News

Polri Kekurangan Penyidik Kasus Kejahatan Seksual, Ini Penyebabnya

Polri masih terkendala dalam menangani kasus tindak pidana kekerasan seksual yang ada di wilayah Indonesia. Pasalnya saat ini Polri kekurangan penyidik di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA).

Analis Kebijakan Madya Bidang Pidana Umum Bareskrim Polri Kombes Pol Ciceu C. Dwimeilawati mengatakan jumlah penyidik UPPA yang ada saat ini sangat terbatas. Hal ini yang menjadi hambatan bagi Polri dalam menangani kasus-kasus tindak pidana kekerasan seksual.

“Keterbatasan jumlah penyidik UPPA akibat belum terealisasinya secara merata penempatan Polwan dari hasil rekrutmen untuk UPPA sampai dengan tingkat Polsek,” kata Ciceu C. Dwimeilawati dalam acara bertajuk “Apa Masalah Krusial dalam Penerapan UU PKDRT dan UU TPKS?” di Jakarta, Rabu (31/5/2023).

Selain personel, pemahaman SDM Polri dan kesempatan untuk meningkatkan kompetensi melalui dikjur atau diklat sangat terbatas.

“Belum terpenuhinya Skep Penyidik Anak,” kata Ciceu Dwimeilawati.

Selain itu, kendala lainnya adalah belum adanya reward bagi penyidik UPPA sebagai motivasi dan sarana peningkatan karir.

“Mutasi anggota yang terlalu cepat dan adanya penugasan lain yang dibebankan ke penyidik,” kata Ciceu Dwimeilawati.

Sementara dari segi sarana dan prasarana, Ciceu mengemukakan belum tersedianya sarana RPK (Ruang Pelayanan Khusus) pada seluruh UPPA.

Kemudian sarana pada RPK yang sudah ada belum seluruhnya memenuhi standar.

“Belum adanya data dan sarana yang terintegrasi untuk mudah diakses dan memudahkan identifikasi,” kata Ciceu.

Pihaknya juga menyoroti masih terbatasnya ahli dalam penanganan kasus-kasus tindak pidana kekerasan seksual.

“Keterbatasan ahli secara kuantitas, kualitas, maupun pembiayaannya dalam rangka pembuktian dan pendampingan korban,” katanya.

Kemudian biaya pemeriksaan dalam rangka pembuktian ilmiah yang relatif mahal dan belum sepenuhnya bisa dilakukan secara gratis.

Faktor lainnya, yakni kesadaran korban untuk segera mengadukan kasusnya untuk mendukung pembuktian, serta kondisi korban yang trauma atau disabilitas sehingga sulit dimintai keterangan.

“Keterbatasan pengada layanan seperti pendamping dan penerjemah bagi penyandang disabilitas,” kata Ciceu.

Back to top button