Hangout

Sejarah Sistem Tanam Paksa, Proses, dan Dampaknya

Sistem tanam paksa pertama kali diterapkan di tahun 1830 pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda. 

Pelaksanaan kebijakan ini terjadi selama 40 tahun lamanya, sampai akhirnya banyak aktivis yang mengecam sistem tanam paksa, yang dinilai sangat tidak manusiawi.

Sistem tanam paksa atau Cultuurstelsel adalah kebijakan yang diterapkan oleh Kolonial Belanda pada tahun 1830-1865.

Pencetus sistem tanam paksa, Gubernur Johannes van den Bosch - inilah.com
Sumber: Wikipedia

Pencentus sistem tanam paksa ini adalah Gubernur Johannes van den Bosch.

Tujuan utama pelaksanaan kebijakan cultuurstelsel dibuat untuk mengisi uang kas Pemerintahan Kolonial Belanda yang kosong, pasca Perang Napoleon (1810-1811) dan Perang Diponegoro (1825-1830).

Selama peperangan, Belanda telah menghabiskan dana sebesar 25 juta gulden. Sedangkan dari kekalahan Perang Napoleon, Pemerintah Belanda harus mengganti seluruh biaya peperangan untuk kedua pihak. 

Maka dari itu, Belanda bangkrut dan memutar otak untuk mencari pendapatan baru dengan membuat sistem Tanam Paksa.

Sistem ini pertama kali diterapkan secara perlahan, mulai dari tahun 1830 sampai 1835. Sampai akhirnya, di tahun 1840 sistem ini diterapkan di seluruh Jawa.

Pelaksanaan Tanam Paksa di Indonesia

Sistem tanam paksa mewajibkan masyarakat Jawa untuk menyediakan 20% lahan pertanian untuk ditanam komoditi ekspor, seperti kopi dan tebu.

Seiring berjalannya waktu, pelaksanaan kebijakan ini terus merugikan rakyat dan tidak sesuai dengan kebijakan tertulis yang tertuang di dalam Lembaran Negara (Staatsblad) tahun 1834 No.22:

Kebijakan Tertulis

Praktik Nyata

Penduduk wajib menyediakan 20% lahan pertanian untuk ditanam tanaman ekspor yang sudah ditentukan oleh Kolonial Belanda. Luas lahan yang terpakai lebih dari 20%. Akibatnya, petani tidak memiliki cukup lahan untuk menanam tanaman pangan lokal, seperti beras. Akibatnya, di tahun 1843 harga beras melambung dan menimbulkan bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat.
Lahan pertanian yang digunakan untuk tanaman komoditi tidak akan dikenakan pajak. Faktanya tidak, sudah mengambil sebagian lahan dan hasil panennya, para petani tetap harus membayar pajak.
Nilai jual hasil pertanian petani diatur dan ditentukan oleh Pemerintah Belanda. Adanya monopoli harga jual panen yang dinilai sangat rendah.
Jika terjadi gagal panen, Pemerintah Hindia Belanda akan bertanggung jawab. Pemilik lahan yang menanggung gagal panen.
Sistem tanam paksa di bawah pengawasan pribumi. Para pejabat pribumi justru mengkorupsi hasil panen komoditi.
Masyarakat yang bukan petani, wajib bekerja di perkebunan yang dimiliki Pemerintah Belanda selama 66 hari dalam 1 tahun. Faktanya, mereka bekerja lebih dari 66 hari, bahkan ada masyarakat yang bekerja selama satu tahun penuh.

Dari kebijakan ini, Pemerintah Kolonial Belanda meraup keuntungan mencapai 967 juta gulden dan bisa melunasi hutang-hutang mereka.

Kesuksesan kebijakan ini membuat Johannes van den Bosch diberi penghargaan oleh Kerajaan Belanda.

Jenis Tanaman di Sistem Tanam Paksa

Pemerintah Belanda sudah menetapkan jenis-jenis tanaman tertentu yang memiliki nilai ekspor tertinggi, seperti:

Indigo

Indigo adalah tanaman bahan baku yang diolah menjadi pewarna biru untuk tekstil.

Sebelum kebijakan tanam paksa berjalan, sudah banyak para petani yang menanam Indigo di Jawa, salah satunya adalah Cirebon.

Berdasarkan catatan Raffles, Cirebon merupakan penghasil Indigo terbesar. Maka Dari itu, Belanda memaksimalkan produksi indigo di Cirebon semasa sistem tanam paksa berlangsung.

Dari sistem ini, banyak para laki-laki yang dipaksa untuk bekerja di perkebunan indigo selama 7 bulan penuh. Bahkan, masyarakat disana tidak diberi waktu untuk menanam padi sampai menimbulkan krisis beras dan bencana kelaparan di Cirebon, Demak, Grobogan, dan Purwodadi.

Kopi, Gula, dan Kina

Kopi dan Tebu adalah tanaman yang difokuskan van den Bosch selama cultuurstelsel karena bernilai tinggi di pasar global.

Luas lahan pertanian yang dipakai sangat besar dan membutuhkan banyak tenaga manusia. 

Dikabarkan sebanyak 450.000 orang diminta untuk menggarap tanaman kopi di tahun 1856, 300.000 orang untuk menanam tebu, dan 110.000 orang kerja di perkebunan kina.

Ironisnya, para pekerja ini menerima upah yang sangat kecil. Bahkan, mereka juga menanggung beban pajak dan gagal panen yang tidak sesuai dengan kebijakan di awal.

Setelah mendapat kecaman dari berbagai aktivis, akhirnya pemerintah Belanda menghapus sistem tanam paksa secara bertahap. Tanam paksa lada dihapus pada 1860 dan tanamn nila dan teh dihapus pada tahun 1865.

Dampak Sistem Tanam Paksa terhadap Indonesia

20 tahun diterapkannya cultuurstelsel di beberapa daerah di Jawa, memberikan banyak dampak positif dan negatif kepada Indonesia. Salah satunya adalah:

  • Masyarakat lebih paham dengan tanaman komoditi yang laku di pasar internasional.
  • Jasa tenaga buruh menjadi murah dan masyarakat desa mulai paham dengan sistem permodalan sehingga terjadi perubahan pola transaksi tradisional ke ekonomi moneter.
  • Krisis pangan yang menimbulkan bencana kelaparan. Banyak korban jiwa dalam peristiwa ini.
  • Penduduk Jawa semakin miskin karena semua harga diatur oleh pihak Belanda dan wajib membayar pajak.
  • Infrastruktur dibangun untuk memperlancar distribusi pangan. Seperti rel kereta api, jalan raya, pelabuhan, dan jembatan.
  • Sistem tanam paksa dinilai tidak manusiawi dan mendapat banyak kritik dari pejuang indonesia sampai aktivis global.

Back to top button