News

Sistem Proporsional Terkonsentrasi di Jawa, Ini Opsi Lain dari Sistem Pemilu

Shugart dan Wattenberg menyebut sistem pemilu campuran sebagai the best of both worlds

259 hari menjelang pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) pada 14 Februari 2024, peta perpolitikan nasional tidak hanya disibukan oleh Capres dan Cawaspres, namun juga oleh Undang-undang (UU) sistem pemilihan proporsional terbuka yang hendak diujimaterikan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Memang konsekuensi dari negara dengan sistem pemerintahan demokrasi adalah dengan diadakannya penyelenggaraan Pemillu dan instrument yang dipakai dalam tahap pemungutan suara di Indonesia, yakni sistem proporsional,  di mana satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil.

Pada sistem ini, juga dimungkinkan penggabungan partai atau koalisi untuk memperoleh kursi. Sistem proporsional disebut juga sistem perwakilan berimbang atau multi member constituenty.

Terdapat dua varian di dalam sistem proporsional, yakni terbuka dan tertutup. Sistem proporsional terbuka, seperti yang saat ini masih berlaku di Indonesia, adalah sistem pemilu di mana pemilik hak suara memilih langsung wakil-wakil legislatifnya. Sedangkan dalam sistem proporsional tertutup, pemilik suara hanya memilih partai politiknya saja.

Hal inilah yang kemudian diperdebatkan banyak pihak, utamanya para partai politik peserta pemilu. Padahal, pilihannya bukan hanya sistem itu saja. (baca: Tanpa PDIP, 8 Parpol Parlemen Kembali Dorong Proporsional Terbuka).

Pemilu 2024
Ilustrasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. (Foto: Antara)

Andrew Reynolds dalam buku Electoral System Design, mengklasifikasi sistem pemilu selain Proporsional. Pertama sistem distrik dan kedua sistem campuran.

Sistem mayoritas

Sistem Plurality/Majority System (Sistem Pluralitas/Mayoritas), atau disebut juga sistem distrik. Sistem pemilu distrik adalah sistem pemilu berdasarkan lokasi daerah pemilihan, bukan berdasarkan jumlah penduduk. Dalam sistem ini, wilayah negara dibagi ke dalam beberapa distrik pemilihan, yang biasanya berdasar atas jumlah penduduk.

Setiap distrik diwakili oleh satu orang wakil, kecuali pada varian Block Vote dan Party Block Vote, dimana kandidat yang memiliki suara terbanyak akan mengambil seluruh suara yang diperolehnya.

Varian dari sistem ini adalah First Past the Post, Alternative Vote, Two Round System dan Block Vote.

Sederhananya, pada sistem ini, kandidat yang memperoleh suara terbanyak akan mengambil seluruh suara yang didapat tanpa memperhitungkan selisih perolehan suara. Sistem yang diadopsi banyak negara ini, adalah cara paling sederhana untuk menentukan hasil Pemilu.

Untuk menang, seorang kandidat hanya perlu mendapatkan lebih banyak suara daripada lawannya. Semakin banyak kandidat yang bersaing memperebutkan kursi, besar kemungkinan kandidat yang menang hanya akan menerima sedikit suara.

“Sistem distrik ini lazim digunakan di Amerika, Inggris, dan India,” ujar Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah Castro, ketika berbincang dengan Inilah.com,  Selasa (30/5/2023).

Mantan Ketua Mahakamah Konstitusi (MK) yang kini menjabat Menkopolhukam, Mahfud MD dalam buku berjudul Politik hukum di Indonesia menguraikan beberapa kelebihan dan kekurangan dalam sistem ini.

Kelebihan:

  1. Hubungan wakil dengan penduduk distrik lebih erat karena kecilnya, distrik,
  2. Calon biasanya sangat dikenal di distriknya,
  3. Lebih mendorong terjadinya integrasi, partai-partai biasanya bergabung dengan partai utama,
  4. Lebih menjamin stabilitas pemerintahan karena tidak terlalu banyak partai,
  5. Bersifat sederhana dan mudah untuk dilaksanakan.
Mahfud Md Soal Korupsi Bts - inilah.com
Menko Polhukam Mahfud MD. (Dok. Kemenko Polhukam).

Kelemahan:

  1. Kurang memperhitungkan adanya partai-partai kecil dan golongan minoritas, lebih-lebih jika gabungan partai kecil ini terpencar dalam berbagai distrik,
  2. Kurang representative dalam arti bahwa yang kalah dalam satu distrik akan kehilangan atas semua suaranya yang diperoleh, karena suara itu tidak dihitung lagi untuk keperluan pengisian kursi,

Direktur Lokataru, Haris Azhar, ketika berbincang dengan Inilah.com, Rabu (31/5/2023), mengatakan bahwa pengadopsian sistem ini harus menjadi bagian dari pelaksanaan pemilu Indonesia ke-depan. Sebab menurut dia, sistem yang ada saat ini membuat keterwakilan suara hanya terkonsentrasi di pulau jawa saja.

“Supaya diskusinya (tidak hanya) bagaimana memenangkan pulau Jawa saja, ini kan tidak adil,” kata dia.

Menurutnya, hanya gara-gara kesalahan program pembangunan selama puluhan tahun, terjadi penumpukan penduduk di pulau Jawa, hal ini yang kemudian  berefek energi dan fokus kampanye hanya difokuskan di pulau Jawa.  Seolah-olah, sambung dia, Indonesia hanya sebatas pulau jawa saja.

Haris Azhar 1 - inilah.com
Haris Azhar (foto istimewa)

“Harus ada kalkulasi, selain memenangkan jumlah suara harus juga memenangkan jumlah provinsi. Jadi meskipun Papua penduduknya hanya 4,5 Juta kurang lebih, harusnya dia bermakna. Bukan bermakna Jumlah penduduknya tapi bermakna kemenangan di provinsi itu dapat dikalkulasikan,” kata dia.

“Jadi tidak hanya menang berdasarkan jumlah penduduk. Anda boleh memang 50+1, tapi 50+1 itu paling tidak setengah juga atau hitungan tertentu jumlah Provinsi. Anda juga harus menang di sejumlah provinsi,” kata Haris Azhar.

Soal apakah sistem ini bisa diterapkan di Indonesia, akan tergantung pada kebijakan para pembuat UU, dalam hal ini anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

“Kan ini masalahnya, dimana MK yang hendak memutuskan pilihan sistemnya. Harusnya kewenangan itu ada di pembentuk UU,” kata Herdiansyah Hamzah.

Sistem campuran

Mengutip dari situs KPU, dijelaskan bahwa sistem ini merupakan perpaduan penerapan antara sistem distrik dan sistem proposional. Sistem ini, pada dasarnya adalah memilih anggota parlemen dimana sebagian dipilih melalui sistem proporsional dan sebagian dipilih melalui sistem distrik. Sistem ini juga menggabungkan kelebihan dari dua sistem sekaligus, dimana mendorong kebaikan dari sistem proporsional dan di sisi lain juga akan menerapkan tingkat kebaikan dari sistem distrik.

Selain itu, sistem ini akan memaksa setiap partai politik untuk mencari strategi pemenangan di dua ruang sekaligus (proporsional dan mayoritarian/distrik) dengan calon legislatif yang terbatas. Dengan demikian, partai tidak lagi sembarangan mencalonkan orangnya di setiap daerah pemilihan. Sistem ini secara alamiah akan mengeliminasi pencalonan orang di dapil, di mana orang tersebut tidak tinggal atau tidak cukup dikenal. Prinsipnya hampir sama bahwa sistem proporsional tertutup digunakan bersama-sama dengan sistem mayoritarian.

Varian dari sistem ini adalah mixed member majoritarian (MMM)  dan Mix member proportional (MMP).  Sistem MMM, diadopsi oleh negara Taiwan, Lituania dan Rusia.  Sementara sistem MMP  berlaku di Jerman, Selandia Baru, Bolivia, Italia, Venezuela, dan Hongaria.

Sistem proporsional - inilah.com
Pengamat politik Ujang Komarudin (Foto: Inilah.com/Diana Rizky)

“Jerman mengunakan sistem campuran, itu tertutup digunakan dan terbuka digunakan. Tentu dengan sistem yang sudah Settle, bagus, baik,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin, ketika berbincang dengan Inilah.com, Selasa (30/5/2023).

Sebagai catatan, Peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI, Moch. Nurhasim, dalam jurnal berjudul Fisibilitas Sistem Pemilu Campuran: Upaya Memperkuat Sistem Presidensial di Indonesia, sempat melakukan penelitian bahwa sistem pemilu campuran cocok diterapkan di Indonesia. Kecocokan ini, ditelaah dari beberapa aspek.

  1. Mudah diterapkan di Indonesia,
  2. Mampu membenahi kelemahan utama sistem proporsional secara alamiah,
  3. Dapat mencapai tujuan dari rekayasa sistem pemilu, khususnya menciptakan partai mayoritas minimal di parlemen,
  4. Memperbaiki akuntabilitas anggota parlemen kepada konstituennya.

“Tentunya kita harus pelajari betul sistem yang diluar itu. Tidak selalu sistem diluar itu sesuai dengan kondisi kita,” ujar Anggota komisi II DPR RI Fraksi PAN, Guspardi Daus, ketika berbincang dengan Inilah.com, Rabu (31/5/2023).

Prosesnya pun menurut Guspardi tidak akan berlangsung cepat, dimana memerlukan kajian soal keuntungan dan kerugian penerapan sistem campuran jika diterapkan di Indonesia.

Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus. Foto: dpr.go.id
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PAN Guspardi Gaus. (Foto: dpr.go.id)

“Ini tidak hanya kepentingan partai politik, bagaimana kesiapan KPU,  dan juga masyarakat dalam menyikapi perubahan itu. Jadi perubahan itu tidak lah sebuah sederhana tetapi memang dilakukan kajian mendalam secara struktur, masif, dan komprehensif  sehingga jangan ada menimbulkan sesuatu kegaduhan ini perlu juga dipikirkan,” kata dia, seraya menggaris bawahi kalau DPR tidak bersikap acuh dalam perubahan sistem pemilu di Indonesia.

Sistem proporsional terbuka terbatas

Diluar dari sistem yang dikemukakan Andrew Reynolds, terdapat ide penerapan sistem proporsional terbuka terbatas. Ide ini, kembali digaungkan oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti.

Muhammadiyah Pemilu - inilah.com
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti (Foto: Inilah.com/Harris Muda)

Ia mengatakan, dari hasil Muktamar Muhammadiyah ke-48 tahun 2022, menetapkan dua hal, kembali ke sistem proporsional tertutup, atau terbuka terbatas. (baca: Muhammadiyah Usulkan Dua Alternatif Sistem Pemilu Atasi Kanibalisme Politik).

Munculnya ide sistem proporsional terbuka terbatas ini, disebabkan Muhammadiyah merasa sistem yang berlangsung saat ini sarat masalah, salah satu contohnya yakni melahirkan calon anggota legislatif yang tidak kredibel. (baca: Muhammadiyah Suarakan Reformasi Sistem Pemilu).

Sistem proporsional terbuka terbatas didefinisikan sebagai sistem pemilu yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon yang terbuka, dan daftar nomor urut calon yang terikat berdasarkan penetapan partai politik.

Lebih jauh ia mengemukakan kalau ide soal sistem ini, berdasarkan kajian Muhammadiyah terhadap sistem proporsional tertutup yang dilakukan pada 2014 lalu. Konsep sistem proporsional terbuka terbatas utamanya ada pada pengkajian BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) atau harga kursi.

Ia menjelaskan, hitungan BPP adalah membagi jumlah suara sah di dapil dengan alokasi kursi di dapil tersebut. Sehingga nantinya, pemilih dalam pemilu diberikan dua pilihan, yakni mencoblos sosok caleg atau mencoblos parpol.

“Dengan sistem proporsional terbuka terbatas itu, suara pemilih masih terakomodasi, dan masih ada peluang bagi calon legislatif untuk dapat memiliki kesempatan terpilih tidak di nomor urut yang teratas,” ujar dia, dikutip, Jumat (2/6/2023).

Sebagai catatan, sistem proporsional terbuka terbatas sebelumnya pernah diusulkan saat DPR merevisi Undang-Undang Pemilu pada 2017 lalu. Kendati demikian, usulan ini batal diakomodir. (baca: Adu Taktik Antar-Parpol dan Pemerintah). (Nebby/Rizky)

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button