News

Polemik Batas Usia Cakada, MK Diharapkan Beri Solusi dan Kepastian Hukum


Mahkamah Konstitusi (MK) kini terseret ke dalam polemik batas usia pencalonan kepala daerah (cakada), imbas terbitnya putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengubah syarat usia calon dari sebelumnya dihitung saat penetapan pasangan calon menjadi dihitung saat pelantikan calon terpilih.

Mungkin anda suka

Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini mengemukakan, pengujian ke MK akan bisa menjawab isu konstitusionalitas persyaratan pencalonan yang menjadi kontroversial karena adanya tafsir yang berbeda dalam operasionalisasinya.

“Padahal, sangat diperlukan kepastian hukum dalam mengimplementasikan ketentuan persyaratan usia calon dalam pencalonan Pilkada Serentak 2024,” kata Titi saat dihubungi wartawan dari Semarang, Selasa (18/6/2024) malam.

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI ini memandang perlu putusan MK untuk mengakhiri perdebatan terkait dengan kapan pemberlakuan syarat usia. Meskipun selama ini tidak ada masalah soal pemberlakuan syarat usia calon, baik pada pilkada maupun pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres), yang dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh KPU.

Namun, lanjut Titi, hal itu menjadi spekulasi, khususnya pasca Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 yang menafsirkan berbeda  apalagi putusan tersebut terbit ketika tahapan pencalonan sudah berlangsung memasuki fase krusial verifikasi administrasi bakal pasangan calon perseorangan.

Perdebatan soal syarat usia ini, menurut dia, sejatinya merupakan substansi undang-undang yang lebih tepat diselesaikan oleh MK untuk menjawab isu konstitusionalitasnya.

“Selama ini MK sudah terbiasa memutus cepat apabila substansi perkaranya sudah jelas dan aspek konstitusionalitasnya juga pasti,” kata anggota Dewan Pembina Perludem ini.

Diajukan Dua Mahasiswa

Dua orang mahasiswa, Fahrul Rozi dari UIN Syarif Hidayatullah dan Antony Lee dari Podomoro University, meminta Mahkamah Konstitusi (MK) memanggil Presiden dan DPR dalam mengadili uji materi Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada (UU Pilkada) yang mereka layangkan.

Dalam dokumen gugatan yang dilayangkan pada 11 Juni itu, keduanya meminta agar MK memberlakukan tafsir yang jelas terhadap syarat usia calon kepala daerah, yakni terhitung saat penetapan calon. 
“Sudah benar dan tepat jika Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) menerjemahkan persyaratan usia minimal sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 di atas ke dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020,” tulis mereka dalam permohonan.

Yang jadi persoalan, MA mengubah syarat usia calon dari sebelumnya dihitung saat penetapan pasangan calon menjadi dihitung saat pelantikan calon terpilih. MA menilai bahwa PKPU itu melanggar UU Pilkada.

Putusan ini dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum lantaran jadwal pelantikan kepala daerah terpilih boleh jadi berbeda-beda, meskipun pilkadanya berlangsung serentak pada 27 November nanti.

“Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 (juga)!telah menggeser posisi MA dari negative norm (pembatal norma) menjadi positive norm (pembuat norma) yang secara kelembagaan bukanlah kewenangan MA, melainkan kewenangan pembuat legislatif,” bunyi permohonan mereka.

Back to top button