Market

Relaksasi Kredit Berakhir, Bali Berpeluang Bangkrut

Kuartal I 2022, pertumbuhan ekonomi nasional diprediksi positif, namun tidak berlaku untuk Bali. Masih banyak kendala yang dihadapi untuk pemulihan ekonomi Bali.

Ya, lantaran Bali masih membutuhkan relaksasi dan perlakuan khusus. Situasi ini dianggap seperti bom waktu yang ketika relaksasi dicabut, kebangkrutan menghantui. Pemerintah pusat pun didesak mengambil terobosan khusus menjaga Bali.

Perpanjangan relaksasi kredit jika bisa bergulir hingga 2025. Jika tidak, pengusaha Bali berpotensi gagal bayar dan Bali berpotensi bangkrut.

Pengusaha UMKM, Putu Andhika menuturkan, dua tahun terakhir, terjadi penurunan sektor usaha. Terutama sektor kerajinan, penurunannya sangat drastis.

Pria yang bergerak dalam kerajinan uang kepeng ini mengaku untuk kembali menjalankan usahanya banyak tantangan yang dihadapi.

Pertama terkait SDM yang harus mulai lagi dari nol setelah sekian lama terdiam. Selanjutnya terkait permodalan untuk mulai produksi di tengah himpitan kewajiban dengan perbankan.

Hal ini dihantui pula dengan kebijakan relaksasi dari pemerintah yang akan berakhir tahun 2023.

“Relaksasi tentu sangat membantu, tapi di akhir dampaknya dirasakan. Di satu sisi harus mencicil kembali sesuai kewajiban, di sisi lain kami juga butuh permodalan untuk memulai usaha kembali,” ungkapnya.

Ketua Badan Pengurus Daerah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPD HIPMI) Bali, Pande Agus Permana Widura, mengatakan, situasi Bali berbeda dengan nasional yang perekonomiannya belum bertumbuh positif. Lantaran, 70 persen perekonomiannya bergantung kepada sektor pariwisata.

Kondisi yang dialami Bali, saat ini, menurutnya, sedang tidak baik-baik saja. Bahkan terancam bangkrut jika relaksasi nanti berhenti.

“Seperti halnya orang sakit yang diinfus. Ketika infus dicabut akan mati,” ungkapnya.

Menurutnya, Bali membutuhkan perlakuan khusus, termasuk dalam hal pemberian kebijakan relaksasi atau tenor angsuran bisa diperpanjang serta jika memungkinkan bisa cuti bayar 1-2 tahun. Hal ini dikatakannya akan memudahkan bagi pelaku usaha.

“Mungkin hutang 1-2 tahun itu akan ada Rp1 triliun bunga yang harus dibayar dan pemerintah bisa mem-bail out (menjamin) itu. Nilai itu tidak sebanding dengan apa yang diberikan Bali selama ini,” ujarnya.

Pihaknya berharap terkait POJK No 17/2021 yang akan berakhir 2023 nanti, bisa diberikan spesifikasi khusus bagi pengusaha yang bergantung pada pariwisata.

Pengamat ekonomi, Prof Raka Suardana mengatakan, pemerintah harus bisa memilah dampak dari setiap pencabutan kebijakan. Termasuk jika nanti POJK No.17/2021 berakhir, dilihat juga sisi negatifnya.

“Hal ini memang bak memakan buah simalakama. Tentu harus ada pertimbangan yang dilakukan,” ujarnya.

Demikian pula menurutnya, Bali membutuhkan perlakuan khusus dalam situasi ini, karena semua sektor usaha di Bali terkena dampak. Bali sebagai penyumbang devisa dikatakannya harus diselamatkan. Karena, jika Bali sakit juga akan berdampak pula di kemudian hari bagi yang lain. [ikh]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Iwan Purwantono

Mati dengan kenangan, bukan mimpi
Back to top button