Friday, 28 June 2024

Taspen Lebih Besar Pengeluaran Ketimbang Pemasukan, Nasib Duit Pensiunan di Ujung Tanduk

Taspen Lebih Besar Pengeluaran Ketimbang Pemasukan, Nasib Duit Pensiunan di Ujung Tanduk


Nasib PT Taspen (Persero) benar-benar di ujung tanduk. Beban operasional perusahaan asuransi pelat merah itu, semakin tak sehat. Lantaran pembayaran klaim lebih gede ketimbang iuran atau premi anggota.

Hal itu dikeluhkan Plt Direktur Utama Taspen, Rony Hanityo Aprianto saat rapat dengan Komisi VI DPR, Jakarta, Senin (24/6/2024). Pada 2023, iuran dari PNS dan pejabat negara yang masuk brangkas Taspen mencapai Rp8,41 triliun. Sementara pembayaran klaimnya  tembus Rp15,93 triliun.

Beban klaim yang nyaris dua kali lipat perolehan dana dari nasabah, jelas membuat Taspen sempoyongan. Untuk menambal defisit itu sangat bergantung kemampuan manajemen mengelola investasi.

“Pendapatan utama Taspen adalah iuran dan premi sebesar Rp8,41 triliun, sementara beban kita hampir dua kali lipat dari iuran dan premi. Kekurangannya ditambal dari investasi,” kata Rony.

Rony menyebutkan dana iuran atau premi yang mengalir Taspen, berasal dari pekerja dan pemberi kerja. Untuk program Tabungan Hari Tua (THT), iuran 3,25 persen, sedangkan program pensiun 4,75 persen dari gaji pokok dan tunjangan keluarga. Sementara program JKK (Jaminan Kecelakaan Kerja) dan JKm (Jaminan Kematian) dibayarkan pemerintah.

Sepanjang 2023, aset kelolaan Taspen mencapai Rp148 triliun atau naik Rp6 triliun dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan yield on investment (YOI) pada 2023 mencapai Rp8,49 triliun atau setara 7,21 persen.  Dengan laba Rp805 miliar.

Mendengar keluhan bos Taspen ini, Wakil Ketua Komisi VI DPR, Aria Bima merasa trenyuh. Karena Taspen membawa amanat dari jutaan PNS, sehingga pengelolaan dananya haruslah ekstra hati-hati.

Politikus PDIP ini, berharap, pemerintah segera melakukan pergantian direksi Taspen. Selama ini, banyak hal yang terkesan ditutupi terkait investasi dana pensiun yang dikelola Taspen.

“Berdasakan laporan Kementerian BUMN yang disampaikan ke DPR, 22 dari 48 dana pensiun BUMN memiliki Rasio Kecukupan Dana (RKD) di bawah 100 persen. Total dana yang dibutuhkan untuk menyelamatkan dana pensiun BUMN yang bermasalah ini, mencapai sekitar Rp12-13 triliun,” ungkapnya.

Dari audit, lanjut Aria, terlihat banyak dana pensiun BUMN yang imbal hasil investasinya di bawah 6 persen, bahkan beberapa diantaranya kurang dari 4 persen. Lebih besar imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN).  Misalnya, dana pensiun Pelindo mencatat imbal hasil hanya 1,9 persen.

Audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dari 7 dana pensiun BUMN seperti PTPN I, RNI, dan Kimia Farma telah diserahkan kepada Kementerian BUMN.

Temuan audit menunjukkan adanya pola-pola investasi yang dipalsukan dan disembunyikan, seperti kasus di Antam, yang membuatnya sulit dipantau baik oleh internal maupun eksternal. 
“Terlihat pola-pola seperti (kasus) PT Antam dengan investasi yang dipalsukan dan disembunyikan, sehingga sulit terpantau, baik internal maupun eksternal,” pungkas Aria.