Friday, 28 June 2024

Rupiah Anjlok Bikin Sulit Perajin Tahu dan Tempe, Prabowo Disarankan Belajar Kedelai dari Brazil

Rupiah Anjlok Bikin Sulit Perajin Tahu dan Tempe, Prabowo Disarankan Belajar Kedelai dari Brazil


Kalangan perajin tahu dan tempe sangat berharap Prabowo Subianto selaku presiden terpilih, mengembangkan komoditas kedelai. Agar ketergantungan terhadap kedelai impor yang angkanya 90 persen, bisa dipangkas.

Ketua Umum Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo), Aip Syarifuddin mengatakan beratnya beban biaya impor kedelai karena sangat bergantung nilai tukar rupiah. Celakanya, pasokan kedelai lokal tak mampu memenuhi kebutuhan dari perajin tahu dan tempa.

“Kebutuhan kami sekitar 3 juta ton per tahun. Sementara produksi kedelai lokal hanya 300 ribu ton, atau hanya 10 persen. Sisanya yang 90 persen harus impor dari Brazil atau Amerika Serikat (AS),” kata Aip saat dihubungi di Jakarta, Kamis (20/6/2024).

Sejatinya, kata Aip, fenomena ini adalah potensi bisnis yang menggiurkan bagi petani kedelai. Tentu saja perlu didukung pemerintah. Bukan tidak mungjkin, Indonesia yang semula importir kedelai, suatu saat berbalik menjadi eksportir.

“Dulu Brazil juga importir kedelai. Saat ini, produksinya berlimpah sehingga bisa ekspor. Saya kira, Indonesia bisa belajar dari Brazil, apalagi iklimnya kan mirip-mirip. Sama-sama negara tropis. Kami himbau Pak Prabowo punya inisiatif untuk membangun pertanian kedelai di Indonesia,” ungkapnya.

Aip menyebut, pertanian kedelai di Brazil lebih unggul ketimbang Indonesia. Dari sisi produktivitas, Brazil mampu menghasilkan kedelai sebanyak 4-5 ton/hektare. Sementara di Indonesia hanya menghasilkan kedelai sebanyak 600 kilogram hingga 1,5 ton/hektare.

“Meski demikian, kedelai lokal punya keunggulan dari sisi gizinya lebih besar. Serta bagus untuk pembuatan tahu. Sedangkan kedelai impor bagus untuk membuat tempe,” ungkapnya.

Ketika kurs rupiah mencapai Rp16.500/dolar AS, lanjut Aip, cukup memberatkan para perajin tahu tempe di Indonesia.  Saat ini, harga kedelai impor mencapai Rp10.000 per kilogram.

“Bulan Agustus dan September memang musim panen kedelai di Brazil dan AS. Tapi kalau dolar AS nilainya tinggi ya berat bagi kami. Tidak ada banyak pilihan bagi kami. Turunkan produksi atau naikkan harga,” imbuhnya.