Hangout

Tantangan Perkembangan Penyandang Disabilitas di Indonesia

Selasa, 06 Des 2022 – 16:57 WIB

Ilustrasi Disabilitas intelektual (Foto: istock)

Ilustrasi Disabilitas intelektual (Foto: istock)

Penyandang disabilitas perkembangan (persons with developmental disorders) kerap menghadapi beragam tantangan, diantaranya tingkat kualitas hidup yang kurang baik, masalah ekonomi serta rendahnya pemahaman untuk mengakses layanan Kesehatan serta fasilitas pendukung lainnya.

Orang dengan kondisi ini sebenarnya bisa mempelajari keterampilan baru, tetapi mereka mempelajarinya dengan lebih lambat, sehingga mengalami banyak kesulitan dalam bidang kehidupan tertentu, salah satunya dalam komunikasi.

Menurut Dokter Spesialis Anak, Prof. dr. Dr. Rini Sekartini, SpA(K), disabilitas perkembangan cukup sering terjadi pada anak-anak, di mana umur 5 hingga 9 tahun, terdapat 2,5 persen penyandang disabilitas. Lalu pada umur 10-14 tahun sebanyak 3,5 persen, 15 sampai 17 tahun sebanyak 4,2 persen.

Itulah mengapa orang tua perlu mengenali tanda-tanda disabilitas intelektual pada anak agar bisa segera mencari bantuan profesional untuk memberi penanganan yang tepat yang akan berpengaruh besar terhadap fungsi dan perkembangannya kelak.

Dia menyebutkan, tanda-tanda tersebut mungkin muncul selama masa bayi atau mungkin baru terlihat ketika anak mencapai usia sekolah.

“Sebenarnya, disabilitas perkembangan itu sudah bisa kita perhatikan sejak masa kehamilan, saat kelahiran hingga saat proses tumbuh kembang. Meski dari kecil hingga SMP anak punya tumbuh kembang yang baik. Tapi, saat SMA, sang anak terkena demam yang sangat tinggi hingga dapat menyebabkan kerusakan saraf otak, itu bisa saja terjadi disabilitas perkembangan. Jadi, sebagai orang tua harus selalu awas dengan segala perkembangan anak,” jelas Dr. Rini di Daewoong Media Day Q4 2022, Selasa (6/12/2022).

Akibat dari kesulitan berkomunikasi yang dialami oleh penderita disabilitas perkembangan, menjadikan mereka seringkali tidak dapat mengungkapkan gejala penyakitnya dengan baik kepada dokter atau apoteker, sehingga menyulitkan mereka untuk menerima diagnosis dan pengobatan yang tepat.

Hal ini kian diperkuat dengan data Jaringan Organisasi Penyandang Disabilitas (DPO), bahwa sekitar 42 persen penyandang disabilitas kesulitan menggunakan layanan medis selama pandemi COVID-19 di Indonesia.

“Kadang orang tua saja kebingungan. Apalagi kita sebagai nakes, sulit sekali untuk menangkap ekspresi sang anak. Sehingga, dibutuhkan alat yang secara mudah dapat dipahami oleh penyandang disabilitas perkembangan melalui gambar dan kata-kata yang sederhana. Karena, untuk menunjuk lokasi sakitnya pun mereka tidak bisa,” ungkap Dr. Rini.

Sehingga, diperlukan terapi dan strategi khusus untuk memicu perkembangan keterampilan komunikasi penyandang disabilitas tersebut. Salah satunya dengan menggunakan buku komunikasi berbasis Augmentative and Alternative Communication (AAC) atau komunikasi alternatif.

“AAC adalah istilah umum yang mencakup metode komunikasi yang digunakan untuk melengkapi atau menggantikan ucapan atau tulisan bagi mereka yang kesulitan dalam produksi bahasa lisan atau tulisan,” ujar Perwakilan Daewoong Pharmaceutical Headquarter, Holim Bridgitta Destalistica.

Dirinya mengungkapkan, penggunaan buku bergambar yang terdiri dari kata-kata dan gambar diharapkan dapat membantu penyandang disabilitas perkembangan supaya mudah mengungkapkan gejala penyakit dan bisa menerima layanan medis dengan tepat tanpa harus salah diagnosis.

“Dalam buku yang akan didistribusikan secara bebas dan dapat diunduh dan diakses secara online. Saat ini kami mengembangkan AAC berupa booklet yang berisi gambar. Nantinya, mereka bisa menunjuk soal apa sakit yang dirasakan, seberapa sakit dan lokasi sakit itu. Semoga kedepannya, kita bisa mendistribusikannya hingga ke seluruh wilayah Indonesia,” harap Bridgitta.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button