Kanal

Risiko Mudarat Tambang buat Ormas


“Bumi menyediakan cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap manusia, tetapi tidak untuk keserakahan setiap manusia.” – Mahatma Gandhi

Ancaman kerugian mengintai di balik rencana pemberian izin tambang batu bara kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan. Perusahaan besar berpotensi muncul sebagai “penumpang gelap” lantaran minimnya kapasitas ormas keagamaan dalam pengelolaan tambang. Lengah sedikit, cawe-cawe pemain kakap dengan rekam jejak buruk justru akan merugikan ormas, lingkungan, dan penerimaan negara. 

Sejumlah ormas keagamaan telah menyatakan penolakan terhadap izin usaha pertambangan (IUP) batu bara yang diberikan oleh Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal tanpa melalui proses lelang.

Tindakan ini dianggap berpotensi bertentangan dengan mandat utama ormas keagamaan, yaitu pembinaan umat. Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Gomar Gultom, menegaskan bahwa bisnis tambang sangat kompleks dan sarat dengan berbagai kontroversi, sehingga tidak sejalan dengan bidang pelayanan mereka.

“Dunia usaha tambang ini sangat kompleks dan memiliki konsekuensi yang sangat luas, serta diliputi ragam kontroversi di dalamnya,” ujar Gultom kepada reporter inilah.com.

Dia juga menambahkan bahwa ormas keagamaan harus menjaga fokusnya pada pembinaan umat dan tidak terjerumus ke dalam mekanisme pasar yang dapat mengesampingkan tugas dan fungsi utamanya.

Pemberian IUP ini didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi, dan diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024. Menurut regulasi ini, ormas keagamaan berkesempatan mendapatkan wilayah IUP (WIUP) dengan batas waktu lima tahun sejak peraturan berlaku.

Legitimasi Moral

Gultom menekankan pentingnya ormas keagamaan menjaga legitimasi moral, terutama karena PGI telah lama mendampingi korban kebijakan pembangunan, termasuk korban usaha tambang. 

“Jika kami menjadi bagian dari pelaku usaha tambang, PGI akan sangat rentan kehilangan legitimasi moral,” ucap Gultom.

Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) juga menyatakan penolakan serupa. Marten Jenarut, dari KWI, menggarisbawahi bahwa tugas KWI adalah mengatur peribadatan dan melaksanakan program kemanusiaan, bukan mengelola pertambangan. 

Sementara itu, Eforus HKBP, Robinson Butarbutar, mengungkapkan bahwa HKBP merasa bertanggung jawab untuk menjaga lingkungan hidup dan mendesak pemerintah untuk beralih ke sumber energi hijau.

 

Alat berat beroperasi di kawasan penambangan batu bara, Aceh, 24 Mei 2024. ANTARA/Syifa Yulinnas
Alat berat beroperasi di kawasan penambangan batu bara, Aceh, 24 Mei 2024. ANTARA/Syifa Yulinnas

Di sisi lain, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) adalah satu-satunya ormas yang menyatakan akan menerima WIUP. Menurut Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, NU telah menyiapkan konsep pengelolaan tambang selama dua tahun terakhir, berharap dapat memanfaatkan peluang dari keputusan presiden tersebut.

Menurut Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf, organisasinya menerima tawaran pemerintah karena membutuhkan sumber pembiayaan baru. 

“Kami desperate,” katanya saat berbicara dalam acara “Halaqoh Ulama: Sikapi Fatwa MUI Terkait Ijtima Ulama Soal Salam Lintas Agama”, kemarin.

Dalam konferensi pers pada 6 Juni lalu, Yahya mengatakan nahdliyin punya 30 ribu pesantren dan madrasah. Sumber daya dan kapasitas mereka sudah tak mampu lagi menopang keberlanjutan program tersebut. Dia memberi contoh keterbatasan dana untuk merenovasi infrastruktur pesantren di Pondok Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, yang memiliki 43 ribu santri dan menampung 60-70 santri sekaligus dalam ruangan berukuran 3 x 3 meter.

NU juga butuh pendanaan untuk melanjutkan operasi ribuan taman kanak-kanak. Menurut Yahya, gaji para pengajar di fasilitas pendidikan tersebut belum layak. Beberapa dari mereka hanya menerima bayaran Rp 150 ribu per bulan. 

“Gurunya sih ikhlas semua. Cuma yang lihat itu kan tidak tega,” ujarnya. Karena kondisinya mendesak, Yahya menyebutkan PBNU membutuhkan intervensi pemerintah. Kebijakan pengelolaan tambang untuk ormas dianggap sebagai salah satu solusi.

Kompetensi Mengelola Tambang

Gus Yahya mengklaim PBNU bakal mengelola tambang dengan baik lantaran memiliki banyak orang pintar. Menurut dia, NU juga telah merancang struktur bisnis untuk masa mendatang. 

“Kalau tidak percaya, lihat saja nanti. Masak, kami belum jalankan sudah dibilang tidak profesional?” katanya.

Di sisi lain, Ormas Islam terbesar lainnya, Muhammadiyah hingga saat ini belum membuat keputusan ihwal tawaran pengelolaan WIUP dari pemerintah

Abdul Mu’ti Sekretaris Umum PP Muhammadiyah menegaskan organisasinya tidak akan tergesa-gesa terkait konsesi tambang yang ditawarkan oleh pemerintah.

“Tidak akan tergesa-gesa dan mengukur diri agar tidak menimbulkan masalah bagi organisasi, masyarakat, bangsa, dan negara,” ujarnya dikutip dari Antara, Minggu (9/6/2024).

Abdul Mu’ti mengatakan Muhammadiyah belum ada keputusan akan menolak atau menerima konsesi tambang tersebut.

Muhammadiyah menegaskan akan mengkaji semuanya dari berbagai aspek dan sudut pandang yang menyeluruh.

“Keputusan sepenuhnya berada di tangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ormas keagamaan mengelola tambang tidak otomatis, tetapi melalui badan usaha disertai persyaratan yang harus dipenuhi,” katanya.

Namun, kebijakan ini tidak luput dari kritik. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan sejumlah aktivis lingkungan menilai pemberian izin ini dapat memicu konflik horizontal antara masyarakat adat dan ormas keagamaan. Menurut AMAN, pada tahun 2020, terdapat 1.919.708 hektare wilayah adat yang dirampas untuk perizinan sektor pertambangan.

Presiden Joko Widodo meresmikan lokasi proyek penghiliran batu bara menjadi dimetil eter (DME) di Kawasan Industri Tanjung Enim, Muara Enim, Sumatera Selatan, 24 Januari 2022. BPMI Setpres/Laily Rachev
Presiden Joko Widodo meresmikan lokasi proyek penghiliran batu bara menjadi dimetil eter (DME) di Kawasan Industri Tanjung Enim, Muara Enim, Sumatera Selatan, 24 Januari 2022. BPMI Setpres/Laily Rachev

Pemberian izin ini juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan anggota Komisi VII DPR dan pengamat energi yang menganggap bahwa ormas keagamaan umumnya tidak memiliki pengalaman atau kapasitas teknis untuk mengelola kegiatan pertambangan.

Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arranga, menekankan pentingnya pengawasan ketat untuk mencegah konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang yang mungkin timbul dari kebijakan ini.

Ketika ditanya tentang kemungkinan lelang ulang izin tambang bagi ormas yang menolak, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa pemerintah tidak akan memaksa ormas keagamaan untuk menerima izin tersebut tetapi akan terus mensosialisasi kebijakan baru ini. “Ormas harus memiliki badan usaha dan IUP tidak dapat dipindahtangankan,” imbuh Bahlil, menggarisbawahi beberapa ketentuan ketat yang harus dipenuhi oleh ormas yang ingin menerima izin.

Kebijakan ini mengundang pertanyaan besar tentang sejauh mana ormas keagamaan harus terlibat dalam aktivitas ekonomi yang mungkin bertentangan dengan prinsip keberlanjutan dan pembinaan moral yang mereka junjung tinggi. Waktu akan memberitahu bagaimana dinamika ini akan berkembang dan dampak yang akan ditimbulkannya terhadap struktur sosial dan lingkungan di Indonesia. [Harris/Inu]

Back to top button