Monday, 01 July 2024

PPN Naik 12 Persen, Sri Mulyani Lempar ‘Bola Panas’ untuk Prabowo

PPN Naik 12 Persen, Sri Mulyani Lempar ‘Bola Panas’ untuk Prabowo


Banyak kalangan menilai, penaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada Januari 2025, belum tepat. Kalau dipaksakan membuat beban rakyat semakin berat. Meski kenaikan PPN 12 persen itu, amanat UU No 17 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Di sisi lain, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyerahkan sepenuhnya keputusan PPN, apakah akan naik menjadi 12 persen, atau tidak kepada presiden terpilih, Prabowo Subianto.

“Mengenai PPN itu kami serahkan kepada pemerintahan baru (Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka),” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (20/5/2024).

Saat ini saja, PPN dipatok 11 persen, cukup membebani kehidupan masyarakat. Di mana, harga barang khususnya bahan pangan naik tinggi. Memang betul ada faktor El Nino yang berdampak kepada produksi pangan. Tapi akan berbeda jika PPN masih 10 persen atau di bawahnya.

Terkait PPN, diakui Sri Mulyani, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terus berkomunikasi dengan tim maupun perwakilan Prabowo-Gibran. Hal ini perlu dilakukan agar aspirasi dari Prabowo-Gibran bisa diwadahi dalam rancangan anggaran 2025.

Komunikasi itu juga mencakup pembicaraan mengenai rancangan APBN maupun Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2025.

“Kami terus berkomunikasi dengan tim maupun orang-orang yang ditunjuk Pak Prabowo, sehingga apa yang kita tuangkan akan bisa sedapat mungkin memasukkan seluruh aspirasi,” katanya.

Menurut Sri Mulyani, hal itu juga harus dilakukan agar program-program Prabowo bisa dilaksanakan secepatnya.

“Sehingga pemerintah baru programnya dan prioritas kemauannya tetap bisa berjalan tanpa harus menunggu,” ucapnya.

Sebelumya, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mendesak, pemerintah membatalkan rencana kenaikan PPN 12 persen pada 2025. Jika tujuannya untuk menggenjot penerimaan pajak, pemerintah sebaiknya mulai menerapkan pajak kekayaan.

“Pemerintah sebaiknya mulai membuka pembahasan pajak kekayaan (wealth tax), pajak anomali keuntungan komoditas (windfall profit tax) dan penerapan pajak karbon sebagai alternatif dibatalkannya PPN 12 persen,” kata Bhima, dikutip Rabu (20/3/2024).

Bhima mencontohkan, penerapan pajak kekayaan sangat mungkin diberlakukan ketimbang mengerek PPN yang berdampak kepada hajat hidup rakyat.

Misalnya, pemerintah membuat kategori 10 persen wajib pajak (WP) dengan aset terbesar., dikenaik pajak yang besarnya ditentukan. “Misalnya, pajaknya 2 persen dari net asset atau kekayaan bersih, maka orang kaya dengan aset Rp10 triliun dipajaki Rp200 miliar per tahun,” kata Bhima.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Telisa Aulia Falianty memperkirakan, imbas kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen, melemahkan konsumsi masyarakat. 

Ketika kenaikan PPN 12 persen dikonversikan dalam bentuk harga, maka akan terasa bebannya kepada rakyat. Terutama untuk barang-barang bernilai tinggi seperti durable goods.

“Artinya ketika masyarakat merasakan kenaikan harga akibat kenaikan PPN mereka kemudian mengurangi pembelian terhadap barang tersebut, konsumsi jadi turun,” ucap Telisa.