Kanal

Ridwan Kamil, Guru Kehidupan

Hari ini saya mendampingi Pak Zulkifli Hasan dan Pak Hatta Rajasa bersilaturahmi menemui Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Dua tokoh itu ingin memberikan dukungan dan doa secara langsung kepada Kang Emil yang baru saja kehilangan putera sulungnya, Eril. Subuh-subuh, dari Jakarta kami berangkat menuju Bandung. “Saya belum tahu nanti akan bicara apa. Tak bisa berkata-kata. Tapi kita harus datang, Kang Emil sahabat kita, keluarga kita.” Ujar Pak Zul.

Sampai di kediaman Kang Emil di Gedung Pakuan, kami duduk bersila membentuk setengah lingkaran. Kang Emil masih bersiap di ruangannya. Kami yang datang, memandangi foto Eril yang dicetak besar dan dipajang di ruang tengah rumah dinas itu. Bunga-bunga dengan ucapan dukacita masih memenuhi ruangan, harumnya menguar di udara, menambah kesyahduan. “Seandainya kejadian itu di Indonesia, mungkin semua masyarakat sudah bergerak membantu pencarian Eril. Tapi, memang sudah Allah yang mengatur.” Cetus Pak Hatta.

Kang Arfi, perwakilan keluarga, baru saja bercerita bahwa pencarian Eril di Swiss sangat mengikuti SOP yang ditetapkan. Rigid dan prosedural. “Yang disebut pencarian intensif dan maksimal itu, paling hanya melibatkan 20 orang polisi. Warga sekitar tidak ada yang membantu, tidak boleh. Pencarian juga hanya bisa dilakukan siang hari.” Cerita Kang Arfi. “Kalau di kita, semua sudah dikerahkan, masyarakat ikut bergerak, siang dan malam.” Sambungnya.

Tak lama, Kang Emil keluar ruangan. Ia mengenakan jas kasual gelap dan berpeci, menggunakan masker. “Maaf jadi menunggu.” Ujar Kang Emil, ramah. Kami pun sontak berdiri. Suasana mendadak hening. Pak Zul dan Pak Hatta merangkul Kang Emil bersamaan. Tanpa kata-kata terucap, ketiganya menangis. Punggung mereka berguncang. “Kang Emil, doa terbaik kami. Doa terbaik kami. Insya Allah Eril syahid.” Ujar Pak Zul kemudian. Kami yang menyaksikan tak kuasa menahan sedih.

Setelah adegan itu, kami dipersilakan duduk. “Jam berapa dari Jakarta?” Kang Emil bertanya ramah, basa-basi, diiringi senyuman, dengan suara rendah seorang ayah yang kenyang menangis semalaman. Sialnya, tak ada satupun dari kami yang menjawab pertanyaan itu. Kami tahu pertanyaan itu tak perlu jawaban. Sementara rasa sedih masih begitu menyesakkan.

Obrolan pun mengalir. Kang Emil bercerita bahwa ia sedang berusaha menata hati. Tidak mudah kehilangan putera pertama yang ia sayangi dan banggakan, tetapi Kang Emil dan Teh Lia harus ikhlas merelakan. “Ini sudah ketetapan Allah. Ternyata dari peristiwa ini saya belajar, yang datang duluan, belum tentu pergi duluan. Yang datang belakangan, belum tentu pergi belakangan. Semua Allah yang mengatur, sudah tertulis di Lauhul Mahfudz. Saya kira kita semua pada saatnya akan merasakan apa yang saya rasakan saat ini, kehilangan orang yang kita cintai, sekarang jadwalnya sedang tiba kepada kami sekeluarga.” Katanya.

“Kang Emil, saya masih ingat di pertemuan terakhir di rumah saya, kita saling bercerita tentang anak. Makanya saya sedih sekali mendengar kabar ini. Saya tak sanggup membayangkan.” Sela Pak Zul sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Kang Emil tersenyum. “Hidup ini memang banyak breaking news-nya, Pak Zul.” Kata-kata itu terdengar sederhana, tetapi dalam sekali maknanya. Kang Emil kemudian bercerita tentang bagaimana lika-liku kisah Eril lahir di New York, tumbuh besar di Indonesia, menjadi pribadi dengan akhlak yang membanggakan kedua orangtuanya hingga ia lulus kuliah, kemudian meninggal di negara yang menurut Kang Emil salah satu yang terindah di dunia, seperti di surga, Swiss, saat hendak ‘berlibur’ dan mencari sekolah.

“Tadinya saya berpikir, kenapa kalau mau ‘diambil’ tidak di Indonesia saja? Tapi akhirnya saya menyadari, Eril lahir di Amerika, Amerika itu bumi Allah. Meninggal di Swiss, Swiss juga bumi Allah. Di manapun di dunia ini sama-sama bumi Allah. Sama saja kalau kita mindsetnya sudah ‘paspor’, di manapun sebenarnya bumi Allah juga.” Ungkapnya.

Bagi Kang Emil, kehilangan putera sulungnya di negeri orang adalah semacam ‘ujian kekuasaan’. Ia geregetan menghadapi otoritas Kota Bern dan negara setempat. Sayangnya ia tak bisa apa-apa di sana. “Kalau kejadian itu di Bandung, mungkin saya sudah kerahkan seribu orang. Tim SAR, BNPB, atau apa saja. Kalau perlu minta bantuan TNI. Masyarakat juga saya kira akan ikut membantu. Tapi di sana saya ‘powerless’, Pak. Kekuasaan ternyata tidak ada apa-apanya kalau Allah sudah berkehendak.” Kami semua terbengong mendengar cerita Kang Emil.

Setelah hampir dua minggu kehilangan Eril, Kang Emil berusaha ‘move on’. Sejak Senin (7/6) ia sudah bekerja dan ngantor lagi di Gedung Sate. Teh Atalia pun sudah berkegiatan. Katanya, inginnya sebenernya menangis saja di atas sajadah. Tapi kemudian teringat bahwa ia punya ‘sumpah’ dan tanggung jawab untuk melayani warga Jawa Barat. “Jadi sekarang kami punya jadwal menangis, Pak Zul, Pak Hatta. Bergiliran. Malam saat tahajud atau pagi saat dhuha. Selanjutnya kita ini kan punya dimensi kemanusiaan yang lain. Ridwan Kamil bukan hanya ayah Eril, tetapi juga Gubernur Jawa Barat yang harus bekerja.” Senyum Kang Emil membuat saya patah hati sekaligus malu. Setegar itu seorang Ridwan Kamil. Bisakah kita sepertinya?

Menyaksikan momen ini, setelah serangkaian peristiwa yang ia hadapi, bagi saya Ridwan Kamil adalah seorang guru kehidupan. Ia melihat musibah dari perspektif syukur dan sabar. Tak kecewa apalagi marah pada ketentuan dan takdir Allah. Di tengah kesedihan yang dalam, ia masih bisa mengambil hikmah dan membagi sebutir ilmu: Ternyata kebaikan kita saat hidup, akan menjadi bekal ketika kita meninggal. Jutaan orang yang mendoakan Eril dan ikut bersedih, siapa yang bisa menggerakkan dan menggetarkan hati kita kecuali Allah?

“Kami semua mendoakan, Kang Emil. Juga ikut shalat gaib.” Ungkap Pak Hatta. Sambil meletakkan tangan kanan di dada, seraya menunduk, Kang Emil mengucapkan terima kasih. “Hatur nuhun.” Timpalnya dengan suara rendah.

Pagi ini saya mendapatkan hikmah yang luar biasa. Tentang kesabaran, tentang rasa syukur, tentang penerimaan terhadap ketetapan Allah, tentang tanggung jawab seorang pemimpin, tentang menjadi individu yang tidak mementingkan dirinya sendiri. Sebelum pulang, saya pamit dan menyalami Kang Emil. “Kang, doa terbaik saya untuk Eril. Doa terbaik saya untuk Kang Emil dan keluarga.” Ujar saya.

Kang Emil yang sedang menggendong Arka, putera bungsu yang ia sebut seolah ‘disiapkan’ Allah sebagai penghibur dan penyejuk hati dua tahun sebelum kepergian Eril, tersenyum dan menimpali saya. “Terima kasih, Fahd. Terima kasih juga kemarin atas tulisannya.” Ya Allah, sehangat dan sepeka itu seorang Ridwan Kamil?

Tentu kita semua belajar dari seorang Ridwan Kamil. Dan Ridwan Kamil belajar dari almarhum puteranya, Eril.

Bandung, 7 Juni 2022

FAHD PAHDEPIE, Seorang murid.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button