News

Rishi Sunak Jadi Bukti Inklusivitas dan Toleransi di Inggris Bukan Omong Kosong Belaka

Saat ‘penyakit’ prasangka rasial yang akut menghinggapi banyak bagian dunia sehingga mencampakkan inklusivitas dan toleransi, Inggris memilih seorang pemimpin dari kalangan minoritas, Rishi Sunak.

Memang bukan dari sistem pemilihan langsung, tapi berkuasanya Sunak menjadi angin segar untuk masyarakat inklusif dan tatanan demokrasi yang meninggikan persamaan dan kesetaraan, bukan semata bersandar kepada mayoritas karena kesamaan ras, agama, suku, dan sejenisnya.

“Sungguh tonggak terobosan dan itu penting,” kata Presiden AS Joe Biden menanggapi kemenangan Sunak.

Pernyataan Presiden AS ke-46 itu tak berlebihan, karena keterpilihan Sunak memang tonggak bersejarah, terlebih bagi dunia yang sudah terlalu bising suara-suara yang membelah masyarakat karena lebih mementingkan asal suku dan etnisnya.

Rishi Sunak adalah antitesis untuk apa yang terjadi di Italia, Swedia, dan sudut-sudut Eropa lainnya yang digoreng oleh politik kebencian karena suku, agama, ras, dan aliran.

Atmosfer politik yang busuk seperti itu terjadi di mana-mana, termasuk di AS yang awal November nanti menggelar pemilu sela untuk memilih anggota DPR dan sebagian anggota Senat, dan sudah dipanaskan oleh kampanye-kampanye yang memuat ujaran kebencian.

Cara Sunak naik berkuasa pun terlihat indah karena bukan saja menguatkan predikat Inggris sebagai negeri toleran yang meninggikan inklusivitas dan kesetaraan, melainkan juga dibarengi oleh sikap dua pesaingnya yang tampak sengaja memberi jalan kepada Sunak, yang berdarah India ini, untuk memimpin Inggris.

Awal Juli lalu, Sunak kalah dalam pemungutan suara dalam Partai Konservatif yang menguasai parlemen Inggris, ketika mereka tengah mencari pengganti Boris Johnson yang dipaksa mundur dari jabatan Perdana Menteri karena mosi tak percaya di dalam partai ini.

Sunak mendapatkan dukungan besar dari Partai Konservatif di parlemen, namun kalah dalam pemungutan suara tingkat anggota Partai Konservatif sehingga melapangkan jalan Menteri Luar Negeri Liz Truss menjadi pengganti Johnson sebagai PM Inggris.

Namun Truss hanya bertahan 45 hari setelah gebrakan kebijakan ekonominya malah mengguncang pasar modal dan lalu memicu pemberontakan dari dalam Partai Konservatif di parlemen sehingga membuat dia kehilangan mandat untuk kemudian mundur.

Sunak kemudian maju lagi guna mencoba memimpin partainya meski berhadapan dengan Boris Johnson yang mantan Perdana Menteri dan Penny Mordaunt yang pemimpin Majelis Rendah.

Politikus 42 tahun ini berhasil mendapatkan minimal 100 suara anggota parlemen Konservatif yang membuatnya mendapatkan tiket mengikuti pemilihan Ketua Partai Konservatif. Dia pun tinggal mengikuti pemilihan tingkat anggota Partai Konservatif.

Uniknya sebelum mencapai sana, Mordaunt dan Johnson memutuskan untuk mundur dari pencalonan. Jelas kedua tokoh ini berusaha memberi jalan kepada Sunak untuk memimpin Partai Konservatif.

Kedua tokoh politik Inggris ini juga tak hanya memuluskan jalan Sunak ke Downing Street 10, namun juga memuluskan jalan kepada toleransi dan inklusivitas.

* * * * *

Dalam sistem politik Inggris, sebagaimana demokrasi parlementer lainnya, partai politik pemenang pemilu yang memperoleh kursi mayoritas dalam parlemen otomatis memerintah Inggris.

Mereka berhak mengajukan Perdana Menteri. Dan saat ini yang tengah menguasai parlemen Inggris adalah Partai Konservatif.

Partai yang cenderung diasosiasikan sebagai sisi kanan dalam spektrum politik Inggris ini kerap dianggap tidak seinklusif Partai Buruh, yang selain menjadi kelompok oposisi utama di parlemen saat ini, tapi juga saling mengalahkan dengan Partai Konservatif hampir selama era politik modern Inggris.

Kekalahan Sunak dari Truss pada pemilihan pemimpin Partai Konservatif dalam tingkat anggota partai empat bulan sebelumnya, sedikit banyak dipengaruhi oleh tingkat inklusivitas pada tingkat anggota partai ini.

Sebaliknya Partai Buruh yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi oposisi, dikenal inklusif seperti umumnya partai politik berhaluan kiri di mana pun.

Salah satu bukti keinklusifan Partai Buruh adalah saat memajukan Sadiq Khan yang keturunan Pakistan, menjadi Wali Kota London. Khan kini tengah dalam masa jabatan periode keduanya sebagai Wali Kota London.

Sejak tahun 2000, Wali Kota London dipilih langsung oleh warga kota ini.

Akan tetapi sewaktu David Cameron memimpin Partai Konservatif mulai 2005, dia mengubah partai ini menjadi lebih inklusif sehingga menarik pelibatan kaum minoritas.

Bahkan selama menjadi Perdana Menteri dari 2005 sampai 2016, Cameron banyak menunjuk anggota kabinet yang mencerminkan inklusivitas.

Cameron juga pernah memprediksi pada 2012 bahwa perdana menteri pertama Inggris dari keturunan India akan berasal dari Partai Konservatif. Ramalannya terbukti tahun ini.

Meski demikian, Sunak bukanlah perdana menteri pertama Inggris yang berasal dari minoritas, karena pada 1868, Inggris pernah memiliki perdana menteri dari kaum minoritas, yakni Benjamin Disraeli, yang merupakan keturunan Yahudi.

Tetap saja, kemenangan Sunak membuat mereka yang memajukan inklusivitas menjadi tersemangati, termasuk Presiden AS Joe Biden.

* * * * *

Keberhasilan Sunak menjadi perana menteri kian menegaskan Inggris memang telah menjauhkan rasisme dan intoleransi. Sebaliknya negeri ini membumikan inklusivitas, keberagaman, dan kesetaraan.

Tapi ini tak mengherankan karena Inggris secara umum dikenal paling toleran dan paling inklusif dibandingkan dengan kebanyakan negara-negara di Eropa, bahkan saat dunia dirasuki pemikiran-pemikiran rasis seperti sekarang.

Inggris pula salah satu negara yang menyatakan solidaritas kepada gerakan Black Lives Matter menyusul insiden rasial di AS pada 2020 yang sempat memecah belah masyarakat negara adikuasa ini.

Sebuah survei pada 2019 ketika Inggris masih bergabung dengan Uni Eropa, menunjukkan Inggris adalah ‘negara yang paling tidak rasis’ di antara 12 negara Uni Eropa.

Lain dari itu, sisi lain dari kemenangan Rishi Sunak adalah bahwa demokrasi telah menunjukkan fungsi aslinya, yakni memberikan kesempatan yang sama kepada siapa pun untuk memangku jabatan publik.

Ini terjadi saat dunia dewasa ini acap dikubur oleh politik sektarian yang kadang menjadi warna demokrasi langsung yang memang tak bisa melepaskan diri dari ekses negatifnya.

Dalam keadaan tertentu, demokrasi langsung kadang gagal memilih penguasa terbaik karena proses pemilihan tidak dimandatkan kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan yang cukup untuk memilih pemimpin.

Dalam lain kesempatan demokrasi langsung kerap menciptakan ironi karena malah menjadi tiket berkuasa untuk orang licik dan tak bermoral yang menyebut diri pelindung rakyat, yang bahkan tak jarang membuka jalan kepada tiranisme.

Tapi kemenangan Sunak sepertinya tak akan terlalu beresonansi kepada sistem selain demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan.

Demokrasi perwakilan kadang berhasil menghadirkan lingkungan yang memberikan kesempatan sama untuk semua warga negara, tak peduli warna kulit, agama, etnis, atau asal usulnya. Yang dinomorsatukan oleh sistem ini adalah kapabilitas, komitmen, dan rekam jejak.

Sebaliknya demokrasi langsung kadang lebih memilih medan emosi massa yang kadang pula menomorduakan kapabilitas dan rekam jejak.

Meski demikian, demokrasi perwakilan yang memungkinkan warga minoritas seperti Rishi Sunak bisa berada di puncak pemerintahan Inggris dan demokrasi langsung seperti dipraktikkan banyak negara termasuk Indonesia, tetap lebih baik ketimbang autoriterisme dan diktatorisme. [tar]

Back to top button