Market

Saat Anugerah Sumber Daya Alam Berubah Jadi Musibah

Jumat, 27 Jan 2023 – 14:18 WIB

Saat Anugerah Sumber Daya Alam Berubah Jadi Musibah - inilah.com

Segelintir pengusaha dan investor asing ditengarai menguasai sumber daya alam Indonesia. Sementara masyarakat banyak hanya kebagian masalah dan dampak kerusakan lingkungan hidup yang panjang. (Ilustrasi: iStockphoto.com)

Sumber daya alam (SDA) adalah anugerah yang mudah berubah menjadi musibah. Sudah banyak orang mengingatkan hal ini.

Kali ini, peringatan itu datang dari Anggota Komisi VII DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyanto. Ia menilai pengelolaan SDA di era Pemerintahan Joko Widodo gagal dan kurang memanfaatkannya untuk mensejahterakan rakyat.

“Yang terjadi malah SDA Indonesia dikuasai oleh segelintir pengusaha dan investor asing. Sementara masyarakat Indonesia sendiri hanya kebagian masalah dan dampak kerusakan lingkungan hidup yang panjang,” ujar Mulyanto dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat (27/1/2023).

Komentar Mulyanto itu terkait dengan beberapa kasus SDA yang belum selesai ditangani. Ia mencontohkan kasus bentrok di perusahaan smelter nikel PT Gunbuster Nickel Industry (GNI).

“Begitu juga dengan kasus beking kegiatan tambang ilegal, kini sudah ada kasus mengejutkan lagi,” ucapnya.

Pernyataannya itu tak berlebihan jika melihat temuan Majalah Tempo di Blok Mandiodo, satu blok nikel di Konawe Utara yang memberi penjelasan awal. Di sini terdapat puluhan perusahaan tambang nikel ilegal.

Mereka mencuci nikel tak sah dengan memakai dokumen asli tapi palsu lalu menjualnya ke pengolahan ore di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Umumnya smelter nikel di sini merupakan perkongsian grup-grup besar pengusaha Tiongkok.

Dengan menempatkan pejabat daerah dan pusat sebagai komisaris, praktik ilegal mereka melenggang tanpa hambatan. Di Mandiodo, perusahaan penambang liar yang dimiliki oleh politikus dan keluarga pejabat bahkan mendapat perlindungan dari sejumlah jenderal polisi.

Sejatinya izin usaha pertambangan Blok Mandiodo seluas 3.400 hektare dimiliki badan usaha milik negara PT Aneka Tambang Tbk (Antam). Sebelumnya, lahan ini menjadi rebutan perusahaan penambang nikel.

Berkat proses hukum di Mahkamah Agung, Antam mendapatkan hak konsesi blok nikel seluas total 16 ribu hektare ini. Namun, alih-alih menambang agar hasilnya disetor ke negara, Antam malah meminta perusahaan lain mengeruknya.

Penerima hak istimewa menambang nikel di area konsesi Antam adalah PT Lawu Agung Mining. Perusahaan ini dimiliki Windu Aji Sutanto, pengusaha yang memimpin tim relawan pemenangan Joko Widodo pada Pemilihan Umum 2019.

Windu juga mengklaim dekat dengan Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo. PT Lawu Agung menunjuk sebelas perusahaan lain untuk mengeruk 7,8 juta ton nikel selama tiga tahun.

Perusahaan-perusahaan di bawah PT Lawu juga menambang di luar wilayah konsesi Antam. Aktivitas ilegal bertingkat-tingkat ini tak terjamah hukum karena dilakukan melalui jual-beli dokumen dan pemberian ‘uang koordinasi’ kepada aparat penegak hukum.

Selama tiga tahun nilai nikel yang dikeruk di Blok Mandiodo mencapai Rp21,6 triliun.

Eksploitasi sumber daya alam secara ilegal kini mendapat perlindungan hukum lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja (Perpu Cipta Kerja). Omnibus law menyediakan Pasal 110A dan 110B yang mengutamakan prinsip ‘ultimum remedium’ yang mengedepankan sanksi administratif ketimbang pidana.

“Kita sudah dikejutkan lagi dengan kabar dari Bank Indonesia yang menyatakan dolar hasil ekspor barang tambang tidak masuk ke Indonesia. Hasil penjualannya justru diparkir di rekening-rekening luar negeri. Akibatnya devisa negara kita anjlok,” kembali Mulyanto menerangkan.

Padahal, kata dia, cadangan sumber daya alam Indonesia terus dikeruk untuk keuntungan pengusaha-pengusaha tambang tersebut. Ia menilai kegagalan pengelolaan SDA selama ini disebabkan karena Presiden Jokowi tidak paham akan persoalan.

“Di saat yang sama presiden dikelilingi oknum yang bermental korup yang lebih mementingkan diri sendiri dan kelompok, daripada memikirkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Dampaknya banyak keputusan presiden yang hanya menguntungkan pengusaha tapi menyengsarakan masyarakat,” ucapnya.

Sebagai sosok orang nomor satu di Indonesia, sambung dia, mestinya Jokowi bersungguh-sungguh dalam menata manajemen SDA. Tujuannya, agar hasil pengelolaan tidak jatuh begitu saja dan dinikmati oleh segelintir oknum atau investor asing.

“Kita perlu tobat nasional dan kembali ke jalan konstitusi untuk mengelola SDA sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Serta menjalankan roda ekonomi nasional secara inklusif berkualitas bagi keadilan dan kesejahteraan rakyat,” ujarnya tandas.

“Bukan pendekatan ekonomi yang eksploitatif dan ekstraktif yang memarjinalkan dan menghisap darah rakyat.”

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button