Kanal

Solusi Dua Negara: Si Zilot Israel Setapak Menyerah?

Yang secara aktif mencoba mencari jalan damai bagi hubungan Palestina-Israel itu adalah Presiden Soeharto. “Pak Harto pada 1993 mengundang (pemimpin PLO) Yaser Arafat ke Jakarta. Dua bulan kemudian, beliau mengundang Perdana Menteri (Israel) Yitzhak Rabin,” kata tokoh mediator perdamaian di banyak konflik, Jusuf  Kalla, dalam sebuah diskusi di Universitas Indonesia, Depok, Agustus lalu. “Arafat diterima di istana, tapi Rabin diterima di Cendana (kediaman pribadi).”

Apa yang membuat negara Zilot,—kata dari Injil untuk menggambarkan sikap adigung, keras kepala, fanatik dan militan– Israel, bersedia mendukung solusi dua negara dengan Palestina? Barangkali jawabannya bukan datang dari ranah politik, melainkan pada teori hirarki kebutuhan dari Abraham Maslow. Boleh saja seseorang kaya, kuat hingga membuatnya adigang adigung adiguna. Tanpa diakui beradaannya, tidak diacuhkan dunia sampai nyaris seabad umurnya, yang ada mungkin ibarat lontaran ahli ‘kelirumologi’ Vicky Prasetyo sekian tahun lalu,”Perih, tahu!”

Kesediaan Israel tersebut tak hanya sangat serius karena dilontarkan di forum sangat resmi, melainkan juga disaksikan miliaran mata-telinga warga dunia. Dalam pidato di Majelis Umum PBB—forum paling suci badan dunia itu– Kamis (22/9), Perdana Menteri Israel, Yair Lapid, menjanjikan dukungan bagi solusi dua negara sebagai solusi konflik lumutan antara Israel dan Palestina.

Lapid berkata, pembentukan negara Palestina, bersama Israel, adalah solusi yang tepat untuk konflik berdarah yang panjang selama ini. Namun tentu, terlalu mewah dan mimpi bila meyakini semua itu datang dari sikap tepa selira terhadap nasib bangsa Palestina. “Kesepakatan dengan Palestina, berdasarkan dua negara untuk dua bangsa, adalah hal yang tepat untuk keamanan Israel, untuk ekonomi Israel dan untuk masa depan anak-anak kita,”kata Perdana Menteri Lapid, menerangkan raison d’etre sikap negaranya itu.

Bagi Indonesia, ada yang khusus dalam pidato itu. Tatkala Lapid menyerukan agar negara-negara lain mengikuti Uni Emirat Arab dan Bahrain yang setuju untuk menormalkan hubungan dengan Israel, ia menyebut Indonesia. “Israel mencari perdamaian dengan tetangga kami… Kami menyerukan kepada setiap negara Muslim — dari Arab Saudi hingga Indonesia — untuk mengakui itu, dan datang untuk berbicara dengan kami. Tangan kami terulur untuk perdamaian.” Kita tahu, bahkan Arab Saudi pun sudah siap membuka pintu, mengembangkan tangan terbuka buat negara zionis itu. Jadi, seruan itu jelas wabil khusus buat Indonesia.

Lapid bukan pertama kalinya menyebut Indonesia dalam konteks hubungan diplomatic. Akhir Januari 2022, saat dirinya masih menteri luar negeri, Lapid pernah menyatakan bahwa Israel sangat menginginkan adanya hubungan diplomatic dengan dua negara Muslim, Arab Saudi dan Indonesia. Saudi merupakan kiblat negara-negara Muslim, sementara Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.

Sebetulnya, usulan dua negara ini bukan yang pertama datang dari para elit Israel. Pada 2009 lalu, saat dirinya perdana Menteri, Benjamin Netanyahu pernah pula menjanjikan dukungan untuk solusi dua negara berdasarkan kompromi teritorial itu. Namun, laiknya politisi lambe mencong, selama kampanye pemilihannya kembali, Bibi justru bahkan menolak gagasan negara Palestina agar dirinya terpilih dan duduk lagi di kursi perdana menteri. Putaran terakhir pembicaraan damai antara Israel dan Palestina terjadi pada 2014, sebelum akhirnya yang ada di depan keduanya hanya jalan buntu.

Berubahnya sikap Israel juga tampaknya tidak lepas dari kondisi yang tengah menimpa Amerika Serikat, induk semang yang selalu membelanya selama ini. Sebagaimana kita tahu, tak hanya manakala AS dipimpin para presiden asal Partai Republik yang rata-rata hawkish, di bawah Obama yang Demokrat pun AS tetaplah pelindung Israel. Apalagi manakala tokoh gendeng semacam Trump memerintah. Hawkish sendiri adalah karakter di mana kekerasan dan agresivitas menjadi sikap utama dalam mencapai tujuan politik. Contohnya manakala AS di era George W Bush, saat peran kaum hawkish begitu dominan. Saat itu mereka menguasai peme-rintah, menggagas pemikiran dan strategi NGO, membentuk opini global via berbagai media dan seterusnya. Yang menakjubkan, energi luar biasa dari kelompok ini terlihat dilakukan demi pengabdian dan pelayanan terhadap Yahudi serta membela negara Israel.

Semua serta-merta berubah manakala Joe Biden terpilih berkantor di Gedung Putih, akhir 2020. AS tampak tak lagi (terlalu) menganakemaskan Israel. Sikap AS itu bisa dirunut tidak hanya pada hari-hari awal terpilihnya Joe Biden. Saat itu pengamat politik luar negeri dan mantan duta besar Indonesia untuk AS, Dino Patti Djalal, dengan tegas mengatakan, dirinya melihat aka nada perubahan sikap AS ke Israel, seiring sikap Joe Biden yang tidak ingin melihat negaranya dipandang dunia sebagai ‘pesuruh’ Israel, laiknya pemerintahan Donal Trump.

“Joe Biden akan berubah. AS tidak mau berada di bawah ketiak Israel,”kata Dino, saat itu. Apalagi Martin Indyk, mantan negosiator perdamaian AS selama pemerintahan Clinton dan Obama serta mantan dubes AS untuk Israel, saat itu mengatakan bahwa konflik Israel-Palestina tidak lagi menjadi “kepentingan nasional yang vital” bagi Washington.

Sikap Biden sendiri bisa di-trace ke tahun 2010. Pada kunjungannya sebagai wakil presiden ke Israel pada 2010, Biden terkejut ketika Israel mengumumkan rencana untuk membangun ratusan rumah baru di pemukiman Yahudi yang kian luas di Yerusalem timur. Insiden itu membuat malu Biden dan memicu keretakan diplomatik Israel dengan pemerintahan Obama. Biden, secara terbuka menentang proyek tersebut.

Letoynya perekonomian dunia juga memperburuk hubungan AS-Israel. Secara ekonomi, terutama dalam hal anggaran militer dan sisi perdagangan, Israel banyak ditopang AS. Dengan kondisi perekonomian AS yang tidak sesehat dulu ditambah segala persoalan di masa lalu, terlalu mewah bagi Israel untuk mendapatkan service dari AS senikmat dulu-dulu.

Peran potensial Indonesia

Sejatinya, dengan usulan Israel tentang dua negara tersebut, peluang Indonesia untuk mengambil peran aktif dalam “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” sebagaimana Pembukaan UUD 1945, terbuka lebar. Selain amanat konstitusi, sokongan Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan, dalam hal ini bangsa Palestina, juga menjadi amanat Dasa Sila Bandung sebagai hasil Konferensi Asia-Afrika pada 1955.

Sudah begitu, jangan salah, solusi dua negara bagi Israel dan Palestina itu pun sejatinya merupakan ide Indonesia yang selama bertahun-tahun ini menjadi sikap dan usulan Indonesia di berbagai forum dunia. Tidak hanya di PBB, bahkan di  ASEAN dan berbagai forum dunia lainnya.

Indonesia juga bukan tidak konsisten dengan sikap tersebut. Meski barangkali peran aktif Indonesia itu dalam satu dekade terakhir laiknya tagline iklan mobil Isuzu Panther tahun 1990-an, “nyaris tak terdengar”, sampai hari ini pemerintahan Jokowi dalam Nawacita tetap menolak hegemoni Israel dan mendukung negara Palestina.

Yang secara aktif mencoba mencari jalan damai bagi hubungan Palestina-Israel itu adalah Presiden Soeharto. “Pak Harto pada 1993 mengundang (pemimpin PLO) Yaser Arafat ke Jakarta. Dua bulan kemudian, beliau mengundang Perdana Menteri (Israel) Yitzhak Rabin,” kata tokoh mediator perdamaian di banyak konflik, Jusuf  Kalla, dalam sebuah diskusi di Universitas Indonesia, Depok, Agustus lalu. “Arafat diterima di istana, tapi Rabin diterima di Cendana (kediaman pribadi).”

Kita tahu, tak banyak hasil yang didapat dari upaya hampir tiga dekade lalu itu. Tetapi itu menjelaskan bahwa Indonesia memang berperan aktif, memenuhi kewajiban dan komitmennya untuk menghidupkan perdamaian dunia.

Kini, di saat kedua bangsa yang bertikai itu terlihat sangat kelelahan, barangkali inilah saat wis wayahe itu. Saat di mana Israel sudah kecapekan membunuh manusia-manusia tak berdosa, kakek renta, nenek tua, para bayi dan anak-anak balita. Bahkan kita tahu, pada 2003 lalu kaum zionis ini membantai seorang gadis muda Amerika, Rachel Corrie, dengan melindasnya dengan buldoser sampai mati. Lihat, betapa berani Israel, karena pemerintah AS pun saat itu benar-benar berada di balik ketiak mereka.

Saat ini, belum tentu juga masih ada cukup asa di pihak Palestina, kecuali mungkin yang ada di barisan Hamas-nya. Kita tahu, kelompok Fatah yang menjadi pihak dominan di Otoritas Palestina, bahkan tak sungkan menyapu Hamas, saudara-saudara mereka sendiri untuk kepentingan pragmatis.

Mungkin, ini waktunya Indonesia lebih percaya diri maju ke tengah panggung dunia, mencoba membereskan segala urusan degilnya. Apalagi, saat ini kita pun konon sudah jadi negara maju, yang ditandai dengan keanggotaan di G20. Untuk berbuat, apa lagi yang masih ditunggu? [dsy]

Darmawan Sepriyossa

Back to top button