News

Sistem Pemilu Tertutup atau Terbuka, Siapa yang Untung dan Buntung?

Beberapa hari lalu, delapan partai politik (parpol) di Parlemen Senayan, yakni Golkar, Gerindra, NasDem, PAN, PPP, PKS, PKB, dan Demokrat kembali mendorong Mahkamah Konstitusi (MK) agar tetap menerapkan sistem Pemilihan Umum (Pemilu) proporsional terbuka.

Dorongan tersebut disampaikan sehubungan MK yang akan memutus gugatan Undang-Undang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang sudah bergulir lebih dari enam bulan. MK sendiri didesak untuk segera memutus gugatan tersebut. Diharapkan kepastian soal sistem pemilu bisa diputuskan sebelum tanggal 26 Juni 2023 agar tidak mengganggu tahapan pemilu yang sedang berjalan.

MK dalam putusan Nomor 22-23/PUU-VI/2008 telah menetapkan sistem pemilu proporsional daftar terbuka berdasarkan suara terbanyak. Hal itu mengabulkan gugatan atas pasal 214 (a, b, c, d) UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang memakai sistem proporsional daftar tertutup.

Putusan MK tahun 2008 itu menjadi sorotan kalangan DPR di antaranya anggota Komisi VIII DPR Yandri Susanto. Politikus PAN yang juga menjabat Wakil Ketua MPR itu berharap para hakim MK bisa bersikap negarawan ketika memutuskan gugatan sistem pemilu.

Yandri menyebut MK sebenarnya sudah membuat putusan pada 2008 soal sistem pemilu agar berjalan secara proporsional terbuka. “Jadi, kalau sampai MK memutuskan hal yang berbeda dengan putusan yang 2008, artinya MK sedang bermain dua kaki,” ujar Yandri dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Rabu (31/5/2023).

Yandri sebagai salah satu perwakilan dari Fraksi PAN bersama perwakilan dari Fraksi Golkar, Gerindra, PKB, PPP, PKS, NasDem, dan Demokrat menginginkan sistem Pemilu 2024 yang tengah digugat di MK, tetap berjalan secara proporsional terbuka.

Anggota Komisi III DPR Habiburokhman menyebut jika MK memutuskan mengubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup maka berpotensi akan menjadi masalah dan kekacauan politik. Politisi dari Partai Gerindra mengkhawatirkan terjadi kekacauan politik. “baik itu di tingkat pusat, provinsi, atau kabupaten/kota,” ungkap Habiburokhman di Jakarta, Selasa (30/5/2023).

Serupa dengan Habiburokhman, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia juga mengungkapkan jika MK memutuskan mengubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup alias coblos partai di Pemilu 2024, maka kemungkinan terjadi situasi politik yang tak kondusif seperti yang ditakuti oleh Presiden RI Ke-VI sekaligus Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

“Kalau Pak SBY kan katanya chaos, ya bisa jadi gitu. Tapi paling tidak kalaupun tidak terjadi chaos, energi yang selama ini sudah kita buang selama 11 bulan ini itu akan wasting akan sia-sia,” ujar Doli di Jakarta, Senin (29/5/2023), saat merespons pernyataan Denny Indrayana yang mengaku mendapat bocoran kalau MK akan mengabulkan gugatan tersebut.

Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Kahar Muzakir saat memimpin konferensi pers sikap delapan parpol di Kompleks Parlemen, Selasa (30/5/2023), menegaskan sistem terbuka sudah berlalu sejak lama dan kemudian kalau itu mau diubah sekarang proses pemilu sudah berjalan. “Kita sudah menyampaikan DCS (Daftar Calon Sementara) kepada KPU,” kata Kahar.

Kata dia, perubahan sistem pemilu akan berpengaruh terhadap caleg yang saat ini sudah didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Setidaknya ada sekitar 300.000 caleg yang nantinya akan terdampak dengan perubahan sistem pemilu oleh MK nanti.

Sebab jika MK memutuskan sistem proporsional tertutup, maka para caleg ini akan kehilangan hak konstitusionalnya. Bahkan para caleg ini akan mengalami kerugian materiil dan menuntut ganti rugi atas hal tersebut.

“Kepada siapa ganti ruginya yang mereka minta? Ya bagi yang memutuskan sistem tertutup. Bayangkan kalau 300 ribu orang itu minta ganti rugi dan dia berbondong-bondong datang ke MK agak gawat juga MK itu.”

Tak hanya itu, ia juga menekankan bahwa domain Undang-Undang (UU) Pemilu adalah pada pembuat UU, yakni DPR. “Normanya adalah DPR itu dipilih oleh rakyat, tidak dipilih oleh partai. Jadi sebetulnya domain UU pemilu itu bukan di MK, pembuat UU, karena dia bukan norma,” tutur dia. “Dia adalah sistem bisa berubah tergantung kesepakatan pemerintah dengan DPR selaku pembuat UU,” ucap Kahar menambahkan.

Siapa diuntungkan dan dirugikan

Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad menyebut sistem pemilu proporsional tertutup akan lebih banyak menguntungkan elite utama partai karena kekuasannya akan menjadi sangat besar. Sistem ini juga akan menguntungkan oligarki dan orang-orang kaya yang bisa membeli nomor urut atas dalam penentuan calon legislatif partai.

“Sistem tertutup lebih menguntungkan oligarki karena mereka bisa menggunakan kekuatan finansialnya untuk menekan elit partai memberinya nomor kursi atas,” kata Saidiman kepada Inilah.com di Jakarta, Jumat (2/6/2023).

Saidiman memcermati sistem proporsional terbuka akan lebih banyak memberi manfaat untuk penguatan demokrasi karena rakyat terlibat langsung dalam penentuan anggota DPR. Sistem ini juga bisa mengurangi kekuasaan ketua partai dalam menentukan siapa yang akan duduk di DPR. Dengan demikian, demokratisasi internal partai lebih mungkin terjadi pada sistem proporsional terbuka dibanding tertutup.

Peneliti Senior Trust Indonesia Research & Consulting Ahmad Fadhli menilai sistem pemilu terbuka atau tertutup sama-sama konstitusional tergantung si pembuat undang-undang (UU) atau open legal policy.

Menurut Fadhli, yang inkonstitusional itu karena tidak memberikan kepastian hukum yang adil ketika sistem proporsional terbuka atau tertutup dicampur baur antara terbuka dan tertutup. Jadi, dalam pandangan dia, sebenarnya tidak ada masalah, mau proporsional terbuka atau tertutup itu sama-sama legal.

“Karena kita sama-sama tahu bahwa kedua sistem ini sudah pernah kita pakai di Indonesia dan sudah pernah kita rasakan bagaimana manfaatnya. Jadi justru yang inkonstitusional itu kalau diulur-ulur dan tidak memberikan kepastian hukum,” ujar Fadhli kepada Inilah.com di Jakarta, Jumat (2/6/2023).

Gagasan penggunaan sistem proporsional tertutup akhir-akhir ini memang kembali mengemuka setelah penggunaan sistem proporsional terbuka yang sudah diterapkan pada empat kali pemilu terakhir.

“Nah ini alasan mengemuka tersebut terkait dengan yang pertama biaya politik yang cukup tinggi, ini kita sama-sama sepakat ya. Kemudian liberalisasi politik, jadi sangat liberal sekali politik kita hari ini, karena yang memiliki uanglah dia yang menang,” kata Fadhli.

Kemudian terkait dengan money politic, sambung Direktur Riset Trus Indonesia ini, sangat marak politik uang. Fadhli menilai sebenarnya baik itu proporsional terbuka atau tertutup keduanya memiliki plus minus. Adapun kalau mau melihat sedikit akar historis Indonesia, sebenarnya sistem proporsional tertutup sudah pernah diterapkan pertama kali di Indonesia, yaitu pada Pemilu 1955.

Selanjutnya sistem proporsional tertutup juga diterapkan selama Orde Baru dan sampai pemilu pertama pasca-Reformasi tahun 1999. Kemudian setelah itu baru menggunakan sistem proporsional terbuka sejak 2009-2019. Sedangkan untuk di Pemilu 2024 ini belum pasti.

“Kalau kita lihat di parlemen yang mengusulkan untuk mengubah dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup hanya PDIP. Sebenarnya kalau kita hitung-hitung secara matematis dan secara politis, sebenarnya sistem proporsional terbuka itu merugikan sistem demokrasi kita dibanding dengan sistem proporsional tertutup,” ungkap Fadhli.

Namun, lanjut dia, karena yang menginginkan proporsional tertutup di parlemen hanya Fraksi PDIP sendiri, maka menjadi bumerang dan tidak menjadi sebuah sesuatu ide yang bagus lantaran hanya disampaikan oleh PDIP.

“Nah ini kesalahannya sebenarnya. Kalau seandainya PDIP menyampaikan ini dengan melakukan lobi-lobi ke beberapa partai, mungkin saja tidak ada seribut seperti ini. Masyarakat, publik merasa curiga karena PDIP sebagai partai penguasa hari ini yang memenangi pemilu legislatif dan memenangi pemilihan presiden yang lalu.”

Menyangkut apa keuntungan menggunakan sistem tertutup ataupun terbuka, menurut Fadhli kalau masih tetap menggunakan sistem proporsional terbuka seperti hari ini, maka yang akan didapatkan oleh masyarakat adalah kualitas dari caleg-caleg atau yang ada dalam kurang lebih kurun 10 tahun terakhir ini kualitasnya.

Jadi, caleg yang memiliki uang yang paling banyak maka dia lah yang akan menjadi pemenang dalam pileg. Artinya, uang yang berkuasa. Kemudian setiap caleg atau setiap orang itu dengan mudahnya untuk keluar dan masuk ke dalam parpol. Jadi parpol itu ibarat lapangan sepak bola yang setiap orang bebas keluar masuk atau caleg-caleg menganggap itu sebagai open access, bebas keluar masuk.

Apalagi kalau caleg atau orang tersebut memiliki uang sehingga dia bisa mendapatkan nomor urut yang paling atas. Kemudian, dengan sistem proporsional terbuka sebenarnya membuat kewenangan dari parpol itu sendiri menjadi kerdil. “Kenapa? Karena dia tidak mampu untuk mengatur caleg-caleg yang berduit tersebut, gitu kan,” ucap Fadhli.

Bahkan caleg-caleg yang berduit tersebut bisa langsung menjadi pucuk pimpinan di parpol tersebut karena dia memiliki kekuatan uang. “Jadi tanpa ada basis kaderisasi sebelumnya, ini yang ditakuti dari sistem proporsional terbuka sebenarnya.”

Ia mengakui memang di sisi lain sistem proporsional terbuka kelihatan seolah-olah memberikan semua orang memiliki kesempatan. Namun yang juga perlu diingat bahwa di dalam parpol ada sebuah kedaulatan. Artinya, parpol berdaulat yang dalam sistem pemerintahan demokrasi Indonesia menyertakan parpol sebagai anggota pemilu.

“Bukan personality atau bukan orang per orang, ini lah yang membuat bukan kapasitas, bukan kapabilitas yang dilihat, tapi justru popularitas, sehingga efek ekor jas dari popularitas caleg di lapangan tersebut ya inilah yang mempengaruhi parpol, jadi bukan parpol secara umum,” jelas Fadhli.

Sedangkan untuk sistem proporsional tertutup, kata Fadhli, malah sebaliknya, yaitu akan menguatkan peran parpol dan sistem kepartaian. Penguatan parpol memang sangat krusial karena ketika parpol tidak kuat maka yang terjadi seperti hari ini. “Siapa saja bisa membeli parpol, mohon maaf,” ucapnya.

Lebih jauh ia mengamati akhir-akhir ini peran sentral parpol dalam demokrasi sangat merosot yang bisa dilihat dari rendahnya party identification atau party Id ya. “Apa itu party id? Party id itu ukuran kedekatan dan kesukaan pemilih terhadap parpol yang dipilihnya dalam pemilu,” jelasnya.

Ada beberapa survei yang dilakukan oleh lembaga survei menunjukkan bahwa kedekatan warga Indonesia dengan parpol yang diyakini itu hanya 11,7 persen. “Jadi artinya apa? 11,7 persen responden itu meyakini parpol pilihannya dan akan memilih kembali parpol tersebut pada saat kapanpun pemilu itu digelar. Nah ini yang sangat bahaya sekali,” ungkap Fadhli.

Selanjutnya penggunaan kembali sistem proporsional tertutup karena pemilu adalah parpol bukan individu, sehingga jika menggunakan sistem proporsional terbuka sebenarnya yang menjadi daulat itu adalah individunya, bukan parpol itu sendiri.

Jadi, penerapan sistem proporsional tertutup ini sebenarnya untuk mengembalikan kedaulatan parpol kalau diminta dilihat dari kedua sisi tersebut. Dengan begitu, kalau disuruh memilih apakah menggunakan sistem proporsional terbuka atau tertutup, sebenarnya kedua sistem ini adalah sama-sama legal dan pernah digunakan dalam sistem pemilu.

“Jadi sesungguhnya ketika kita mau menerapkan sistem proporsional terbuka atau kembali lagi ke sistem proporsional tertutup sebenarnya adalah hal yang biasa saja. Tidak perlu merasa khawatir, tidak perlu merasa takut bahwa nanti akan mempengaruhi dan sebagainya, karena saya yakin kita sudah sama-sama mengetahui apa yang menjadi kelemahan dan kekurangan,” bebernya.

Apalagi parpol itu sendiri pasti sudah punya strategi masing-masing karena mereka pernah ikut dalam kontestasi pemilu. “Kita juga sudah pernah menghadapi ini semuanya, tinggal bagaimana kita memperkuat kualitas demokrasi kita yang hari ini ternyata dihadapkan dalam berbagai tantangan,” ucap Fadhli menggarisbawahi.

Bagi dia, hal yang paling utama juga adalah terkait dengan masalah polarisasi politik yang sangat mengganggu kualitas politik di Indonesia. Kemudian yang berikutnya adalah perubahan generasi kepemimpinan. “Generasi kepemimpinan ini harus berubah dari sebelumnya biasa-biasa saja, harus menjadi generasi yang lebih baik lagi sehingga seharusnya semua, orang-orang terbaik, putra-putri terbaik bangsa diberikan akses untuk memimpin negara ini.”

Lantas ia menyoroti agar jangan dibatasi dengan aturan-aturan yang justru menjegal perubahan generasi kepemimpinan dan penguatan peran parpol serta sistem kepartaian harus sangat penting karena negara demokrasi anggotanya adalah parpol. Oleh karena itu, peran parpol dan sistem kepartaian menjadi isu penting dalam pemilu pada 2024.

Fadhli kembali menambahkan bahwa baginya jika parpol kuat atau sistem kepartaian kuat maka akan melahirkan kualitas orang-orang atau individu-individu yang ada pada parpol yang memiliki kualitas atau kapabilitas, sehingga akan membawa negara ini menjadi negara yang kuat sesuai yang diharapkan semuanya.

Terakhir, yang paling penting adalah pemerintah dalam hal ini MK harus segera mengumumkan apakah akan menggunakan sistem proporsional terbuka ataukah akan kembali ke sistem proporsional tertutup. “Karena dengan kepastian hukum tersebut akan membuat para parpol dan caleg-caleg kita bisa membuat persiapan dan bisa beradaptasi dengan waktu yang cukup. Kalau tidak ada kepastian inilah yang membuat inkonstitusional menurut saya,” tuturnya.

Back to top button