News

Sistem Perwakilan Indonesia Hampir Bikameral, DPD Antara Ada dan Tiada

Sabtu, 17 Des 2022 – 21:04 WIB

Ramlan Subakti - inilah.com

Mungkin anda suka

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Ramlan Subakti menyebut sistem perwakilan politik di Indonesia hampir bikameral atau sistem parlemen dua kamar, Sabtu (17/12/2022). (Foto: Fisip Unair)

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Ramlan Subakti menyebut sistem perwakilan politik di Indonesia hampir bikameral atau sistem parlemen dua kamar.

Hal ini dilihat dari keberadaan Dewan Perwakilan Daerah atau DPD yang memiliki kewenangan legislasi namun terbatas. Ia menilai, semestinya Indonesia meniru negara-negara Britania Raya, yang benar-benar menerapkan sistem parlemen dua pintu secara maksimal. Dengan demikian, peran DPD bisa lebih mengigit.

“Mengapa saya menyebut sistem perwakilan politik kita almost bikameral, pertama karena DPD itu dipilih melalui pemilu. Kedua dia punya kewenangan legislasi, tapi terbatas,” terang Ramlan dalam diskusi MIPI, Sabtu (17/12/2022).

Di mata Ramlan, saat ini DPD keadaannya seperti antara ada dan tiada, seakan punya hak suara tapi tidak memiliki hak bersuara karena adanya batasan.

“DPD ini kan punya hak bicara tapi tidak punya hak suara, mau ngomong apa silakan saja, tapi kalau soal keputusan, itu urusan DPR dengan presiden. Jadi punya kewenangan legislasi tapi terbatas,” lanjut dia.

Lebih lanjut dikatakan, pada praktiknya memang DPD bisa mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berkaitan dengan daerah, kemudian membahasnya, serta bisa melakukan pengawasan terhadap UU dari RUU tersebut.

Tapi pada prosesnya, tetap saja RUU yang diusulkan dan dibahas oleh DPD ujungnya harus diserahkan ke DPR, dan kembali dibahas DPR bersama pemerintah.

“Dan sampai sekarang sepengetahuan saya, mungkin saya keliru, itu misalnya pembahasan RUU, itu tidak pernah dibahas bersama antara pansus DPR dengan DPD, DPD menyampaikan masukan saja begitu,” ujarnya.

Seharusnya peranan DPD diperkuat, mengingat sejarah dihadirkannya DPD ini, berlandasakan adanya protes akibat perlakuan tidak adil pemerintah pusat di masa lalu.

Ramlan mengaku tahu persis perjalanan lahirnya DPD, sebab dirinya terlibat sebagai anggota tim ahli panitia ad hoc I MPR, yang turut menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945.

Saat bertugas kala itu, ia mendapat beragam masukan dari masyarakat di sejumlah daerah. Masukannya, tutur dia, memang terdengar lucu tetapi memiliki makna yang serius.

“Orang dari Maluku bilang ikan di laut pantai itu harus punya wakil di Senayan. Orang Papua bilang tembaga emas itu harus punya wakil di Senayan, Kalimantan mengatakan tambang minyak harus punya wakil di Senayan. Nah orang dari Sumatra Utara bilang minyak di atas tanah (kelapa sawit) harus punya wakil di Senayan,” pungkasnya.

Back to top button