Market

Tergiur Minyak Murah dari Rusia, Berani Hadapi Tantangan Ini?

Presiden Joko Widodo mempertimbangkan membeli minyak Rusia untuk mengimbangi meningkatnya tekanan dari tingginya harga minyak dunia. Meski lebih murah namun rencana ini mengandung risiko. Apakah pemerintah sudah mempertimbangkannya?

“Semua opsi selalu kami pantau. Jika ada negara (dan) mereka memberikan harga yang lebih baik, tentu saja,” kata Jokowi dalam wawancara dengan Financial Times, ketika ditanya apakah Indonesia akan membeli minyak dari Rusia, Senin (12/9/2022).

Mencari minyak berharga murah menjadi pilihan seiring dengan tekanan fiskal yang dialami pemerintah. Tingginya harga minyak dunia ikut membebani anggaran terutama subsidi untuk BBM. Pemerintah pun kemudian menaikkan harga BBM bersubsidi untuk meringankan beban subsidi pada APBN.

Wacana bergabung dengan India dan China untuk membeli minyak dari Negeri Beruang Merah terlontar pertama kali dari Menparekraf Sandiaga Uno yang mengatakan Presiden Jokowi berminat untuk membeli minyak mentah dengan harga lebih rendah 30 persen. Sandi mengatakan, pemerintah tengah berhitung untuk membuka peluang pembayaran impor minyak Rusia itu lewat Rubel.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menegaskan kementeriannya belum membahas rencana spesifik terkait dengan pembelian minyak mentah dari Rusia. Sementara perusahaan minyak milik negara, Pertamina mengatakan sedang mengkaji risiko membeli minyak Rusia.

Rusia merupakan produsen minyak terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat (AS) dan Arab Saudi. Menurut data International Energy Agency (IEA), produksi minyak mentah dan kondensat Rusia mencapai 10,5 juta barel per hari. Jumlah tersebut merupakan 14 persen dari total pasokan global.

Rusia memproduksi beberapa jenis minyak mentah yang berbeda. Namun, campuran ekspor utamanya adalah Ural, yang merupakan minyak mentah masam sedang. Pada 2021, Rusia mengekspor sekitar 4,7 juta barel per hari minyak mentah ke negara-negara di seluruh dunia.

Menghitung Risiko

Biasanya membeli barang murah selalu ada sisi buruknya. Entah itu kualitas yang kurang baik, barang cacat atau apapun yang membuat nilainya berkurang. Tetapi membeli minyak murah dari Rusia risikonya bukan itu. Risiko yang harus dihadapi adalah masalah politik internasional.

Pengkajian untuk menghitung risiko memang perlu dilakukan secara cermat. Hal ini mengingat langkah membeli minyak mentah Rusia dengan harga di atas batas yang disepakati oleh negara-negara G7 dapat membuat Indonesia terkena sanksi AS.

Kita tahu bahwa situasi geopolitik dunia saat ini tengah terbelah menyusul perang Rusia dengan Ukraina. Banyak negara-negara barat yang menggembargo ekonomi Rusia. Keputusan Indonesia untuk membeli minyak dari Rusia ini jelas memiliki risiko ekonomi dari negara-negara musuh Rusia. Risiko itu adalah embargo terhadap Indonesia.

Yang perlu dicatat embargo ini dikhawatirkan bukan hanya berasal dari AS tetapi secara bersamaan sebagai sebuah solidaritas, dilakukan negara-negara sekutunya yakni NATO termasuk Eropa. Indonesia akan terkucil ketika negara-negara barat melakukan sanksi ini.

Menurut data, Indonesia sendiri merupakan mitra datang AS terbesar nomor lima di Asia Tenggara, dengan nilai US$37,02 miliar pada 2021. Terdiri dari ekspor Indonesia ke AS sebesar US$25,77 miliar dan impor Indonesia dari AS senilai US$11,25 miliar. Namun, jika dihitung nilai ekspor ke negara-negara sekutu AS tentu jumlahnya akan lebih besar lagi sehingga kalau terdampak tentu akan menjadikan masalah baru bagi perekonomian.

Mendukung Penjahat Perang

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai positif rencana pemerintah untuk membuka peluang impor minyak mentah asal Rusia dengan harga lebih rendah 30 persen dari harga di pasar internasional.

“Saya kira ini jadi peluang di tengah kenaikkan harga minyak dunia yang tinggi dan di tengah isu kenaikkan harga BBM bersubsidi. Ini bisa jadi solusi mengurangi beban APBN,” kata Mamit, baru-baru ini.

Hanya saja, rencana impor itu relatif riskan dilakukan di tengah embargo yang dilakukan oleh negara-negara blok barat. Menurut dia, manuver pemerintah itu justru dapat berdampak negatif pada perdagangan Indonesia dengan blok Barat ke depan.

“Apakah Indonesia siap ketika Barat mengembargo produk-produk Indonesia karena dianggap mendukung penjahat perang, kalau pemerintah bisa hadapi ya bagus,” tuturnya.

Yang juga harus menjadi perhatian publik adalah kekhawatiran muncunya protes negara-negara anggota G-20 yang sebagian besar adalah sekutu AS dan pro kepada Ukraina. Protes tersebut bahkan bisa merembet pada batalnya kunjungan para pemimpin negara Barat di Konferensi Tingkat Tinggi (KKT) G-20, di Bali, pada November 2022.

“Negara-negara Barat akan menganggap Indonesia berpihak terhadap Rusia, jika kita jadi membeli minyak mentah mereka,” kata Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios). Menurutnya, Indonesia akan dituduh membiayai perang Rusia ke Ukraina jika tetap membeli minyak mentah dari Rusia.

Satu lagi yang harus menjadi pertimbangan adalah AS juga menguasai teknologi pembayaran lintas negara bahkan benua yang dapat memantau transaksi perdagangan antar negara lewat pembayaran dolar AS. Ini tentu akan memunculkan kekhawatiran jika membeli minyak mentah dari Rusia mengingat setiap pengiriman dolar AS harus lewat New York.

Kalau kemudian AS dan sekutunya marah dan memberikan sanksi menghentikan SWIFT bagi Indonesia tentu dampaknya akan luar biasa bagi perekonomian nasional. SWIFT merupakan Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication. Sistem ini merupakan layanan pesan aman yang digunakan lebih dari 11.000 bank dan lembagai keuangan lainnya di seluruh dunia untuk berkomunikasi.

Dampak berpalingnya Indonesia ke Negara Beruang Merah ini dalam pembelian minyak ini memang tidak sesederhana seperti ditutupnya jejaring makanan cepat saji seperti McDonald’s atau Starbuck. Belum lagi biaya diplomatik atau biaya embargo yang harus dikeluarkan pemerintah jika sanksi AS dan sekutunya diberlakukan.

Memang pembelian minyak mentah dari Rusia tentu akan sangat menguntungkan karena akan membantu memperkecil beban subsidi energi yang sudah terlanjur lebar pada pertengahan tahun ini. Sehingga nantinya dapat ikut menekan harga BBM subsidi di tengah masyarakat.

Namun, pemerintah sadar betul bahwa mengambil minyak murah dari Rusia ini berisiko. Kita tunggu saja apakah pemerintah akan tetap nekad mengingat posisi fiskal negara yang juga tengah berada dalam posisi tidak baik-baik saja?

Masyarakat tentu tak mau kembali menjadi korban gara-gara persoalan impor minyak mentah ini yang membuat hidupnya bertambah susah.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button