarak, “Aku telah membaca seluruh Alquran dalam satu rakaat.” Ibnul Mubarak berkata kepadanya; “Akan tetapi aku mengetahui seseorang yang semalam suntuk mengulang-ulang Al Hakumuttakastur sampai fajar terbit, dia tidak mampu untuk melampauinya.” Orang yang dimaksud olehnya adalah dirinya sendiri.

Pandangan visioner

Suwaid bin Said berkata,”Aku melihat Abdullah bin al-Mubarak di Kota Mekkah. Dia mendatangi sumur Zam-zam dan mengambil segelas air, kemudian ia mengahadap ke Ka’bah dan berkata,“Ya Allah, sesungguhnya Ibnu Abil Mawal (yakni Ibnul Mu-ammal) meriwayatkan kepada kami, dia berkata bahwa Muhammad bin Munkadir meriwayatkan kepada kami, dari Jabir dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia bersabda: “Air Zam-zam itu sesuai dengan niat meminumnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Albani, al-Irwa’ no: 1123), dan sesungguhnya aku meminumnya untuk kehausan di hari Kiamat. Kemudian ia meminumnya.”

Ibnul Mubarak telah mewarisi harta yang banyak dari orang tuanya, kemudian mengembangkannya dalam perniagaan sehingga ia menjadi konglomerat yang hebat. Disebutkan bahwa modal perniagaannya adalah 400 ribu dirham. Harga seekor kambing pada masa itu sekitar 5 dirham, hitunglah berapa kekayaaan yang ia warisi dari ayahnya.

Harta kekayaannya dibelanjakan untuk menuntut ilmu, menyantuni ulama, membantu fakir miskin dan berperang di jalan Allah. Ia berniaga bukan untuk memperkaya diri. Ibnul Mubarak pernah berkata kepada sesama wali sufi, Fudhail bin ‘Iyadh, “Andaikata bukan karena kamu dan teman-temanmu (maksudnya adalah para ulama) niscaya aku tidak akan berniaga.”

Salah seorang ulama generasi setelah Ibnul Mubarak bertanya kepada Isa bin Yunus yang hidup semasa dengan Abdullah bin al-Mubarak. “Apakah yang menjadikan Ibnul Mubarak lebih utama daripada kalian, padahal dia tidaklah lebih tua umurnya dari kalian?”

Isa bin Yunus berkata: “Hal itu dikarenakan kalau dia datang bersama budak-budaknya dari Khurasan membawa pakaian-pakaian yang baik-baik, ia menyambung tali persaudaraan dengan para ulama dengan barang-barang tersebut, berbagi dengan mereka, sedangkan kami tidak mampu berbuat itu.”

***

Al-Imam adz-Dzahabi menyebutkan bahwa Ibnul Mubarak membantu kaum fakir miskin dalam setahun dengan uang sejumlah 100 ribu dirham.

Harga seekor kambing pada masa itu hanyalah 5 Dirham, bisa dibayangkan kalau harga kambing itu satu juta, maka ia telah bersedekah kepada fakir miskin sebanyak 20 miliar rupiah dalam setahun. Suatu jumlah yang fantastis, dari seorang ulama, belum lagi bantuan yang ia berikan kepada yang lainnya.

Muhammad bin Ali bin Hasan bin Syaqiq berkata,”Aku mendengar ayahku berkata: “Konon Ibnul Mubarak apabila musim haji, beberapa saudaranya (seiman) dari penduduk Merv berkumpul kepadanya, mereka berkata, “Kami ingin berhaji bersamamu.” Ia menjawab; “Kalau begitu, kumpulkanlah biaya haji kalian kepadaku.”

Setelah itu, Abdullah mengambil bekal mereka dan meletakkan di dalam sebuah peti dan menguncinya. Kemudian ia menyewakan kendaraan untuk mereka agar bisa pergi menuju Baghdad dari Merv. Ia terus memberikan nafkah dan melayani mereka dengan makanan yang enak-enak dan berbagai macam kue, kemudian mempersiapkan mereka untuk pergi dari Baghdad dengan pakaian yang indah dan rapi menuju kota Madinah an-Nabawiyah. Sesampainya di sana ia berkata kepada setiap orang dari rombongannya,”Keluarga kalian berpesan apa dari Madinah?”

Mereka berkata ini dan itu, maka ia pun berbelanja memenuhi keinginan mereka. Kemudian berangkat ke kota Mekkah. Sesampainya di sana, ia berkata kepada mereka semua tentang pesanan keluarga mereka yang harus dibeli di Mekkah, dan lagi-lagi ia berbelanja untuk mereka. Ia tetap memberikan nafkah kepada mereka sampai kembali ke kampung halaman di Merv.

Tidak cukup disitu, Abdullah bin al-Mubarak merenovasi rumah-rumah mereka. Setelah tiga hari dari kedatangan, ia membuat walimah (syukuran) mengundang rombongannya ini dan memberikan pakaian kepada mereka. Apabila mereka telah usai makan dan minum, Ibnul Mubarak meminta peti tempat menyimpan nafkah mereka, ia membukanya kemudian mengembalikan barang titipan tersebut kepada setiap orang yang memilikinya, di mana di setiap kantong uang telah tertulis nama pemiliknya.” [dari Tadzkiratul Awliya, tulisan Fariduddin Attar]

Back to top button