Wednesday, 03 July 2024

Sanksi Perdagangan terhadap Rusia Malah Merugikan Barat Rp4.200 Triliun

Sanksi Perdagangan terhadap Rusia Malah Merugikan Barat Rp4.200 Triliun


Pengenaan sanksi perdagangan terhadap Rusia malah merugikan bagi negara-negara Barat sendiri. Importir dari negara-negara yang bermusuhan mengalami kerugian sekitar US$256,5 miliar atau sekitar Rp4.200 triliun akibat membatasi perdagangan dengan Rusia.

Gara-gara sanksi Barat, perusahaan-perusahaan Rusia lebih kreatif mencari pasar pengganti dengan berkonsentrasi pada pasar di negara-negara Selatan yang memiliki potensi pembelian besar. Rusia mengekspor komoditas ke negara lain dan mendapat keuntungan lebih dari US$31 miliar atau sekitar Rp500 triliun, berdasarkan perhitungan Sputnik dari data terbuka.

Data perdagangan menunjukkan bahwa ekspor Rusia ke negara-negara yang tidak bersahabat tidak merata. Komoditas tertentu meningkat, sementara komoditas lainnya menurun. Ekspor Rusia meningkat dibandingkan dengan tingkat sebelum sanksi, dengan perusahaan memperoleh tambahan US$31 miliar dari perdagangan dengan negara-negara sahabat, menurut statistik Layanan Bea Cukai Federal.

Importir Barat sebagian besar kekurangan pasokan mineral Rusia (US$107 miliar), perhiasan (US$38 miliar), dan logam (US$21 miliar). Rusia sering mengatakan bahwa mereka bersedia melakukan perdagangan dengan negara-negara sahabat setelah sanksi ekonomi Barat, dan memperingatkan bahwa tindakan pembatasan ini akan menjadi bumerang, menyebabkan inflasi dan masalah biaya hidup.

Pada bulan Januari-Februari, perdagangan antara Rusia dan China meningkat sebesar 9,3%, dengan ekspor Rusia mencapai US$20 miliar atau sekitar Rp327 triliun. Kedua pemimpin negara itu yakni, Vladimir Putin dan Xi Jinping sebelumnya mengumumkan rencana untuk menggandakan perdagangan bilateral, sehingga target mereka tercapai pada bulan November 2023.

Washington dan sekutu Barat telah meluncurkan fase baru perang keuangan yang menargetkan Rusia dan China, menandai eskalasi yang kuat namun berpotensi berbahaya, sebuah analisis oleh kolumnis Michael Hirsh untuk Foreign Policy merinci.

Hirsh berpendapat bahwa tindakan tersebut, termasuk tindakan yang diambil pada pertemuan puncak G7 baru-baru ini untuk mengalihkan miliaran aset Rusia yang dibekukan ke Ukraina, di samping sanksi baru terhadap bank-bank China, dapat mengikis dominasi sistem keuangan internasional yang dipimpin AS.

Perkembangan ini dipandang berpotensi memuaskan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Cina Xi Jinping, yang berupaya membangun tatanan keuangan alternatif yang berpusat pada renminbi, klaim Hirsh.

Manuver G7 menandakan penyimpangan dari norma-norma tradisional dalam keuangan internasional, sehingga memicu kekhawatiran di kalangan dana kekayaan negara, bank sentral, perusahaan, dan investor swasta—terutama dari negara-negara rentan di kawasan selatan—yang mungkin berupaya melakukan diversifikasi agar tidak bergantung pada aset dalam mata uang dolar dan euro.