News

Proyek BTS Kominfo, di Antara Korupsi dan Maslahat untuk Rakyat

Kasus korupsi penyediaan Base Transceiver Station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung paket 1,2,3,4, dan 5 BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang menjerat sejumlah pihak di antaranya politikus NasDem sekaligus eks Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate menjadi buah bibir publik. Bagaimana tidak, selain menyeret Johnny G Plate dan lima orang lainnya sebagai tersangka, praktik korupsi ini juga diperkirakan merugikan negara hingga Rp8,32 triliun.

Proyek tersebut merupakan pekerjaan dari BAKTI atau Badan Aksesibilitas Telekomunikasi yang berada di bawah payung Kementerian Kominfo. Proyek yang dilakoni BAKTI bekerja sama dengan perusahaan operator seluler berlisensi di Indonesia ini bagian dari penyediaan layanan 4G di 7.904 desa terkategori wilayah 3T atau Terdepan, Terluar, dan Tertinggal.

Dengan demikian, penyediaan infrastruktur sektor telekomunikasi itu sejatinya memiliki tujuan serta maslahat untuk kepentingan rakyat banyak.

Menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Zulfadly Syam, wilayah geografis Indonesia tidah bersifat datar dengan banyaknya pegunungan, lembah, hingga perdesaan yang tertutup oleh gunung dan hutan.Oleh karena itu, teknologi seperti fixed broadband tak memadai. Khususnya untuk wilayah 3T.

“Jadi layanan teknologi dengan menggunakan wireless 4G ini memang masih sangat dibutuhkan sampai daerah-daerah 3T,” kata Zulfadly kepada Inilah.com, Jumat (26/5/2023).

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Proyek ini justru jadi bancakan korupsi. Berdasarkan penjelasan Pelaksana Tugas Menkominfo Mahfud MD, jumlah dana yang dicairkan pemerintah untuk proyek tersebut sudah mencapai Rp10 triliun. Seharusnya untuk target awal, Kementerian Kominfo membangun 1.200 tower BTS yang wajib rampung di akhir tahun 2021. Namun, ternyata tak ada realisasinya. Kemudian, targetnya ditambah menjadi 4.800 tower serta waktunya diperpanjang hingga Maret 2023. Kenyataannya, hingga mendekati Maret 2023, hanya ada 985 BTS yang dibangun dengan keadaan mangkrak.

Zullfadly berpandangan, proses feasibility study atau studi kelayakan sudah dilakukan BAKTI Kementerian Kominfo.

“Permasalahannya lebih ke implementasinya, hasilnya keliatannya kan ada yang mandek gitu saja. Jadi ini masalah implementasi. Kalau kajian-kajian, sesungguhnya pasti sudah dilakukan, tapi kami tidak bisa menilai kajian itu benar atau tidak, tapi pasti kajiannya sudah dilakukan,” ujar Zulfadly.

Lebih lanjut, dia mencontohkan terkait proses yang umumnya dilakukan oleh praktisi maupun pengusaha bidang internet yang tergabung dalam APJII. Para praktisi dan pengusaha ini pasti melakukan studi kelayakan dahulu sebelum menjalan pekerjaan di suatu daerah.

“Di dalam studi kelayakan itu kita bisa tahu, di satu daerah ini bisa ter-cover tower BTS. Pertama kita melakukan penentuan teknologi apa yang mau kita pakai, mau wireless, mau pakai fiber optics, atau mau pakai satelit,” ucap Zulfadly memaparkan.

Misalkan, kata dia mengungkapkan, jika suatu daerah bisa tertangani dengan sistem wireless, berarti membutuhkan BTS. “Ketika membutuhkan BTS itu bisa di-cover berapa BTS, nah itu merupakan feasibility standar yang biasa dilakukan untuk membangun suatu daerah. Saya pikir ini sudah dilakukan, jadi tinggal implementasinya,” tutur Zulfadly menegaskan.

Dia menyesalkan praktik korupsi yang membelit proyek BTS 4G dan infrastruktur pendukung paket 1,2,3,4, dan 5 BAKTI Kementerian Kominfo. Pasalnya, jika proyek ini implementasinya sesuai, akan ada banyak manfaat yang bisa dirasakan rakyat.

“Secara konkret yang didapatkan masyarakat, tentunya semua layanan yang bersifat komunikasi data itu pasti akan lebih meningkat. Komunikasi data itu apa? Pertama adalah koneksi internet yang semakin cepat, ini yang paling gampang dirasakan,” ujarnya menerangkan.

Ketika koneksi internet sudah semakin cepat, maka teknologi informasi yang berjalan di atas fondasi internet akan lebih gampang dilakukan masyarakat di wilayah 3T.

“Contohnya WhatsApp. Dulu kan sambungan telepon itu menggunakan pulsa tapi dengan internet yang bagus, orang-orang di 3T juga teleponnya bisa menggunakan WhatsApp atau telegram yang berbasis data,” kata Zulfadly.

Kedua, menyangkut sektor pendidikan. Dengan kualitas internet 4G ke atas maka daerah-daerah 3T yang mempunyai sekolah-sekolah bisa ikut terdongkrak dari segi pengetahuan.”Karena akses mereka ke dunia luar itu akan semakin cepat juga. (Aplikasi) Zoom tidak hanya milik orang-orang kota. Zoom jadi bisa digunakan juga oleh orang-orang di wilayah 3T untuk berkomunikasi ke orang kota, ke luar negeri untuk memperkuat riset pendalaman mengenai pendidikan,” ungkapnya.

Zulfadly berharap, terkuaknya kasus korupsi proyek BTS 4G dan infrastruktur pendukungnya tak membuat pemerintah menghentikan upaya transformasi digital. Sebab, manfaatnya begitu besar untuk kemajuan telekomunikasi di wilayah 3T. Sebaliknya, APJII, meminta pemerintah agar mau belajar dari kasus korupsi ini dengan memastikan ke depannya tidak hanya menyerahkan pengerjaan proyek kepada satu kementerian saja. Selain itu, pemerintah juga harus turut menggandeng banyak pihak untuk membantu proses realisasi sekaligus pengawasan.

“Kami melihatnya, selama formulasi digitalisasi di Indonesia itu dibuat berdasarkan pendapat dari multi stakeholder, itulah yang kami preferensikan. Sehingga ini ada check and balance juga dari masyarakat, jadi kalau yang membahas ini multi stakeholder maka masyarakat juga bisa ikut menilai.”

Hampir senada, Ketua Yayasan Internet Indonesia Jamalul Izza menilai, proyek megah semacam pembangunan BTS 4G dan infratruktur pendukungnya seharusnya tidak boleh bersifat one man show. Ia berpandangan, masyarakat juga perlu dilibatkan untuk proses pengawasan di lapangan.

“Untuk memastikan kualitas dari pembangunan infrastruktur itu sesuai dan berfungsi sesuai dengan yang ditargetkan,” kata Jamalul.

Hal itu, kata dia menambahkan, tak terlepas keberadaan BTS mampu menjadi solusi bagi warga-warga 3T menyangkut akses internet dan telekomunikasi.

“Kenapa BTS menjadi solusi yang baik? Karena pembangunan tower cukup tinggi, sedangkan letak geografisnya daerah kita terdiri dari pegunungan, lembah, dan antar pulau. Ini bisa dihubungkan dengan pembangunan tower-tower yang memang ada koneksi internet atau telekomunikasi,” ujar Jamalul.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button